Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (35)

Selasa, 04 Februari 2020


MALAM berikutnya aku masih memburu Dinda. Dan ini hari ketiga aku belum lelah menemukan keberadaan Dinda. Seperti pernah kukatakan pada Dinda, jika ia menutup pintu yang satu aku akan masuk lewat pintu lainnya.

"Jika aku sembunyi di lubang semut?" tanyanya tertawa kala itu.

"Akan kumasuki lubang itu, kemudian kututup pintunya agar kau tak kabur!" jawabku balik bercanda.

Kini, apa iya Dinda akan bersembunyi di lubang semut?

Pertanyaan itu seakan ingin memainkan hatiku. Aku lelah. Aku masuk ke kafe yang tak lagi kubaca namanya. Kupilih meja paling sudut tanpa panorama dan lampu remang. 

Kepalaku menunduk. Pandanganku ke bawah meja. Di tanganku handphone yang terbuka fitur gambar. Kutatapi foto-foto Dinda berbagai gaya. Bahkan ada yang berpakaian minim. Gambar-gambar yang dikirimnya bauk sengaja ataupun kuminta. Sangat kami rindu.

Tak satu gambarnya yang tidak indah. Estetis dan puitik. Itulah sumbangsih inspirasi Dinda bagiku. Ia setuju dan ikhlas jika telah menginspirasi.

"Syukurlah jika inspiring. Jadi sumber mataair karya-karyamu," katanya.

Aku mengangguk. Kucium pipinya.

Kini?

Ah, apakah Dinda akan kembali menjadi inspirasiku? 

*

Dinda begitu berarti tatkala seluruh pintu miliknya untuk kumasuki dia kunci. Karena rapatnya tak ada celah secuilpun sekiranya aku menjelma jadi semut. 

Aku menulis beberapa alinea untuk satu bab dari novel yang sedang kugarap. 


Dinda kembalilah padaku. Malam semakin jahanam tanpamu. Siang laksana neraka tak ada kau menemaniku.

Aku sadar kini. Aku menyesal sangat sekarang. Kenapa tak kupegang tanganmu saat hendak meninggalkan kursi di kafe itu. Mengapa kuucapkan 'aku pamit, jauh darimu' bukannya: 'aku pamit, untuk menetap di hatimu'. Apa karena aku kesal sehingga kalimat itu yang keluar?

Cemburu! Begitu tajam dan berbisa! Karena cemburu, seorang isteri dapat saja menggorok leher atau kelamin suaminya. Begitu sebaliknya. Sang suami nekat menghabisi nyawa isteti dan kekasih gelapnya. Atau membumbui racun di makanan pasangannya. Karena cemburu. 

Dinda kabur karena cemburu. Aku memburunya juga lantaran cemburu. Lalu di mana letak saling percaya?

Tidak ada. Bahkan dengan bantal guling jangan terlalu percaya. Bisa saja ada belati atau pistol di balik sarung banral.

*

Barangkali aku tak bisa mengajak Dinda kembali. Ia sudah patah arang. Hatinya sudah remuk. Ia sangat kesal padaku. Pada ulahku yang menduakannya. Ini semua gara-gara Rena. Ia sengaja meretakkan hubungan kami. Dengan cara menceritakan apa yang telah kami lakukan.

Segera kucari nama dan nomor telepon Rena. Aku pun meminta pertanggungjawabannya!

"Lho kok marah?" Rena balik menudingku. "Yang kuceritakan ke Dinda memang benar kan?"

"Ya. Tapi itu kan privasi. Tak perlu orang tahu..." jawabku.

"Privasi? Apakah hubungan macam itu masih privasi, masih tabu? Tidak kan? Lagian aku cerita - curhat - sesama wanita. Tak ada yang aneh. Tak begitu penting kukira...." kata Rena lagi.

Ia membela diri.

"Hanya Dinda saja yang menganggap serius. Penring. Karena ia amat berharap dirimu," lanjut dia.

"Itu masalahnya. Itu sebabnya kuanggap kamu salah cerita soal kita pada Dinda. Sekarang ia kabur. Menghilang, tahu. Sudah sepekan ini kucari tak ketemu...."

"Kayak anak kecil aja. Kalau dia menyukaimu, sukailah apa pun yang dari dirimu. Jika ia mencintaimu, cintailah juga yang tidak ia sukai. Lalu pelan-pelan memperbaiki..." ujar Rena. 

Ia tenang menghadapiku. Seperti tak ada kesalahan. Ia terbiasa ditempa budaya Eropa. Sudah bisa menjalani percintaan dan dicintai ala Barat. Berterus terang. Tanpa perlu berlebihan memupuk rasa cemburu.

Tapi, yang ia hadapi orang Timur. Dinda. Ia pencemburu. Juga perajuk. Ia menghadapi diriku. Privasi tak boleh diumbar. Ia amat rahasia. Harus dilindungi. Mesti dijaga, sehingga kehormatan diri kita bisa dihargai. Itulah marwah.

"Dinda kecewa karena kamu tak berterus terang menginap di rumahku. Kau bilang ke luar kota. Itu yang tidak ia terima. Andai kau jujur, mungkin akan lain tanggapannya."

"Kau yakin akan lain penerimaannya?"

"Kubilang mungkin, Busye...." balas Rena.

"Dia juga akhirnya bercerita kalau kalian berlibur ke Bali, dan...."

"Ia cerita..."

"Sudahlah. Jangan kaget. Kalau wanita bertemu, ngobrol, hanya semenit awal serius. Selebihnya ngerumpi, curhat, dan bicara soal yang privasi atau kamar tidur..." ungkap dia.

Aku tersedak.

"Sudahlah. Aku pusing sekarang. Kamu di mana?"

"Di rumah...."

"Sama siapa?

"Denganmu kalau kau ke sini sekarang!"

"Oke! Aku meluncur. Buatkan aku kopi ya. Aku mau begadang, nulis cerpen."

"Siaapp..."

Tak ada yang perlu disalahkan. Rena bicara apa adanya. Tak ada rahasia, pikirnya. Cuma kesalahannya, ia bercerita bukan pada orang lain.

Aku pacu mobilku ke arah rumah Rena. Malam gerimis. Jalan basah. Kendaraan belum sepi. Di bawah fly over merayap lantaran beberapa silang jalan. Ternyata jalan layang tak mampu menyelesaikan masalah lalu lintas, gumamku.

Aku santai mengendalikan setir. Tak ada yang diburu. Rena pasti menungguku. Gerbang rumahhnya yang tinggi sudah siap dibuka setiap waktu aku tiba.

Aku membayangkan Rena menyambutku persis di balik gerbang. Pakaian tidur yang tipis. Tembus pandang hingga ke balik dasternya. Berlipstik merah. Alis mata hitam. Tanpa alas kaki. Betis bagai kaki rusa. Lengan yang putih. Sedikit berbulu, juga di ketiaknya. Kadang sengaja memakai baju tak berlengan, sehingga terlihat bulu ketiak yang sedikit itu dan halus.

Aku stel lagu Ebiet G Ade. Sepanjang perjalanan menuju rumah Rena, lagu-lagu EGA kunikmati. Aku suka lagu tentang perjalanan dan ayah. Berulang kuputar. Lalu seri "Camelia", entah perempuan siapa di hati EGA.

Tak terasa aku sudah memasuki jalan satu-satuny ke blok rumah Rena. Pada saat itu pula handphoneku berdering. Kulihat nama penelepon: SUR.

"Ya, halo juga. Ok, aku di jalan. Mau...."

"Aku mau mengobrol denganmu, Busy. Aku di Emersia. Kamar ... ya pas sekali untukmu mekihat kerlip kota. Aku tunggu ya...  "

Aku putar mobilku. 

"Maaf Rena. Aku tak jadi ke rumahmu. Aku ditelpon kawan, katanya penting. Andai aku tak ke rumahmu berarti kami mengobrol sampai pagi."

"Siapa? Di mana?" tanya Rena. Sepertinya ia mengkhawatirkan diriku.

"Kawan. Entah di mana. Yang pasti aku diminta menemuinya di Emersia."

"Boleh aku ke sana?"

"Jangan Rena. Sudah malam. Lagian mungkin penting. Besok pagi, kalau tak selesai ini, aku ke rumahmu. Numpang istirahat..."

"Kopi sudah kusiapkan lo..."

"Kau minum saja Ren..."

Hening.



(Bersambung)



LIPSUS