Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (34)

Senin, 03 Februari 2020


SURAT elektronik dari Dinda masuk ke WatsApp. Aku baca:

Dear Busye,
Maaf kalau dua malam lalu aku tinggalkan Kafe Babe begitu saja -- tanpa pamit bahkan bikin malu pada kawan-kawanku, mungkin juga Sur dam kawanmu itu -- karena aku kesal denganmu. Aku sebel banget padamu. 

Aku tahu kau tak suka adaku di situ. Apalagi ada Sur. Tetapi, sumpah! aku tak berencana bertemu Sur di sana. Hanya kebetulan, seperti juga kebetula  keberadaanmu di kafe itu. 

Sudah lama aku tak berkabar. Tapi bukan sebab aku sudah tak menyukaimu. Hanya ingin semadi; introspeksi. Melihat ke dalam diriku.

Barangkali aku tak pantas berada di sisimu. Tak layak menjadi 'monalisa' bagi imajinasi dan karya-karyamu. Rena, Santi, dan siapa lagi aku tak bisa menyebutnya sebab banyaknya perempuan di sekitarmu yang juga menjadi tokoh bagi ceritamu, kukira lebih kayak dan kredibel ketimbang aku.

Maka mulailah aku coba tak merespon tiap pesanmu di WAku, pelan-pelan untuk menjauh dan melupakanmu. Aku sudah tahu banyak hubunganmu dengan Rena. Kau tak perlu membantah atau mengelak, karena Rena sudah bercerita padaku.

Busye, aku minta maaf mengapa aku tak mendesakmu soal ini. Alasanku tak perlu. Aku pun tak butuh pembelaanmu. Segala sudah jelas. Rena banyak cerita, tak ada yang ia sembunyikan. Kupikir juga, kalau Rena tak cerita pun, yang busuk akan kecium juga. Lambat atau cepat. Itu saja.

Ternyata selama Rena ke Bali, kaulah yang menunggu rumahnya. Pantas saja setiap kukirim pesan, kau jarang membalas atau telat kuterima balasannya. Pernah sekali kau balas, kau bilang berada di luar kota bersama temanmu. Kini baru kutahu kau disembunyikan Rena dariku.

Aku kecewa, Busye! Lebih kecewa lagi kau sudah jauh melakukan yang seharusnya tak kau lakukan. Kau sudah berhubungan layaknya suami istri. Seperti kau lakukan padaku sewaktu di Bali.

Aku kecewa sangat! Tadinya kukira kau adalah harapanku. Kau adalah lelaki yang setia. Ternyata nonsens. Aku menyesal mengapa aku mengenalmu. Kenapa kita pernah bertemu. Mengapa pula aku ikhlas menjadi "monalisa'mu. 

Aku juga menyesal kenapa aku terlalu percaya padamu amat berlebihan. Aku tak curiga dengan teman-teman perempuanmu. Kupikir mereka sepertiku, tokoh rekaan di dalam cerita. "Kau" atau "aku" pada puisi-puisi. Adalah tokoh-tokoh imajinasi yang bisa kaupanggil dan pada kesempatan lain kau simpan di kotak.

Tapi, ah sudahlah, tak perlu ada yang disesali. Ibarat nasi sudah jadi bubur. Tidak mungkin dikembalikan ke nasi lagi. Sebagaimana lagu yang salah not. Tak mungkin diulang ke awal.

Kini lupakan aku. Bisa lama aku terbebas dari luka ini. Hapus namaku dari hatimu, benakmu, imajinasi dan karya-karyamu.

Kalau kau pernah ingin membunuh tokoh Dinda, saatnya kau lakukan. Terserah: apakah mati dari ketinggian, bunuh diri di kamar setelah lari dari Kafe Babe, atau tertabrak kendaraan saat menyeberang. Atau tak kau munculkan lagi Dinda di episode berikut.

Aman kan? Pembaca tak mungkin bertanya. Mereka sudah nikmat dengan namamu, bukan lagi karyamu. 

Salam, Dinda yang kecewa!

*

Entah kenapa aku tak mampu menahan air mataku agar tak keluar. Tiba-tiba saja mengucur. Menderas. Menderai basahi kedua pipiku. 

Seusai kubaca surat Dinda, segera kuhidupkan mobil. Aku meluncur ke kosannya. Kamarnya gelap. Kutanya ke tetangga Dinda sebelah kiri, ia jawab tidak tahu. Menggeleng.

Saat hendak kujalankan mobil, seorang perempuan yang pernah dibawa Dinda ke Kafe Babe turun dari kendaraan. Meski agak gelap jelas kutahu merek mobil itu: terrano.

"Maaf...."

"Eh, bang Busye..." balasnya cepat. Rupanya dia tahu diriku. "Cari Dinda? Ada di kamarnya ya?"

Aku menggeleng.

"Mungkin mbak.... tahu ke mana Dinda pergi?"

Ia sejenak terdiam.

"Namaku Maya..." katanya 

"O ya, apa Maya tahu ke mana atau di mana Dinda?"

"E e e...."

"Maaf, kamu benar-benar tak tahu? Atau takut kalau beri tahu di mana Dinda?" kataku cepat.

"A a aku gak tahu," lalu Maya menghindar. Segera kutangkap tangannya.

"Kenapa kamu begitu takut?"

"Aku tak tahu. Sungguh."

"Kamu bohong. Kamu pasti. Aku tak percaya kalau kamu tak tahu keberadaan Dinda. Kamu sahabat dekatnya. Dinda sering menceritakan dirimu...."

"Tapi...."

"Jangan dusta. Kamu akan menyessal jika terjadi apa-apa pada Dinda..."

"Dinda tak akan bunuh diri. Ia wanita kuat. Kokoh pendiriannya."

"Lalu di mana Dinda?" desakku.

"Dia... aku tak tahu!" jawab Maya.

Tiba-tiba kuingat mobil yang menurunkan Maya tadi. Mobil terrano. Juga warnanya, aku begitu kenal sekali. Hanya platnya tak terbaca. 

Siapa lagi pemilik terrano? Wajah Sur, kawanku, begitu dekat bermain di mataku. Ia tertawa. Tawa kemenangan!

Suuurrrrrrrrrrr.....   Bajingan! Diancuk. Duguk! Tauuuuuuunnnn...... 

Aku pun lemas. Tubuhku merosot di dinding mobilku.

Beberapa menit kemudian, ketika aku mulai merasa kuat, kuhidupkan mobilku. Kukelingi kora BT ini. Kumasuki satu persatu kafe. Masuk dan keluar kafe. Kuamati setiap pendatang. Kusisir kursi demi kursi yang ada.

Tak ada Dinda. Tak ada Sur!

Aku kembali ke kosan Dinda. Aku tak masuk. Tapi aku memarkir mobilku dekat gang. Setiap mobil yang lewat depan kosan Dinda kupandangi hingga detil. Apalagi yang berhenti dan menurunkan anak kos.

Saat jam hampir fajar, sebuah tereano berhenti dan menurunkan perempuan. Kuyakin itu Dinda. Tapi ketika aku bergerak, ia kembali menaiki mobil dan melaju. Hampa. 

Tubuhku kembali lemas. Berkali-kali kuempaskan napasku hingga terdengar desahan. Terrano itu. Siapa lagi. Namun apakah perempuan itu Dinda?

Aku pulang. Perburuanku nihil ini kali.




(Bersambung)


LIPSUS