INILAMPUNGCOM - KPU Kota Bandar Lampung gandeng Komunitas Gedung Meneng menggelar Sosialisasi Pilkada kepada pemilih pemula, Jumat (6/12) malam.
Dengan tema seni demokrasi untuk pilkada berkualitas, menghadirkan Oyos Saroso HN, jurnalis senior Lampung sebagai pembicara, penyair Isbedy Stiawam ZS, komisioner KPU Balam Fery Atmojo, dengan moderator Adolf Ayatullah Indrajaya.
Diskusi politik dimulai pembacaan puisi oleh Wawan Sumarwan, dan Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan mengusung puisi "Dialog Ayah dan Anak Jelang Pesta Politik". Puisi sedikit satire ini, sayangnya saat dibacakan pengampu Lamban Sastra hujan luruh amat deras. Meski Isbedy geming menuntaskan puisi sepanjang 3 halaman itu.
Sementara Oyos mereviu semasa menjadi tim seleksi calon komisioner KPU. Waktu itu, kata dia, tak ada yang berani bicara atau mendekati timsel dengan uang.
"Politik uang masih tak tampak benderang, seperti saat kini. Di mana diterpa isu jual beli jabatan," kata Oyos.
Berikut puisi Isbedy Stiawan ZS:
ISBEDY STIAWAN ZS
Dialog Ayah dan Anak
Jelang Pesta Politik
suatu malam, bulan penuh,
awan bersih oleh mendung
di teras rumah
ayah dan anak duduk di kursi
memandang malam yang cerah
ayah, kata anak, apa arti
politik dan perlukah bagi
rakyat seperti kita
si ayah tak cepat menjawab
menggeser tubuh ramping
bagaikan cacing; mengambil
cemil kecil seperti kaki kancil
lalu ia pandangi purnama,
gemintang, langit tanpa awan
"politik suatu siasah untuk
perubahan -- atau berubah --
dari sini ke sana. untuk
lebih baru,
bukan stagnan."
jadi, lanjut ayah, politik
amat perlu. terutama bagi
rakyat. karena demokrasi
adalah suara rakyat
sebagai penentu bagi kemajuan bersama
karena itu, politik harus
dirawat. bukan adu kuat
antarpolitisi. anakku, jika
kau tahu, sesungguhnya
politik adalah hasil kesepekatan dari
pertemuan kecil bernama lobi:
dari kepentingan bersama
buat kemshalatan beramairamai
itulah hakiki politik. bukan daki politikus
yang bagaikan tikus
datang pada kita saat
dapur lengang
ketika hening malam
ia mengendapendap
untuk segera melahap
tiap makanan, dari yang
sisa hingga masih di dalam
tudung ditutup rapat
lalu pergi tanpa menampakkan
punggung. berbeda saat
datang menampakkan kegagahan
"tapi ayah, ajarkan padaku
politik yang baik. politisi
yang setia pada janji," kata anak
ingin tahu, tidak tabu sebab
saatnnya remaja tidak didustai
oleh politik
si ayah tercekat. pandangnya
seolah terpahat
di antara lelangit dan purnama;
tak sampai ke bintang yang tinggi
politik adalah citacita
siasah untuk mencapai apa
yang diharapkan. seperti
kita punya tujuan sebelum
melangkah
sebelum satu katu ditorehkan
"jika kau tak punya cita,
tiada pernah miliki tujuan
apa kau bisa menapak dari
kelas satu SD hingga kini
jadi remaja. itu pun politik, sebuah siasah," ujar ayah
karena itu, wahai anakku,
usah membenci politik. tak perlu
menjauh dari politik. kau
tahu, sejak lahir kau sudah
dibuka matamu untuk melihat
dan belajar siasah
"lalu, mengapa banyak rakyat
antipati dengan politik
dan melengos wajahnya
pada politisi?" tanya anak
ayah makin tercekat mulutnya
matanya berkacakaca
"ayah sedih?
"aku berduka!"
lalu ayah bercerita, politik
zaman kiwari memang bagai
tekateki. terlalu jauh dari
ideal dari ilmu politik di kampus
apalagi mendekatkan dengan
polotik yang dirisalahlan
kanjeng Muhammad, nabi
yang rasulullah. politik santun
dan tida caci terbantunbantun
lihatlah politik rezim kini
saling sikut, singkir, dan
dinonjob jika berseberangan
sementara kolega, pendukung, peyelyel maka
siapsiap masuk gerbong
walau ruang kosong. atau diberi kuasa di ruang
maha banjir anggaran!
begitulah, mungkin kau pernah
dengar, politik balas jasa
dan balas dendam. penumpang
yang naik ke gerbong ketika
masinis menggerakkan kereta
"ada yang lain bersuara,
aku hanya cukup mengantar
kalian rayakan dan nikmati
pesta berpendarpendar
apatah lagi, bagaimana
pelaksana pemilu?
"O maaf, anakku, ayah tak akan berani mengucapkan. apalagi mengritik keras! apalah
kuasa ayah!"
si anak terdiam. lama sekali
dalam hati, ia ingin banyak
belajar politik. belajar merawat
hati dan akal sehat
hanya itu
Bumi Lampung, 5 Desember 2019
(Zal/inilampung)