Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (7)

Sabtu, 28 Desember 2019



Oleh Isbedy Stiawan ZS



V

aku sakit
apakah mirisku 
sampai padamu
nyeriku tiba
ke nyerimu?

......

ALASAN malam itu tiba-tiba kau sakit sampai dilarikan ke rumah sakit, bisa kuterima. Tetapi tanpa pemberian kabar, rasanya tak mungkin. Kau dan handphone bagai satu tubuh. Di mana saja dirimu di situ telepon genggam dalam cengkeramanmu. 

Itulah kenapa untuk alasan tak ada kesempatan berkabar, selalu kutampik. Meski kumaafkan, namun aku belum bisa menerima alasan soal yang satu itu. Tiga jam lebih aku menunggumu di Diggers. Hampir 2 jam ditemani Rena yang kukira tak membuatku tenang selain cemas masuk areanya. Lagipula aku justru mencemaskan dirimu.

Dari 12 jam sehari dan 24 jam sehari semalam, apa bisa kau jauh dari telepon genggammu? Sampai dini hari kubaca notifikasi HPmu dalam keadaan online. Juga medsos lain, IG dan FB, kubaca kau membagikan status di atas pukul 01.00. Kadang tak pernah tertutup kartu datamu. Kini kau mengaku jauh dari handphone?

"Sumpah! Kalau aku sakit akan kujauhi benda itu. Kalau kau lihat notifikasinya OL ya wajar, sebab aku biarkan data tetap hidup," katamu membela.

Matamu sayu. Wajahmu masih menguarkan warna pucat. Rambutmu acak-acak tak tersisir, tak seperti biasamu yang selalu rapi. Bahkan sehelai rambitmu yang berpindah tempat, segera kaukembalikan.

"Kau tak percaya? Baiklah, jangan percaya padaku untuk seterusnya. Aku juga akan berlaku begitu padamu. Permisi!" 

Kau ingin beranjak dari bangku kayu itu. Segera kupegang tanganmu. Kuat. 

"Aduh. Sakit!" katamu mengaduh dan menarik tangan agar lepas.

Secepatnya kulepas tanganmu. Kau kembali duduk walau aku tak menolak. Kubiarkan tetesan airmatamu jatuh, mengaliri kedua pipi yang berbedak tipis. Mampir di bibrimu. Kau seka dengan telapak tangan. Kusorong tisue padamu. Kau mengambil beberapa lembar. Kau hapus genangan basah itu.

Kau masih terisak.

"Sudah ah malu ditonton orang kau menangis. Dikira kita sedang bertengkar atau aku dituduh telah menganiayamu..."

"Habisnya kamu tak...."

"Ya aku percaya sekarang...."

"Sungguh?"

Aku mengangguk.

Kau mendekap dan mengecup pipiku. Dingin menjalar.

Kembali ke kursimu. Pelan. Sekali lagi kuamati wajahmu yang pasi. Kau benar-benar sakit, gumamku. Cuma yang kusesalkan kau tak berkabar, padahal aku bisa membezuk. Setidaknya jika ada apa-apa aku bisa menolong.

Di kota ini kau hanya perantau. Kau ambil kamar kos di bilangan Palapa, Labuhanratu. Sudah empat bulan ini kau pindah ke kota ini. Sebelumnya di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan. 

"Aku lebih kerasan tinggal di kotamu ini," katamu empat bulan lalu. "Kotanya nyaman, tak begitu padat."

*

Setelah cukup lama kami diam, masing-masing asyik dengan gadjet dan pikiran sendiri, sampai kau memecahkan suasana.

"Tadinya aku malas ke sini. WA kamu yang terakhir melukai hatiku. Kayak gak punya perasaan. Aku kesel. Kesel!"

Aku hanya bisa memandangmu. Amat dalam. Sepertinya baru sekarang aku merasa menyesal.

"Maafkan aku..." kataku pelan.

"Kenapa kamu tak cari tahu, kenapa aku tak balas WA-mu atau tak mennjawab saat kau telepon. Katanya pernah jadi wartawan, di desk kriminal, tak tahunya sense of jurnalis dan daya detektifmu  tak dipakai! Aku kecewa. Kesel banget!"

"Ya sudah dong, Din... aku kan sudah minta maaf," bujukku. Tidak banyak aku memanggil namanya. Selama ini kami hanya ber-aku dan ber-kau atau ber-kamu. Mungkin tak lebih 30 kali kusebut Din, dari nama yang panjang itu: Dinda Yuliastuti Fitri Amanda. Dan aku lebih suka memanggilmu Din atau Dinda. Kadang pula Fit saja.

"Ya sudah kumaafkan juga. Lain kali jangan kamu ulang. Akan kustrap...." katamu lembut.

"Strap?" Aneh kedengarannya. Seperti murid di kelas.

Kamu tersenyum. Aku senang.

Lalu kau bercerita soal sakit sampai dibawa opname. Kau punya riwayat magh kronis da  hepatitis. Nah, kedua penyakit itu ingin main di tubuhmu.

Ah, maafkan aku ya Din, aku membatin.

Kau adalah perempuan yang tak pantas mendapat amarah apalagi aniaya dari lelaki mana pun. Kau begitu tulus, hatimu baik, walau temperamental dan suaramu menggelegar jika sedang emosi. Setelah itu kau kembali menjadi penyayang. Segera meminta maaf dan memaafkan.

Itulah yang aku suka darimu, maka hingga kini aku mau bersahabat denganmu.

"O ya, bagaimana kelanjutan rencana kau mau didanai menulis novel dari kawanmu. Siapa namanya?" 

Dinda membuka percakapan kembali. Ya ampun aku teringat lagi dengan Suryadi.

"Suryadi. Ya belum mulai. Dia mau ajak bertemu lagi di Pustaka Kopi. Kalau jadi, mau kuajak juga?"

Dinda diam. Biasanya ia sedang menimbang. Biasanya pula cukup lama untuk diputuskan; apa bisa atau tidak.

Aku suka bertemen denganmu. Kau tegas tapi juga mudah terhanyut. Konsisten dengan kesepakatan, kadang juga dilanggar.

Misalnya, katamu suatu kesempatan, kau memintamu jangan dihubungi. Tahu-tahu pesanmu masuk ke HPku.

"Hai lagi apa?"

Aku tak segera membalas.

"Hei jangan dibaca saja. Ada orangnya nih!"

"Maaf kukira kamu lagi sibuk. Tak boleh dihubungi. Aku ragu bukan kamu yang kirim pesan..."

"Memangnya makhluk halus bisa buka handphoneku? Dasar gak berperasaan...."

"Lho lho kok jadi emosi...."

"Habisnya kamu...."

"Gak tahu kalau kamu lagi rindu..."

"Ihh...  ge-er! Tak sudi!" rajukmu.

Tetapi kemudian kau tertawa. Ingin mendekat namun urung. Duduk kembali.

"Aku tuh kadang suka egois. Hehe. Kesel kalau tak dibalas. Lama lagi kalau balasnya," katamu seiring memanyunkan wajah.

"Egois boleh, tapi jangan pula berlebihan. Aku suka kok dengan kamu. Suka berkawan denganmu. Kau begitu menarik, banyak memberi inspirasiku menulis," ucapku.

Dalam hati aku tertawa. Berhasil sudah menggodamu. Kau merajuk. Singut. Wajah tertunduk. 

Sejurus kemudian, kami kembali mengobrol. Seperti tidak pernah terjadi keributan apapun. Tertawa. Kadang diam. Merokok. Menyeruput jus atau kopi. Swafoto. Dan saling curi pandang.

"Kamu memang manis dan cantik, Din..." aku membatin.

Kamu menatap wajahku lama. Mungkin tahu hatiku sedang memujimu. 

Tiba-tiba aku teringat Sur. Duda cerai lantaran istriya, Ayu, berselingkuh dengan mantan kekasihnya di SMA. Ia terpukul hingga membenci setiap perempuan. Dinda cerai juga, kini masih menjanda, dan tak mengutuk lelaki sebagai bajingan!


(Bersambung)

LIPSUS