Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (8)

Senin, 30 Desember 2019


Cerbung Isbedy Stiawan ZS


Hasrat kini terungkap
Dalam kata-kata yang terucap *)



KAFE Jinggo. Aku lebih dulu sampai lima belas menit dari waktu pertemuan. Ini kali kawan-kawan politisi, wartawan, dan aktifis mengajak bertemu. Mereka adalah yang pernah terlibat di era reformasi.

Aku mengenal baik, terutama politisi yang masih bersekukuh pada suara nurani. Juga aktifis yang komitmen pada perjuangan memperbaiki nasib rakyat. Serta jurnalis yang berpihak hanya pada kebenaran. Meski masing-masing punya kesibukan, namun tak terjadi kebisuan di antara kami. Saling berkabar dan diskusi (entah kopi darat maupun melalui dunia maya) sering dilakukan. 

Sering kupergoki pernyataan beberapa kawan aktifis dan legislator yang masih kritis. Terutama kebijakan-kebijakan yang dilakukan rezim kiwari.

"Kukira hampir sama dengan orde lalu. Hanya ganti baju. Dulu refresif dan penuh ancaman, sekarang keliahatan lugu namun juga mengancam kebebasan berekspresi!" Yuda Amlapura, seorang politisi dan dua periode duduk di gedung legislatif memulai percakapan.

Kutahu Yuda sering menggunakan diksi perkibulan untuk penguasa saat ini. Banyak diksi itu dipakainya dalam berbagai statemen dan komentar. Bahkan, dalam buku himpunan pemikirannya yang pernah kubaca, bertaburan diksi tersebut.

Semula aku menduga untuk kepentingan meluruskan perjalanan ke legislatif, ia sengaja menggunakan istilah perkibulan. Setelah duduk di gedung dewan, hilanglah "keperkasaan"nya. Ternyata tidak. Ia tetap konsisten memerjuangkan anti perkibulan dan pembohongan pada rakyat.

"Yang paling kulawan adalah perkibulan. Sok masuk ke got segala, tapi hanya memuluslan politiknya!" kata dia lagi.

Kami menyimak tiap kalimatnya. Yuda akan selalu menyertakan kata "perkibulan" dan sepadannya. Dia sedang menggiring agar kami fokus membahas apa yang diucapkan.

"Tidak semua rezim sekarang melakukan perkibulan. Aku tidak sepakat pikiranmu, bro! Bagaimana kalau jalan tol sebagai perkibulan, maka jadilah tol fiktif. Siapa yang bisa selancar di sana?" bantah Gushan bersemangat.

Kedua kawanku ini memang berseberangan dalam memandang politik saat ini. Padahal semasa orde lampau mereka satu perahu; melawan kediktatoran.

"Oke kalau kau tak sepakat. Tapi, tunjukkan di mana keberhasilan pemerintah yang kau dukung itu?" timpal Yuda santai.

Kawanku satu ini memang selalu santai, santun, dan penuh senyuman saat berdiskusi ataupun berdebat. Ia siap mendengar jika kawan diskusinya sedang bicara dan berargumentasi.

"Saya melihat banyak keberhasilan yang dilakukan pemimpin kita...."

"Kita, ente kali..." potong Izal.

"Santai kawan Izal, beri kesempatan Gushan bicara...." sela Yuda. Lainnya mengangguk. Senyum.

"Misalnya memulangkan kekayaan negeri ini di Papua, buat tol di Andalas dan Kalimantan, dan banyak lagi..."

"Tapi yang bakal membayar utang dari pembangunan itu, siapa? Rakyat kan?"

"Memangnya negara itu punya dia seorang? Ya rakyatlah!" kata Gunhas kemudian kita ia tahu diserang bersama-sama.

"Soal pernyataan bro, putra mahkota itu sebagai pemimpin masa depan, hanya karena melihat selfie dan wefie dia yang sedang nyebur ke selokan, saya bantah! Dia memang layak jadi pemimpin masa depan. Dia, ibaratnya, sudah ditahbis sebagai penguasa kelak!"

"Dari mana? Ini politik, bukan dunia ramal meramal," bantah Izal lagi.

"Begini kawan Gunhas," ujar Yuda hendak menjelaskan. "Jika ada lagi yang sukses sukses mendapat dukungan massa hanya bermodal gimmick politik begitu, aku berani mengatakan telah terjadi stagnasi peradaban. Kenapa kita masih bisa dipengaruhi tipudaya yang telah dipraktikkan selama ini."

Hening.

"Praktik seolah-olah punya perhatian serius pada persoalan rakyat dan segala isinya, lalu hanya untuk memeroleh simpati sebanyak-banyak rakyat. Kemudian dilupakan sesudah sampai di singgasana...." lanjut Yuda.

Sejenak berhenti. Ia seruput minumannya -- kali ini bukan kopi, sejak dokter melarangnya -- dan menatap langit berbintang.

Yuda adalah sahabatku sejak orde lampau. Ketika aku di media terbesar di provinsi ini sering mengadakan diskusi publik. Hasilnya dimuat di koran kami esok harinya. Tema diskusi berganti-ganti, termasuk tempat. Terkadang di ruang redaksi, namun lebih sering berpindah kafe ke kafe ataupun kedai. Artinya tergantung sponsor yang mau memfasilitasi. 

Diskusi aktifis ini digagas Ombus, kawanku jurnalis dari Semarang yang kini sudah meninggal dunia. Ombus adalah redaktur politik, dari Semarang dan pindah kerja karena masalah politik juga. Ombus memang banyak ide. Selain membentuk komunitas diskusi, juga pemantau pemilihan umum, dan lain sebagainya. Akhirnya mengantar dia menjadi anggota KPU. Di ranah inilah, ia mulai terlihat perubahan. Tak lagi kritis, hilang idealisnya, dan setara itu.

Ombus bahkan kerap dipergoki kawan-kawan berada di lokasi hiburan malam. Berganti-ganti teman kencan. Ia tak lagi mudah diajak ngobrol, kalau disapa tak cepat menanggapi sebagaimana sebelum di Komisioner Pemilihan Umum (KPU). 

Ombus yang kuketahui dari teman-temannya -- juga temanku -- di Semarang dan Banjarmasin, sering mencuri ide orang lalu diklaim sebagai gagasannya. Ia pernah ingin membuat buku profil politisi, pengusaha, dan pejabat. Dana dari narasumber sudah terkumpul, tapi buku tak terbit. Uangnya habis di tempat hiburan malam.

Sejak ia sakit-sakitan sekeluar dari lembaga pemilihan raya karena dipecat, aku tak lagi bertemu. Aku baru tahu kabar dan melayat ketika ia meninggal dunia. Kenatian yang sunyi. Tidak ada istri dan anak di sisi. Ombus dimakamkan di kuburan dekat rumah kakak angkatnya. Kalau tidak, mau dibawa ke mana jasadnya? Dikubur di mana?

*
Diskusi semakin hangat. Yuda  memerkuat soal perkibulan yang dilakukan rezim kini. Ia beberkan segala kelemahan Tuan Muda yang Dipresidenkan. 

"Ia hanya menang di tingkat selfie dan wifie!" tukas Yuda. "Utang luar negeri kita terus menumpuk."

Ditambahkan lagi, pemindahan ibukota negara sudah tentu soal proyek yang tidak kecil. Akan banyak hutan dan lahan dijual murah. Belum lagi jika proyek pemindahan itu jadi, orang-orang terdekat dan elite yang kecipratan. 

"Sementara rakyat di ibukota yang baru, tetap saja melongo," kata Yuda lagi.

Lalu ia juga menyamakan pemerintahan saat ini dengan orde lampau. Dulu, kata dia, rakyat ditakuti dengan ancaman dipenjara jika macam-macam, dibredel, dan diburu sebagai makar. 

Sekarang, lanjut Yuda, pers hanya menyebarkan berita-berita dari istana. Peristiwa 212 yang membeludak di Monas tak satu pun diberitakan. 

"Kalau soal sepele asal dari istana dibesarkan. Memojokkan kepala negara dipidana karena ada Undang-undang sebab sama saja mengolok simbol negara.  Dan banyak lagi. Rakyat jadi takut untuk mengeluarkan pendapat. Kartu handphone bukan lagi privasi yang wajib dilindungi. KPK ingin dikebiri dan hanya tugasnya menangkap yang di-OTT sementara koruptor terus berlahiran. Korupsi masih ada..."

Ia juga menceritakan saat pemilihan legislatif yang lalu. Katanya, ada orang di dapilnya menawarkan persuara sekian ratus ribu. Jika tidak terpenuhi, uang dikembalikan.

"Bukan soal uang kembali. Kalau aku ikuti aku harus bayar mahal dari demokrasi ini. Aku akan korupsi untuk memulangkan modalku waktu kampanye," kata Yuda beberapa saat kemudian.

"Banyak caleg melakukan itu. Makanya setelah terpilih mereka tak lagi mikirkan konstituen. Kan mereka sudah dibayar suaranya," timpalku. "Jadi sangat tak masuk akal kalau tiba-tiba massa meluruk gedung Dewan. Mereka mendemo wakilnya agar peduli pada rakyat. Lha wong, rakyat sudah dibeli...."

"Aku tak sepakat!" bantah Izal, aktifis suatu organisasi kepemudaan Islam. "Rakyat tetap menganggap mereka yang di gedung adalah wakilnya. Jadi wajar rakyat menuntut pada aleg. Soal bayar dan terima hal lain. Lagipula siapa yang terima uang dan siapa pula yang protes. Harus dibedakan."

"Bagiku tak ada masalah," kata Yuda. "Aku jadi tak dari jalan pintas. Lihat sja perolehan suaraku, sangat tinggi. Artinya, konstituenku tetap besar. Walau aku gunakan bendera lain. Rakyat sudah cerdas. Mereka bukan lagi melihat partai namun ketokohan dan kepercayan," lanjut Yuda.

"Lalu kalau soal kemenangan presiden?" singgungku.

"Kukira sama saja. Gak ada gratis bagi satu suara pun di rakyat. Kecuali pemilih fanatik. Karena pilihan yang didasari emosional kedekatan dan sejenisnya," ujar Yuda.

"Yang jelas," lanjut dia, "secara wilayah lawan politik Pakde lebih banyak. Tapi, jumlah baru kalah."

Aku tak banyak cakap. Hanya mendengar dan menyimak. Setidaknya buat bahan ceritaku. Bahkan aku asyik menikmati suara Vina Panduwinata dari panggung. Ada sejumlah pengunjung yang bersenandung.

"hasrat kini terungkap
dalam kata-kata yang terucap"

Ya! Hanya pada ucapab, keinginan-keinginan dapat terungkap. Sadar atau tidak, kita tak bisa menyembunyikan hasrat yang terpendam sekalipun. 

Aku berpisah. Kupacu motorku membelah malam. Gerimis turun. Dingin. Kubiarkan kalaupun tubuhku kuyup. Perjalanan menuju pulang. Rasanya paling riang.

Kelak setiba di rumah, langsung kukuakkan laptop. Satu bagian dari cerita panjangku harus selesai, sebelum gagasan di kepalaku terhapus. Sampai fajar. 

Tengah malam jalanan lengang. Hanya sesekali kendaraan lewat. Aku tak lagi khawatir dibegal, sejak Kapolda Kota Kita memberlakukan Tekab 308. Penjahat ditembak di tempat. Shock teraphy yang ampuh, pikirku.

*) Vina Panduwinata, penyanyi Indonesia menembangkan lagu itu.

(Bersambung)

LIPSUS