Terutama Dinda. Dia adalah "monalisa" bagi karya-karyaku. Ia masuk ke dunia kreatifku. Jadi ruh, raga, dan sekaligus tubuh. Dinda bisa kumasuki tubuh dan ruhnya. Sebaliknya, ia masuk ke seluruh gerak dan ucapku.
Kata-kata yang bergolak, yang berombak, dan yang berayun-gelombang adalah Dinda. Ia menjelma sebagai alam: pulau, laut, pantai, gunung, rimba, kafe, hotel.
Seperti ini kugambarkan Dinda dalam puisiku:
kau mau memburuku?
sejuta mil langkahku
telah mengekal di seberang:
laut dalam, hutan kelam,
gunung menjulang
dengan mabuk saja
hanya sampai pada luka!
seikat kembang harumku
mendarat di tiap orang:
di hati terdalam, di ucap
tiap bibir yang senandung
apakah dengan sayu mata
bisa tiba di dalam kataku?
tak kucatat lagi dalam
buku-buku puisiku
kau melepas, kau lepas
dalam hujan yang deras
mabukmu...
Aku kini sakit. Flu berat dan asam urat. Tiba-tiba kukangeni Dinda datang membezukku. Memberiku obat dan mengantar gelas ke bibirku. Ia duduk di sampingku, di bibir ranjang yang kelam ini. Kurindukan dia berdendang seperti suatu ketika di panggung kafe. Menyanyikan lagu Ahmad Dani, "Kekasih yang Baik Hati".
Ya! Kalau Dinda benar-benar kekasihku, kuyakin ia adalah kekasih yang baik hati. Di antara wataknya yang keras, sesungguhnya hatinya lembut. Ia penyayang, tapi juga perajuk. Dinda juga pencemburu, namun setia.
Rena? Agresif. Pecinta ulung. Macan di kala berahi. Kuda betina di saat padang rumput. Juga peselingkuh. Ia bisa memiliki dua atau tiga lelaki kencan. Semua diperlakukan sama. Karena itu, padanya aku tak memiliki kesetiaan.
Ah, Dinda. Selalu wajahnya bermain-main di depan mataku. Ia datang dalam angan dan mimpiku. Bersijingkat dalam rinduku. Mengecup bibirku kala aku sungguh-sungguh kesepian.
Sepi? Rindu? Ya. Kini aku merindukannya. Sayangnya ia tak berkabar, tak pula membalas kabarku yang kukirim ke WA-nya. Hilang ditelan gelombang. Lenyap disapu senyap.
"Wahai Dinda, adakah kau mengerti bahwa aku sedang sakau merinduimu? Aku sakit, butuh belaian dan perhatianmu. 'Ini obatnya, jangan tak kau makan'
Aku mau kau yang menyorongkan air di gelas ke bibirku. Lalu kau keringkan dengan sapu tangan atau tisue sisa air di bibirku. Atau kau hapus dengan jemarimu yang halus.
Aku yakin kau mengintipku lewat cerita bersambungku. Atau di media sosial. Tetapi sengaja tak kau bubuhi jempol, hati, bibir, apalagi komentar. Padahal aku ingin sekali..."
Kini aku sakit. Flu berat dan asam urat yang kambuh. Di mana kau Nda? Sakit jugakah?
Kalau sama-sama sakit, bagaimana kita bisa saling bezuk? "Jangan di akhirat ya kita bertemu, dan saling takziah?" batinku.
(Bersambung)