Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (23)

Kamis, 16 Januari 2020





DINDA meneleponku. Singkat sekali. 

"Aku terlambat."

"Lamakah? Kenapa?" tanyaku.

"Paling 30-an menit. Masih ada kerjaan, sedikit lagi selesai. Tunggu ya. Kamu jangan telat juga...." jawabnya.

"Oke."

Telepon genggam kututup. Ini waktu baru pukul 17.15. Baru saja aku merapikan bab 14 novelku. Banyak sekali salah ketik, juga logika yang tak selaras. Aku harus merunut ke bab-bab sebelumnya. Dinda beberapa kali mengingatkan pada bagian-bagian tertentu. Ia editor pertamaku sebelum lainnya. Anehnya, aku merasa puas setelah dikoreksi dan mendapatkan masukan darinya.

Sambil menunggu waktu lepas magrib, kukoreksi tulisanku. Sebanyak 20 halaman bisa kuselesaikan. Istirahat. Aku menyeduh kopi. Santai di ruang tamu.

Pengalaman semalam dengan Rena muncul lagi di benakku. Tetapi segera kualihkan ke lain. Kata orang, apa yang sudah terjadi dan kau lakukan, buruk ataupun baik segera lupakan. Jika kamu memberi sedekah dengan tangan kanan, jangan sampai diketahui tangan kirimu. 

Baiknya kulupakan. Aku juga mulai mencoba menjauhi Rena. Cukuplah semalam sebagai pengalaman buruk.

Kutinggalkan laptop di meja, aku berbaring dan selonjor di ranjang. Menikmati petang yang agak kekuningan. Jendela kamar kukuakkan lebar. Pemandangan sawah dan padi menguning. Pesona pesawahan telah mencuci mata dan pikiranku. 

Aku bolak-balik sejumlah buku. Ini kamar sekaligus ruang kerja dan pustaka! Di ruang tamu ada 2 lemari koleksi buku bacaan, direktori, kamus bahasa, dan juga Alquran. Biasanya buku-buku sastra yang kerap kubaca atau kugunakan sebagai referensi berada di kamar ini. Sedangkan lainnya di ruang depan.

Pernah kuniatkan sebagian buku sastra, kusumbangkan pada sastrawan senior di daerah ini. Tetapi belum kesampaian; kami belum lagi bertemu.

Handphoneku berdering. Tertera nama Rena. Kubiarkan hingga mati. Berdering lagi dan kubiarkan. Ada tiga kali. Aku yakin ia mau mengajakku ke kafe. Atau, jangan-jangan memintaku ke rumahnya lagi. Ini kali kubiarkan ia "dikoyak sepi!"

Tidak lama Rena, HPku berdering. Ini dari Santi. Aku angkat, mungkin ada informasi baru.

"Ya..."

"Abang di mana?"

"Masih di rumah. Ada yang bisa saya bantu?" 

"Bisakah malam nanti ketemu, di tempat waktu itu?"

"O di Majapahit?

"Ya bang Busye. Bisa?"

"InsyaAllah."

"Usahain bisa...."

"Ya. Kalau saya tak ada kegiatan mendadak. Memangnya ada apa?"

"Ceritanya nanti aja deh."

"Oke."

Klik!

Kini Dinda yang menelepon. Dia sudah keluar dari kantor. Mau singgah dulu di Gramedia. Apa lagi kalau bukan beli buku baru. Tapi, kata Dinda dalam telepon, ini kali ia mau beli cara memasak. 

"Sejak kapan kamu hobi masak? Biasanya beli matang. Alasanmu lebih simpel," kataku.

"Memang tak boleh berubah pikiran? Ih kamu selalu ngeselin. Sebel!" jawab dia. Merajuk.

"Ya ya..   maaf," jawabku.

Yang paling selalu kuhindarkan dari Dinda ialah berdebat. Aku pasti kalah. Atau dia merajuk. Kalau sudah begitu, tak akan menghubungi berhari-hari. Ia juga tak mau membalas pesan-pesanku. Dan akan membalas atau mengontak, apabila sudah hilang kesalnya. Ia pun kembali manja. Minta maaf.

"Maafin Nda ya? Suka emosian. Habis kamu suka ngeselin. Nyebelin..."

Begitulah Dinda. Malam nanti kami bertemu. Aku merindukannya...

*

Kafe Senja kami bertemu. Dinda kali ini benar-benar tak seperti biasa! Berkaus pink, kacamata di kepalanya, dan celana jins putih ketat. Berkali-kali dan lama kupandangi ia. Seakan aku sedag melisik tubuhnya. Sempurna! Batinku.

"Kenapa kamu lihat aku kayak gitu, Bus?"

"Kamu makin cantik," kataku jujur.

Lampu mati. Tanpa pemberitahuan, PLN melakukan pemadaman listrik. Kafe Senja pekat. Pelayan kafe sibuk. 

Tiba-tiba Dinda yang kebetulan duduk di sebelah kiriku, merapatkan bibirnya. Menciumi bibirku. Cukup lama. Aku terima dengan riang.

Setelah merasa puas, dan yakin tiada pengunjung lain curiga pada kami, Dinda menjauhkan bibirnya.

"Maaf," bisiknya. "Aku..."

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Salahkan PLN kalau ada yang mesti salah. Jangan beri maaf..." balasku bercanda.

Dinda terkekeh. 

(Bersambung)





LIPSUS