Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (37)

Rabu, 05 Februari 2020


SUR mengajakku bertemu. Berulang, kulihat empat kali panggilan, dan tak kurespon.

Sur jarang menggunakan aplikasi pesan di WA. Karena empat kali menelepon dan kubiarkan hingga nada dering usai,  akhirnya mengirim pesan. Cukup panjang.

Busye, maaf aku mengganggu kesibukanmu. Empat kali aku meneleponmu, tapi tak kau angkat. Aku percaya bukan karena kau tak mau menerima teleponku, melainkan sebab lain: kau sibuk atau sedang kerja, atau handphone dalam keadaan silent.  

Aku minta maaf, karena masalahmu dengan Dinda, akhirnya imbas pada perkawanan kita. Sungguh tak ada maksudku memecahkan kalian. Atau berniat merebut simpati Dinda untukku. Aku bukan tipe lelaki sekotor. Aku memang bajingan untuk urusan perempuan, namun mengambilnya dari hati kawan atau saudaraku tak pernah ada dalam niatku. Boleh tanya Dinda, apa aku pernah menyentuh hal yang sensitif apalagi mencium dan menidurinya?

Kalau ia jawab pernah, temukan aku di antara kalian. Akan kuiris bibirnya! Salam....

Setelah kubaca kusimpan pesan elektronik Sur itu. Wajah Sur tiba-tiba amat dekat. Ia kawan masa kami lajang, semasa kuliah dulu. Terlalu banyak ia membantuku. Begitu juga aku padanya. Terakhir ia kucurkan 100 juta rupiah buatku menulis dan menerbitkan novel. Ditambah ia berencena membawa keliling novelku ke beberapa kota. 

Lalu, kenapa kini aku sangat membencinya hanya karena seorang Dinda? Sur jelas-jelas sahabatku, Dinda belum tentu menjadi isteriku!

Aku diam. Benar-benar ingin merenung ihwal perjalanan hatiku beberapa hari, bahkan pekan, yang abstrak. Abstrak. Obscure. Absurd. Hanya orang berakal sehat yang tak bisa terjebak dalam lingkaran setan seperti ini: cinta, hati, cemburu, benci, dan....

Di kafe tak akan menyelesaikan masalahku ini. Aku butuh hening. Yang kuinginkan adalah kesunyian. Aku mau introspeksi. Gunung. Ya!

Aku mantan pendaki gunung. Semasa remaja sampai awal di kampus kerap kutaklukkan berbagai puncak gunung. Aku bermalam di sana. Aku menulis catatan harian di atas gunung. Seperti Soe Hok Gie, aktifis Malari yang kenudian mendaki gunung dan meninggal di sana.

Semoga nasibku tak sama dengan Soe Hok Gie. Aku masih ingin 'hidup seribu tahun lagi'. Aku membatin. Kupinjam kata-kata Chairil Anwar.

Kini aku merindukan itu. Kucari kawanku saat bersama jadi wartawan. Terakhir yang kuketahui ia bersama Arland membuat pondokan yang antil bergaya rumah lancip. Terletak di kaki Gunung Tebu. Ya. Zefri.

"Ada apa kawan ..."

"Kau di Tebu?" 

"Ya, mau ke sini? Kutunggu. Bawa motor aja," saran Zefri.

"Ada duren kan?"

"Setiap waktu petani keluar dari hutan angkut duren dan pete."

"Wow. Asyik. Sedap. Aku meluncur sekarang," balasku.

Zefri sudah menanti dengan beberapa buah durian. Di posko sudah ada Arland, Ojal, Roni. Kuparkir motorku samping posko yang merangkap warung. Pak Har, pemilik warung tersenyum padaku. Kubalas. Zefri mengenalkan diriku pada Pak Har.

"O ya, yang nulis di situ.... Bagus."

Maksudnya aku menulis puisi tentang keakraban manusia dengan alam. Zefri meminta orang menorehkan dengan cat di papan dan ditancap di depan pesanggrahan Zefri.

Aku langsung disuguhi heberapa buah durian. Lupa kalau aku aku pengidap asam urat dan darah tinggi. Mungkin lebih 8 buah kami buka dan makan. 

Tidak terasa jam sudah pukul 21.00. Zefri menawarkan aku bermalam. Aku sahut sukacita. Anak buahnya diperintah turun membeli indomie dan kepeluan lain. Aku naik tangga. Masuk kamar. Kubuka pintu menghadap Gung Tebu. 

Anak-anak gunung itu cekatan. Setiba di posko ia buatkan kami mie. Secangkir kopi dan sebungkus rokok. Aku buka laptop. Aku menulis bab pelarianku ke gunung ini. Di bawah cahaya lampu dari panas matahari aku menulis bab ini dari bagian novelku kelak.

BAB 8
PELARIAN

Aku capek. Terlalu sering diberi ujian dan lolos, kini aku tak sanggup menerima apapun ujian. Hanya untuk membuktikan kesetiaan atau tetap cinta.

Kini aku harus melawan. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau Dinda mau pergi silakan. Aku tak boleh mengalah. Membujuk-bujuknya agar kembali. 

"Sekali melangkah kau ditinggalkan perempuan, jangan kau cari agar dia kembali," itu pesan almarhum kakekku.

Kakekku menambahkan, kalau kelak aku berkeluarga dan istriku pergi dari rumah. Jangan panggil ia pulang.

Kini, tak perlu kuucapkan maaf, tak kucari lagi Dinda. Sudah kututup akses untuknya ke aku atau sebaliknya.

Malam pekat. Gunung Tebu sudah tersimpan oleh malam dengan sepotong bulan. Bahkan mendung menutupnya. Sebentar lagi kuperkirakan hujan turun. Wah! Ini kali kedua dalam hidupku hujan saat di gunung. Pertama kali sewaktu kuliah. Kami terjebak hujan dan kabut. Jalan pendakian licin. Rombongan kami nyaris tersesat. Bahkan, Yulianti, kawan kami hampir tergelincir ke dalam jurang. Untung saja Reno cepat menangkap lengan Yuli dan aku sigap memegang tubuh Reno.

Sejak itu kami sangat dekat. Tetapi Yuli sulit memilih siapa yang menjadi kekasihnya? Karena aku dan Reno dianggap sama-sama berjasa: menyelamatkan jiwanya!

Sampai wisuda, Yuii belum juga memberi kepastian. Secara kesatria aku pun menjauh. Laku diikuti Reno. Kabarnya sampai sekarang Yuli masih lajang. Hanya tak kutahu keberadaannya. Aku pun tak memiliki nomor kontaknya.

Yuli. Lebih cantik dari Dinda. Lebih lembut dari suara Dinda. Tetapi ia juga lebih cuek daripada Dinda. Karena itu ia bukan tipe pencemburu. 

Aku masih duduk di dekat pintu menghadap gunung. Kabut dan udara dingin menyempurnakan pelarian. Ketika kulihat arloji tanganku menunjuk pukul 03.10 aku turun dari pesanggrahan.

Rombingan pertama pendaki bergerak. Aku masuk dalam rombongan itu. Tanpa pamit pada Zefri dan Arland. Boleh jadi kedua manusia itu tengah mendengkur.

Aku rindu sunres. Seperti saat kuliah. Dan semangatnya mendaki. Aku juga merindukan mandi di air terjun di atas gunung. Dulu aku kerap mandi berbugil ria. Karena belum banyak pendaki. Kalau pun ada perempuan hanya kawan sendiri. Cuek bugil. Mereka malu sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Lalu sembunyi di dalam tenda. Ada juga, khususnya Yuli yang cuek itu, acap menutup matanya dengan tangan namun jari-jarinya merenggang.

Aih! Aku tersenyum-senyum jika mengenang kenakalan masa lalu. Yuli selalu kami kerjai. Misal kami ajak mencari air untuk dimasak. Di air terjun itu setelah ia mengambil air, kami buka baju dan celana lalu mencebur. Yuli berteriak kaget. Malu. Sebab ia melihat kami bugil.

Kini? Banyak pendaki. Tak mungkin kenakalan seperti itu bisa kami lakukan. Bisa-bisa diseret ke kantor polisi dengan tudingan perbuatan tak menyenangkan.

Ah Yuli...

Selesai baris itu, kututup laptopku. Iseng-iseng kubuka handphoneku dan membuka WA. Ada 10 orang masuk. Yakni Sur, Panjir, Ijal, Heri, Gustaf, dan Rena!

Tak satupun kubuka. Kubiarkan hingga aku turun dari gunung ini. Sebab aku ingin benar-benar merenung di sini. Mau muhasabah. Melupakan keriuhan yang selalu merayuku jadi batu!


(Bersambung)












LIPSUS