Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (33)

Sabtu, 01 Februari 2020


PUISI yang kutulis cukup lama ini, kembali kubaca. Lalu terbayang jelas wajah Abe. Lelaki Dili yang dulu kawanku sebangsa, kini tetap saudaraku walau tak lagi berkartu penduduk Indonesia.


/abe/

di mana tanganmu
yang dulu erat kujabat
masih tersisa bekas
jemariku melekat

sudah puluhan tahun
rasanya bendera di dada
ini berkibar; merah putih
sebelum kau lupakan

meski langkah retakretak
akan kupulangkan hati ini
merapat dan berpeluk 
oleh rindu; kenangan sewaktu
bersama kibarkan bendera
dan nyanyikan lagu yang sama

*

TERINGAT pada Abe, kawan kuliah anak Timor Timur -- kini sudah negara sendiri bernama Timor Leste -- dan ia pulang ke pangkuan ibu negerinya. Aku pun terkenang Maria, kekasih Abe, juga kelahiran Dili. 

Keduanya tak sampai membangun rumah perkawinan. Alasannya sederhana: Abe jadi pejuang kemerdekaan Timor Leste yang berarti dianggap berkhianat pada Merah Putih. Sementara Abe menuding Maria sebagai pengkhianat bagi negerinya. Siapa yang benar, siapa pula yang salah?  

Pada suatu seminar kebudayaan antarnegara kami kembali bertemu. Abe banyak cerita ihwal negaranya. Aku hanya pendengar. Misalnya, bagaimana Habibie dipuja, sebab menyetuji memorandum bagi Timor Timur. Sampai-sampai diabadikan bagi nama jembatan di sana.

"Kalau bukan karena dia, Timor tetaplah provinsi. Tak akan merdeka sebagai Timor Leste," kata Abe.

Aku ingat betul bagaimana Abe berjuang agar Timtim pisah dari RI hingga ia ingin dicuri. Ia kabur ke Eropa. Seperti ceritanya, bersembunyi di Belanda. Ia kehilangan Maria, kekasih yang dicintainya. Ia terpisah lama dengan ibu dan ayahnya. Tetapi ia tak pernah berpisah dari tanah kelahirannya. Ia berjuang habis-habisan.

"Sampai tetesan darah terakhir beta!" katanya suatu ketika. Dulu sebelum negaranya merdeka.

Abe kini tampak tua, meski usianya 3 tahun di bawahku. Kami saling menyebut "bung" setiap berdialog. Bung adalah sapaan bersahabat, seperti brader atau bro.

Ia amat dekat dengan presiden pertama Timor Leste. Ke mana pun dalam rangka membangun diplomasi kebudayaan, selalu didukung penuh. Meski tanpa uang saku, ia bisa menaiki pesawat. Itulah Abe. Tapi tak kutahu persis sejak merdeka, apakah ia sebagai pejuang kemerdekaan, mendapatan jabatan yang bagus di pemerintahan. Ataukah sebagai rakyat biasa? Entah.

Kuajak Abe ke Kafe Babe saat jeda seminar. Malam. Ramai pengunjung. Seorang perempuan mirip Maria masuk dan memilih meja persis di sebalah kanan Abe.

Kuamati wajah Abe yang nyaris terkejut. Hampir saja ia menegur perempuan itu. Tetapi urung. Aku tersenyum.

"Kau kira Maria ya...."

Dia mengangguk.

"Entah di mana wanita itu. Karena ia aku tahan melajang," desisnya. Terasa berat ia mengatakan itu.

Abe masih bariton jika berbicara. Logat timor terasa kental. Abe sengaja kembali ke negaranya beberapa hari usai seminar. Ia mau piknik, istilah dia. Saat masih di Timor ia mengirim pesan padaku,  izin menetap beberapa malam. Aku setuju.

"Semoga kedatanganku berkenang," kata Abe. Apakah itu berkenan atau memang ia tidak salah menulis. 

Setelah itu kami banyak cerita ihwal senibudaya, khususnya sastra. Dia menjadi relawan menularkan literasi. Dari kampung ke kampung. Tapi, kata dia, "alangkah sulit memelekkan warga untuk membaca dan menulis."

"Tapi," kuingin memberi masukan. Hanya terhenti. Pesan pendek ke WA masuk. Dari Dinda. Sebuah fotoku dari belakang.

"Lagi di mana Busye..."

Kuarahkan kepalaku ke belakanga. Dinda tersenyum lepas. Ia bersama kawan-kawannya. Dan tak jauh dari dia kulihat Sur. Lelaki bajingan itu. Sendiri.

Kuhampiri keduanya. Pertama kepada Sur. Kutinju pelan bahunya. Ia kesakitan.

"Dengan siapa kau Sur?"

"Sendiri. Kau sama siapa?"

"Aku bersama kawan kita dulu, Abe. Itu dia, kau masih ingat?"

"O Abe. Anak Timor itu!" sambut Sur lalu menuju meja Abe. Sementara aku ke meja Dinda.

"Kenapa kamu? Ada apa. Kamu tak respon WAku. Tak pula mengangkat kalau kutelepon," kataku pada Dinda. Kutatap wajahnya. Ia menunduk.

"Nothing," balasnya singkat.

"Kalau tak apa-apa, tak ada apa-apa. Masak ya tak kau balas WA aku?"

"Entahlah." 

Singkat.

Aku malas meneruskan.

"Baiklah kalau begitu aku pamit," balasku.

"Ke mana?"

"Jauh darimu...."

"Oke..  kalau itu maumu! Terima kasih!" Setelah berkata, Dinda berdiri. Ia pergi. Teman-temannya hanya melongok.

Aku terpaku. Geming. 

Aku harus bilang apa? Padahal bukan begitu maksudku. Kukira ia akan berkata, 'janga Busy. Aku hanya sedang lelah....'
Tapi nasi sudah jadi bubur. Laut sudah asin.

Sejak itu tak ada lagi Dinda yang pernah singgah. Atau pelariannya hanya sementara.

Sur kaget ketika kuberi tahu Dinda sudah pulang. Tiba-tiba. Ia paham. Pasti ada keributan kecil. Dinda merajuk. Ia egois. Aku keras kepala. 

"Sudahlah. Lupakan..." kata Sur.

"Kau ke mari bersama Dinda?"

Sur menggeleng.

"Aku sendiri. Malah tak tahu kalau dia di sini pula..." balas Sur.

Aku diam. Aku percaya pada Sur. Selama ini ia tak pernah mengecewakan. 

Dinda?

Aku sudah benar-benar kecewa. Tak lagi ia kujadikan Monalisa dalam imajinasiku. Dalam karya-karyaku. Sudah kuhapus. Oh! Tapi alangkah beratnya...

*

PUISI BUAT DINDA 

usai lorong pertama kutulis 
namamu, kumasuki gang
berikut tanpa lagi kuingat
bahwa kau pernah bersamaku

tak ada lagi kusimpan dirimu
di saku bajuku. sudah kuhapus
gambargambarmu menantangku
untuk berbincang atau bercumbu

awan hitam             awan biru
dulu kulabuhkan pada lautmu
setiap kurindu   segala kumau
baik pagi maupun sepi malam

bercakapcakap, kekasih
menghitung setiap kalimat
dan lembarlebar gambar
yang kuterima, juga kukirim
padamu. dalam suka 
                            dalam riang
   
                 kau tersenyum
tubuhmu seakan terbuka
                    begitu ranum
kujelajahi hingga mata

di sana pun kulihat kolam
terbentang; aku berenang

bersama pelukan...

2020


Sebuah puisi mengalir cepat. Begitu saja. Bagai air dari pegunungan tanpa hambatan. Itulah puisi terakhir di mana Dinda adalah "monalisa" dalam imajinasiku.


(Bersambung)




LIPSUS