Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (5)

Rabu, 25 Desember 2019


Oleh Isbedy Stiawan ZS


IV

SATU jam lebih aku sudah di kafe yang pernah kau janjikan waktu bertemu dua pekan lalu. Sudah beberapa batang rokok kuhabiskan, dua cangkir robusta kupesan. Lalu segelas jus alpukat, pisang goreng.

Ini malam Minggu. Pengunjung Kafe Diggers cukup ramai. Musik live anak-anak milenial yang jadi langganan di kafe ini sudah beraksi. Vokalisnya cewek yang kukira sangat cantik dan energik. Ia jingkrak-jingkrak di panggung dekat pagar, di belakangnya curam dan kota tepi laut penuh lelampu.

Aku mulai tak yakin kau akan datang. Sejak tadi berulang kutelepon, tak aktif. Sudah kukirim pesan pendek, belum pulw kau baca, apalagi dibalas. 

Sewaktu bertemu di sini pekan lalu, kau yang mengusulkan meja dan waktu. Kau juga akan membawakan "May" karya Sandi Firly, sebuah novel yang menjuarai Aruh Sastra kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit di Jakarta. Aku pernah mendengar info novel itu, namun belum kubaca. Sudah kucari bahkan memesan dengan kawanku di Banjarmasin, tak ada respon. 

"Itu novel bagus, cerita di masa jelang reformasi di Banjarmasin yang disebut Jumat Kelabu pada 1997. Pembakaran mal dan kegaduhan lainnya. Ada campur tangan pengusaha dan penguasa!" katamu waktu itu. 

Aku ingin sekali membacanya. Juga beberapa judul buku puisi dan kumpulan cerpen yang direkomendasi untuk kumiliki. 

Dalam banyak hal, kau kerap memberi tahu buku-buku sastra terbaru. Sebagai pembaca sastra yang boleh kubilang rakus, aku maklumi itu. Kau juga tak sungkan mengirimkan buku-buku yang kau anggap sesuai untuk kubaca. Bukan saja sastra.

Oleh karena itulah membuatku suka berkawan denganmu, meski kita berlainan jenis. Pertemanan yang tidak diembeli syahwat. Tetapi sama-sama haus diskusi. 

Kau pernah mengatakan, dalam keseharianmu biasa berkawan dengan lelaki. Alasannya pria tidak suka merumpi. Tidak lebay. Banyak diskusi bukan mengungkit aib orang lain. Tegas. 

"Kalau ada 100 temanku, 80 adalah lelaki," ujarmu tertawa keras.

"Apa suamimu tak cemburu?" tanyaku sekenanya.

"Kami sudah ikrar tak saling mengusik urusan pertemanan. Terpenting saling percaya," ujarmu.

Itu kau ucapkan enam tahun silam, kali pertama bertemu di suatu diskusi sastra.  Sebab setahun kemudian saat bertemu, kau mengaku rumah tanggamu tengah goncang. Suamimu selingkuh. Justru di rumah ketika kau ke luar kota. Beberapa bulan dari gaduh itu, kau bercerai. Sampai kini kau belum berpikir untuk mendapatkan pasangan hidup yang baru.

Berbeda dengan Sur, kau merasa tak kapok bersuami. Hanya belum ada yang cocok maka kau belum memilih. 

"Suatu saat aku yakin bisa berkeluarga lagi. Lagipula masa-masa kini aku masih senang hidup sendiri. Masih betah bebas ke mana pun aku mau...." ujarmu kala pertemuan di kota kecil dua tahun lampau.

"Ya, semoga kau beruntung dikirim jodoh yang baik hati," kataku meniru lirik Ahmad Dani. 

Kau tersenyum.

"Bagaimana pun kebahagiaan tertinggi dari perempuan menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya."

"Aku tak sepenuhnya setuju. Buktinya banyak wanita hingga tua dan meninggal tidak bersuami. Ini hanya soal pilihan. Pernikahan cuma lembaga untuk sebuah persetujuan dalam ikatan kedua manusia untuk hidup serumah."

"Kau lupa bahwa Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, dalam rangka perlu berpasangan menata bumi ini. Selain dengan bersuku-suku dan lain jenis, agar manusia saling mengenal, menyayangi, dan mencintai. Guna meramaikan bumi dengan cara beranakpinak. Keturunan," sergapku cepat.

Kau sedikit gelagapan.

"Tapi," katamu kemudian setelah menguasai keadaan. "kenapa Tuhan membiarkan manusia tanpa berjodoh? Juga adanya pasangan tak memiliki keturunan? Kalau Tuhan benar-benar ingin meramaikan bumi dengan manusia sebagai wakil-Nya?" kau membalas.

"Kan ada takdir. Itu ketentuan Dia. Tak bisa kita bantah. Harus diterima sebagai keimanan manusia pada Tuhan," jelasku singkat.

Percakapan terhenti di situ. Kau menerima telepon, seusai menutup handphone kau pun pamit. 

Sebenarnya aku ingin banyak berdiskusi. Namun kuurungkan. Karena kami akan berjumpa lagi di Diggers.

*

Hampir pukul 21.00 kau belum juga datang. Kini semakin kuyakini kau batal pada janji. Kulupakan pertemuan malam ini denganmu.

Aku belum meninggalkan Diggers. Pengunjung terus bertambah. Ini malam Minggu. Banyak yang menjadikan kafe ini sebagai rendezvous sebelum menuju ke klub hiburan malam atau kencan entah di hotel mana. 

Aku menikmati pengunjung yang berdatangan. Mereka menuruni tangga lalu mencari meja yang disukai atau kosong. Ada yang datang sendirian, berpasangan, dan sekelompok.

Pukul 21.45 kulihat seorang perempuan menuruni tangga dan menuju meja di dekat pagar pembatas yang curam di bawah. Layaknya de javu, ini pernah terjadi dalam sebuah cerpenku, "Bulan Rebah di Meja Diggers". Bahkan sangat mirip, baik tokoh dan waktu kedatangannya.

Sempat tersirat, jangan-jangan perempuan itu adalah reinkarnasi dari tokoh dalam ceritaku tempo hari. Sungguh! Tidak ada yang berbeda. Rambutnya, bibir dan warna lipstik, pakaian dan warnanya, sepatu putih yang tak tinggi haknya. Juga tas di kanan kirinya, warnanya pun sama.

Setelah duduk ia mengeluarkan sebungkus rokok. Juga sama persis cara mengambil dan menghidupkan dengan tokoh dalam kisahku dulu.

Bulu-bulu halus di tubuhku berdiri. Layaknya hidup. Aku merinding. Perempuan masa silam seolah datang malam ini. Di kursi dan meja yang dulu. Duduk menghadap kota bagaikan dikerubungi kunang-kunang di bawah sana. Kota di tepi teluk itu konon disebut Las Vegasnya Kota Kita ini.

Aku tertarik mengamatinya dari kursiku yang cuma berjarak lima meter. Ia cantik! Pesona yang jarang kujumpai dari perempuan lain. Usianya kira-kira 28 tahun. Tahilalat menghias di batang hidungnya. Kulit putih. Alismata tak begitu tebal. 

Kami beradu tatap. Aku gelagap. Dia tersenyum. Berdiri. Menghampiriku. Aku salah tingkah. Sebab aku sudah melakukan kesalahan. Memperhatikan orang lain yang tak dikenal. Jika ia merasa tak nyaman, aku bisa diseret ke polisi. Bisa saja kan? Dia bisa menudingku ingin merampas, ingin berbuat tak senonoh. Mengganggu kenyamanannya. Keamanannya sudah terusik.

"Maaf, anda Busye, pengarang itu?" tanyanya seraya mengajak bersalaman.

Aku sering tersinggung jika orang mengatakan profesiku adalah pengarang. Aku bukan orang yang suka mengarang. Melainkan penulis sastra: sastrawan. Atau biasa disebut seniman. Orang yang kreatif, mencipta dari tiada menjadi ada dan seolah fakta.

"Benar. Tepatnya saya penulis karya sastra."

"Ya! Maksudku Busye yang sastrawan. Saya banyak membaca puisi-puisi anda. Saya juga mengoleksi buku cerpen Bulan Rebah di Meja Diggers. Saya tertarik dengan cerpen itu. Persisnya memengaruhi diri saya," jelasnya.

"O... sebabnya itu..."

Mengangguk. Senyum.

"Ya. Seperti tokoh dalam cerpenmu saya di kursi itu. Juga cara saya berpakaian dan sebagainya. Saya yakin waktu itu anda mengambil meja dan kursi yang ini, dan duduknya pun di sini menghadap ke meja yang jadi seting cerita anda," lanjutnya.

Selanjutnya ia mengenalkan namanya. Rena Saraswati. Perhuruf kutanam di benakku.

"Panggil saja saya Rena jika kau berkenan biar simpel."

"Ok mbak Rena. Terima kasih sudah membaca dan menyukai cerpen-cerpenku," kataku mengimbangi Rena.

"Ralat ya," potongnya. "Saya tertarik dengan cerpen dan beberapa puisi anda. Tertarik belum tentu menyukai kan? Khusus cerpen, kau membangun cerita itu dengan menarik. Pembaca jadi tak mau menghentikan bacaannya sebelum habis dibaca."

Ia berhenti sejenak.

"Seperti menonton aksi Jacky Chan. Kita tertarik dengan gaya, laga, dirinya. Sampai-sampai kita abaikan jalan cerita," imbuh Rena.

"O ya, maaf mbak..."

"Apakah saya tampak tua? Panggil Rena saja..." katamu.

"Baik Rena. Terima kasih sudah berkenan membaca karyaku," balasku.

Aku tatap dirinya. Ia membalas. Kami besitatap lama sekali. Bahkan ia duduk di depanku setelah izin dan bertanya apakah aku bersama kawan.

Kukatakan sendiri dan sedang menunggu teman. Tetapi sepertinya tak akan datang.

"Boleh aku bersamamu di sini?" 

Aku mengiyakan. 

Setelah duduk, Rena mengambil sebatang rokok dan memantik. Ia hisap dalam kemudian mengempaskan asapnya ke atas. Berupa bola-bola.

"Sebenarnya saya sudah lama tahu anda. Adik saya sering cerita. Dia pernah ikut lomba baca puisi saat SMA dan anda jurinya."

"Juara?"

"Ya. Alhamdulillah juara 1. Tapi bukan karena kemurahan nilai darimu. Ia memang jago baca puisi. Sekarang dia terlibat di grup teater, jadi aktris," jawabmu sambil tertawa.

Selanjutnya Rena menceritakan bagaimana pertama kali menyukai karya sastra. "Karena Yuli aku tergila-gila karya sastra. Ia bawakan aku buku-buku puisi, cerpen, dan novel. Daripada waktuku terbuang karena tak bekerja, kubaca buku-buku itu. Akhirnya...."

"Kau dipertemukan salah satu penulisnya ya..." godaku.

Rena tak respon.

"Saya sudah baca juga buku puisi anda 'Salamku Pada Malam', sungguh menarik aku membacanya," ucapmu.

Rena tak konsisten menyebut dirinya. Terkadang ia gunakan 'saya', 'aku', dan 'Rena'. Tiba-tiba kurindukan dia menyebut 'dinda' ataupun 'dedek'. Aih! Kenapa pikiran semacam itu muncul dan menggodaku?

"Kenapa tersenyum? Ada yang aneh dariku?" kau bertanya.

Aku tak langsung menjawab. 

"Aku hanya heran dan tak yakin," jawabku kemudian. "Aku seperti bertemu bidadari..."

"Lebay! Norak!" lalu terbahak.

"Aku pernah menulis cerpen yang tokohnya mirip denganmu..."

"Bulan rebah di meja Diggers, maksud anda?"

"Tepat! Kini tokoh di ceritaku itu berada di depanku. Apakah bukan...."

"Hanya kebetulan. De javu!"

"Kebetulan yang menggairahkan. Maksudku, bertemu dengan Rena aku jadi semangat!"  kataku.

Aku lanjutkan, "Kok sendiri mana keluarga atau..."

"Aku biasa jalan tanpa kawan. Suamiku bekerja di kapal pelayaran. Ia bule Australia. Jadi setengah tahun kami bisa kumpul..." jawabmu.

"Soal kebutuhanku tak pernah telat. Ia transfer tiap tanggal 2 perbulan. Dua hari sekali suamiku menelepon. Ini aku lagi nunggu teleponnya, tapi sudah lewat waktu..."

"Mungkin sibuk. Atau lagi tak ada signal, di luar area..." kataku.

"Boleh jadi. Tapi tiga bulan terakhir ini memang suka tak tepat waktu," balasnya.

"Maksudmu?"

(Bersambung)


LIPSUS