Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (36)

Rabu, 05 Februari 2020




SEPASANG merpati bercumbu
Aku di kursi ini amatlah rindu
Dinda hilang tak tahu rimba
Sur tak jelas bicaranya
Rena seakan tak berdosa

Aku kecewa dengan Sur. Semalam di kamar .... Emersa kuperoleh kabar tidak memuaskan tentang Dinda. Seperti ada yang ia tutupi. Rahasia yang tak mampu kukorek tuntas. Puluhan tahun jadi wartawan, berhadapan dengan Sur yang jadi sumberku tak banyak kudapati. Selain, "Sepekan lalu memang aku ketemu. Dia cerita tentangmu."

Saat kutanya apa yang diceritakan Dinda soal diriku, Sur berkata, "Dia kecewa." 

Itu sajakah?

Aku tak yakin hanya itu. Pasti mereka jalan bersama. Cerita panjang lebar. Dari yang nyata hingga rahasia. Dari yang kecewa sampai bercinta. Dinda, meski kadang tak banyak bicara, namun kalau sudah ketemu orang yang enak diajak mengobrol maka akan keluar semua. Bahkan yang seharusnya pecah di perut bisa saja pecah di mulut.

Sur kudesak. Apa saja yang dilakukannya bersama Dinda. Tetapi ia hanya senyum-senyum. Hanya he he....eh eh.... 

Sur duda. Pemain. Dinda janda. Perindu. 

"Jadi, sudah kau apakan dia?"

"Maksudmu? Yang jelaslah...."

"Kau sudah berhubungan dengan...."

"Kalau ya kenapa? Kau kan bukan suaminya. Dia juga mengaku bukan kekasihmu apalagi istri..."jawab Sur.

Aku mengernyitkan dahiku. Mataku tertuju ke wajah Sur. Kata sempaiku dulu di karate, jika kau ingin selamat dari orang yang mungkin akan menganiayai dirimu, pandanganmu tajam ke waiah orang di depanmu. 

Sur tenang. Instingku mengatakan, ia tak akan menganiaya diriku. 

"Benar kami belum menikah. Ia bukan istriku, dan aku belum menjadi suaminya. Secara fakta memang kami belum pernah ada kesepakatan sebagai kekasih. Namun kau tahu kan kedekatan kami?" kataku.

"Semua juga tahu. Cuma sebatas pertemanan. Itu pun diakui Dinda padaku," lanjut Sur.

Aku diam.

Kalau aku hanya dipandang sebagai sahabat, teman, lalu mengapa Dinda mencemburui Rena? Kenapa dia kecewa setelah tahu kalau kami pernah berhubungan intim?

Untuk tujuan apa Dinda lari dari Kafe Babe, sampai-sampai tak peduli padaku dan kawan-kawannya. Lalu raib. Kamar kontrakannya selalu gelap, walau kata tetangganya barang-barangnya masih di dalam kamar. Hanya ia tak pernah pulang dan tidur di kamarnya.

"Entah kalau dia diam-diam pulang saat kami lelap, dan pergi lagi pagi sekali. Entahlah," ucap Yeni, tetangga sebelah kamar Dinda.

Kini aku kehabisan cara agar Sur bercerita ihwal Dinda. Fillingku mengatakan, Sur tahu persembunyian Dinda. Cuma ia diwanti-wanti tak boleh beri tahu padaku. Kutahu Sur sangat kuat memegang janji. Siap dipenggal lehernya sekalipun.

"Baiklah Sur, walau aku masih tak percaya padamu bahwa kau tak tahu keberadaan Dinda...." kataku kemudian seakan untuk menegaskan bahwa aku kalah saat ini.

"Terserah kamu, mau percaya atau tak," balas Sur enteng.

Aku berdiri. Pamit. Kutinggalkan Sur di kamar hotel sendirian.

Aku menembus embun 
sebelum matahari rekah
di langit timur cahaya
kemerahan mulai terasa

jalanan lengang
hatiku bimbang
ke mana kuhamparkan
arah hidupku, ya Tuhan?

begitu sunyi
teramat sunyi

tanganmu Dinda
ingin kutangkap
ingin kupegang
tapi bagai halilintar
cepat melesat

*
Tak ada tujuan. Mobil kupacu pelan. Kusetel lagu-lagu Ebiet G Ade. Menemani perjalananku jelang fajar. Telepon genggamku berkedip-kedip. Kubaca nama penelepon. Ebi! Wah, kawan lama. Mantan politisi dan pengurus sebuah parpol di provinsi J.

"Halo. Apa kabar Ebi?"

"Baik."

"Belum. Ini aku masih di jalan. Tanpa tujuan?"

"Dari mana? Yang kutahu, kau itu manusia kamar. Tumben sekarang masih di jalan....:

"Manusia kamar itu Seno Gumira Ajidarma. Aku kan manusia jalanan....ha ha..."

"Lokasi di mana?"

"Seputaran Gedung..."

"Balik arah. Aku di Taman Untung. Sendiri. Ada yang ingin kuobrolkan."

"Memangnya masih buka? Setahuku tak 24 jam....:

"Ini kan malam Minggu. Tutup jam 3 pagi."

"Oke!"

Ebi! Sungguh, aku ingat-ingat lupa dengan wajah Ebi. Bertemu dia 10 tahun lalu di rumah ketua parpol. Saat itu bukan bicara politik, justru senibudaya. Kini Ebi mengelola sebuah kafe di Jalan Untung. 

Ia sudah hijrah, demikian kawan-kawannya menilai. Hijrah ke jalan yang benar, lanjut yang lain. 

"Di politik tak kenal religius ataupun skulaerisme. Yang ada ialah kepentingan. Seseorang yang baik bisa tiba-tiba jadi raol..."

"Apa raol?" tanyaku lugu.

"Raja olah. Mengolah sesuatu yang bisa mendatangkan uang. Atau untuk kepentingan kelompoknya," jawab Cakim sambil tertawa. 

Cakim dan Ebi adalah dua sahabat, orang kepercayaan big bos partai. Orang R-1, istilahnya.

Dua tahun belakangan, Ebi pecah kongsi dengan big bos. Alasannya sederhana: bukan lagi era dia. Kaum muda giliran pegang kendali. Yang tua gantian hanya menonton.

Ebi tersenyum menyambutku. Senyuman khas dia yang sudah kuhapal. Kami kemudian bersalaman. Berpeluk. Duduk. Pengunjung masih ada.

"Kopi ya.  "

"Siaap," jawabku. "Tanpa gula...."

"Ya aku belum lupa," katanya. Lalu meminta pelayan membuatkan kopi tanpa gula.

"Yang manis kamu," canda Ebi pada pelayan perepuan. Bartender itu hanya senyum-senyum.

Kopi tiba di meja. Kuseruput. Kuambil sebatang rokok dan kunyalakan. Kuhisap kemudian asapnya kulepas ke udara.

"Tiga malam lalu Dinda ke sini. Dia nyanya kau," Ebi buka percakapan.

"Sendiri?"

"Berdua. Kawanmu juga."

"Siapa?"

"Pemborong itu."

"Maksudmu Sur?" tanyaku segera.

"Persis."

"Kubilang saja sudah lama tak ke sini. Mungkin sibuk berkarya..."

"Lama meraka di sini?"

"Jam 12 malam pergi," jawab Ebi. 

"Kau tahu ke mana meraka?"

"Mana kutahu," sergah Ebi. "Tak etislah kalau kutanya," imbuh dia.

"Dinda naik mobil Sur?"

Ebi mengangguk.

Deer! Dadaku berdegup. Jantungku berpacu kencang. Sur! Lagi-lagi Sur. 

Benar dugaanku. Aku curiga memang dengan Sur. Dia pasti tahu keberadaan Dinda. Dia bersama Dinda. Hatiku mengatakan keduanya sudah jauh melangkah. Tetapi kenapa Sur tega menyabet Dinda dari tanganku?

Aku teringat pertama kali keduanya bertemu di Taman Untung ini. Pandangan Sur sangat aneh bagiku. Canda Dinda juga sudah mengarah ke hal lain. Keduanya sudah punya perasaan lain. Jangan-jangan tak lama dari pertemuan malam itu, keduanya bertemu dan bertemu.

Lalu mengapa Dinda kecewa denganku? Kenapa ia mencemburui Rena? Kenapa dia sangat terluka setelah mendengar cerita dari Rena bahwa aku sudah seumah dan menunggui rumah Rena selama di Bali?

Bukankah kita sama-sama bermain belakang? 

Perempuan! Selalu ingin menang. Salah saja perempuan tak bisa disalahkan, apalagi jika ia merasa benar; akan diperjuangkan habis-habisan walau nyawanya melesat.

Begitulah. Seperti dalam puisi Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan itu, "aku dapati kematian/tiap gali rahasia perempuan//engkau, perempuan, rahasia/yang sulit diselami/seperti kematian/yang kurasakan/setiap petang..."

Lalu apa lagi yang dapat kuharap dari Dinda? Dari sisi apa lagi yang bisa meyakiniku bahwa ia dapat dipercaya?

Ah, Dinda! Kamu sama dengan kebanyakan perempuan. Memanggul kesalahan sebagai kebenaran...

*

Kulepas pagi bersama Ebi
dengan kuncup bunga yang kini mekar.
Matahari basuh tubuhku, cahaya melekat di wajahku.

Tak ada nama Dinda lagi di saku celanaku.
Telah kulempar jauh ia ke langit luas, ke laut dalam. Tiada nisan...

Gugur namanya
Berhamburan kenangan 





(Bersambung)








LIPSUS