Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (24)

Jumat, 17 Januari 2020


DINDA masih menunduk. Wajahnya seperti menghindari tatapanku. Lebih dari 20 menit lampu padam. Dalam gelap siapa bisa menebak yang dilakukan pengunjung Kafe Senja? Terutama pasangan seperti kami? Serupa tatkala ruang bioskop tengah memutar film, pasangan yang belum terikat akan memilih kursi terujung di bagian atas. Untuk apa coba?

Meski tak pernah kubayangkan selama ini. Sudah lama kukenal Dinda. Tetapi malam ini, ia agresif. Menyerbuku. Dan aku menyambut dengan menderu-deru.

"Inikah cinta?" gumamku.

Berbeda ketika kulakukan dengan Rena. Tak ada respon apapun dalam diriku, kecuali kulakukan apa adanya. Persisnya berahi. Syahwat. Sedang dengan Dinda kurasakan getar lain. Cinta.

"Kamu gak nyesal kan?" tanyaku kemudian. Pelan sekali.

Dinda menggeleng.

"Tak. Kamu?"

"Sama."

"Maksudmu?"

"Ya. Aku tak menyesal. Aku rasakan getaran amat lain."

"Apa tuh?"

"Cinta," jawabku.

"Aku juga...." balasnya.

Diam. Saling tatap. 

"Dinda..."

"Ya..."

"Kau mau menemaniku jalan ke luar kota..."

"Ke mana? Kenapa?"

"Bali atau Yogya. Aku jenuh aja. Perlu santai..."

"Bali aja yuk. Eh tapi apa kamu punya uang? Kawanmu, siapa itu, sudah kasih uang buat novel itu..." ujar Dinda.

"Ya sudah. Sur. Cukuplah tiga hari di sana. Kalau kau mau besok kupesan tikitnya..."

Oke mau mau.... sip.  Tks Busye!" Dinda begitu riang. Amat riang. Layaknya penari cilik yang nendapat panggung. Andaikan bukan di tempat umum, tentu sudah bertubi-tubi dia menciumiku. Bahkan bisa mengajakku ke ranjang.

Ah, simpan saja. Di Bali akan kuungkapkan cintaku. Aku membatin. Tapi hatiku yang lain menolak. "Kalau kau mencintainya, cintailah bukan dengan seks atau syahwat." Hatiku yang lain memberi masukan.

Kamu boleh sama Rena, Santi, Nita, maupun Asmandya. Karena kau tak pernah ada getaran. Barangkali hanya nafsu. Ingatkah kau kala Rena diam-diam masuk ke kamar, tiba-tiba ia berada dekatmu. Aroma napasnya pasti membangkitkan syahwat. Sebab kamu normal...

Ingat pula ketika chating saat ia di Bali, isinya menjurus ke "apa kau mau Busye?" Kau malah menjawab datar.

Saat Rena memancingmu, ayo siap kita lari ke laut dan jadi duyung di pasir saat malam, kamu jawab: aku takut laut.

Lalu kau kau lakukan juga akhirnya pada malam itu. Kau tak berkitik dalam perangkal dan rayuan mautnya. 

Kini? Apa kau tega lakukan itu pada Dinda?.ia Monalisa dalam karya-karyamu. Ia orang pertama jadi pembaca karyamu.

Sebagai Monalisa ia selalu setia. Kesetiaan yang patut kau apresiasi, dan bukan kau jadikan budak nafsumu. Walaupun sesekali ia ikhlas menunjukkan tubuhnya yang paling disembunyikan. Tetapi tampak ia ikhlas. Demi membahagiakanmu. Demi agar kau semangat berkarya.

Ia tak menuntut apa-apa darimu. Dinda bisa jadi duyung di pantai, Monalisa dalam imajinasimu. Itulah Dinda. Apa kau tega mengulitinya dengan silet nafsumu?

O jangan!

Tetapi aku begitu ingin. Aku mencintainya. Kuingin bersama Dinda. Tubuhnya selalu menggoda. Hati burukku berkata.

*
Kami sudah di pesawat menuju Cengkareng. Transit beberapa jam, setelah itu penerbangan ke Bali. Dinda memegangi tanganku, jemariku, dan terkadang kepalanya rebah di dadaku.

Ia bukan takut. Tetapi itulah ekspresi manja dan ingin dimanjakan. Kubelai rambutnya yang halus. Dalam penerbangan tadi kami sedikit sekali percakapan kami. Kami berangkulan saja. Seolah pasangan sedang bulan madu.

Pramugari yang cantiknya kukira di bawah Dinda hanya tersenyum melihat kami. Barangkali ada keanehan. Kenapa secantik Dinda punya pasangan tak tampan sepertiku.

Rugi banget kamu. Cantik kok suaminya kayak temu di got. Atau dari hutan.  
Lecek. Kucel. 

Mungkin itulah suara hatinya. Menatap kami lalu senyum dan berbisik dengan rekannya. 

Temannya akan membalas. Begitulah cara perempuan ngerumpi. 

"Beruntung dong lelaki itu."

"Ya."

"Tapi wanitanya lebih untung. Gak balak ada pelakor... hihihi..."

Sompret!

"Kenapa Busy?" Dinda mengguncangkan mimpiku.

"Oh aku mimpi..."

"Mimpi apa? Mimpiin Rena?" 

Cemberut. Aku tak reaksi. Hening. Dari jendela pesawat kulihat awan putih bagaikan busa sabun, dan awan biru menggumpal-gumpal. Kala pesawat menerjang, bagai mobil melindas bebatuan kasar. 

Aku mengantuk. Dinda memandangiku. Sepertinya ia ingin mengajakku bercakap-cakap. Aku tak acuh.

"Ngantuk? Biasanya sampai larut tahan tak tidur..."

Aku tak membalas.

"Busye..."

"Ya Nda..."

"Ngobrol aja yuk..." pintanya.

Aku tersenyum. Kupegang hidungnya yang lumayan mancung.

"Asal tidak debat lalu kamu marah lagi..."

"Ya deh. Nda janji."

"Begitu. Kalau sedang di perjalanan sebaiknya jangan mudah marah, emosi. Gak enak lagi perjalanan. Kan harusnya kita nikmati agar indah," kataku.

Dinda mengangguk. Merangkul tanganku lalu diciumnya.

Kami pun mengobrol. Bercakap. Bercerita apa saja. Tak terasa awak kabin memberi maklumat bahwa pesawat sebentar lagi mendarat di Bandara Ngurah Rai.

Dinda nyeletuk. "Di sini pernah ada pesawat masuk laut."

Sunyi.



(Bersambung)






LIPSUS