Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (30)

Rabu, 29 Januari 2020




AKU pernah cerita pada Anda, bagaimana Rena yang meninggalkan aku dan Dinda di Kafe Diggers tanpa pamit. Ia ngeloyor tanpa menoleh apalagi mengucapkan sesuatu pada kami. Dinda agak kecewa melihat ulah Rena. Ia menduga, persisnya, menuduhku sudah pernah berhubungan akrab dengan Rena.

"Kalau tidak, kenapa ia marah lalu pergi tak pamit?" tanyanya. "Aku tanya ke kawan-kawanku jawabnya sama; 'pasti sudah spesial' makanya ia cemburu," lanjut Dinda menyudutkan aku.

Aku diam.

"Ya kan?" 

Aku masih diam.

"Busye, kamu dengar aku ngomong?"

"O ya?"

"O ya. Kamu dan Rena ada hubungan spesial kan? Kalau tidak, mengapa dia cemburu begitu?"

"Memangnya ia cemburu?" Aku balik bertanya.

Dinda kian gelisah. Wajahnya memerah. Ia menataoku tsk suka. Aku pura-pura tak acuh. 

Dia mengulang ucapannya.

"Kamu dan Rena ada hubungan spesial kan?" 

"Tak ada," jawabku sambil menggeleng. "Tak lebih hanya bersahabat."

Di panggung ada live musik. Aku bosan. Setiap lagu yang didendangkan tidak sampai ke hatiku.

Aku membuka-buka halaman puisi dari penyair muds, Muhammad Alfariezie. Aku menyukai puisi-puisinya. Bahasanya bening, apa yang hendak dikatakan terasa jujur. 

Dari "Montana" aku menuju buku puisi lainnya. Sebuah buku puisi karya Joko Pinurbo, dan Ahmad Yulden Erwin. Kubaca, kusimak, kunikmati seriang-riangnya.

Dinda diam. Benar-benar mengunci mulutnya. Aku biarkan ia bermain dengan batin dan pikirannya, sampai ia pamit tanpa kuantar hingga halaman parkir.

"Biarlah dia pergi. Perempuan kalau sedang merajuk tak perku digubris. Ia malah akan manja..." aku membatin.

*
Empat hari aku tak ke kafe. Tidak bertemu siapa-siapa. Bahkan dengan Dinda ataupun Rena. Tak pula saling berkabar. Mungkin kami sedang introspeksi. 

Aku di rumah saja, sehari berlibur di Tegal Mas Island. Menikmati keindahan wisata itu yang mirip pantai Maladewa. Tinggal di Wisma Saibatin seorang. Malam-malam kukunjungi Lombok Apung, diayun ombak. Di sini aku menulis beberapa puisi. Semacam kerinduan dengan Rena dan Dinda.

Suatu hari kelak aku berniat residensi di sini. Menulis novel tentang keindahan, para pengunjung, dan cinta yang berlabuh di sini. Oh indahnya! Batinku.

Jemariku mengetuk huruf-huruf di laptop. Merangkai kalimat dari kata-kata.

menempuh perjalanan
ke dalam gelombang
kata membentuk pulau
lalu Tuhan merawat
agar tak dikutuk
seperti kota tua
yang hancur berkeping

tapi kau menulisnya
dengan tangan gemetar
mata sayu bersayup
kepala berayun
langkah yang gontai
bagai jalan tak di lantai

aduh! kau mesti tahu
tiada katakata lahir
dari mabuk laut
atau mata yang sayu!

*

1
katakata sudah mejelma ombak
di pantai menulis kenangan
sebagai sejarah yang lain
bukan soal kau atau aku
tapi orangorang yang gegas
atau bermalam di tepi sepi

2
pada gelombang yang gemuruh
katakata menari. lentik jemari
melukis wajahku yang pasi

seperti perahu berlayar jauh
aku tak mampu memburu
katakata itu seirama ombak

3
bagaikan ikan melompatlompat
kata lari ke tuju yang pekat
dan aku coba mengasahnya
agar tetap cahaya!

4
engkaukah katakata itu
menyusun jadi kalimat

5
akulah perahu mengangkut 
jutaan kata ke dalam sadarmu

akulah kata dibawa perahu
mencari dermaga di tuju

6
kuubah kata jadi rumarumah
di pantai berpasir. aku pun
menetap, dari jendela menatap
laut berombak. bagai tombak
lalu meruntuhkan jadi kepingan
tak terkenang

akulah anakanak yang riang
di tepi pantai. membangun
rumahrumahan sampai 
gelombang meluluhkan
bagai badai. badai....

7
suara yang datang dari dalam
terdengar nyaring ke luas ruang

dalam diam
geliatku hingga puncak

*

Dari ujung bagan Lombok Apung kupandang laut lepas. Segelas whyne aku turut berombak. Kubayangkan Dinda di sebelahku. Bagai di leher kapal pesiar kami berpelukan: kedua tangan Dinda terbentang. Mirip dua tokoh dalam kisah Titanic itu.

Setelah puas mandi angin laut, kami masuk ke cottage. Kami melangsungkan percumbuan. Di antara debur ombak, aku melafaskan beberapa puisi yang kutulis di sini.

Aku semakin dipeluk Dinda. 

(Bersambung)

LIPSUS