Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (39)

Sabtu, 08 Februari 2020



PUISIKU kembali kubaca. Ditulis di papan dari batang pohon dan ditancapkan di depan pesanggrahan Zefri. Ia pernah memintaku menulis puisi tema alam, dan kusumbang dua puisi. Aku suka membacanya kini. Kata Zefri banyak pendaki menumpang swafoto di situ.

di kaki gunung ini
udara seakan mengapung
aku hirup         aku hidup
kotakota kulesapkan
ke saku pakaian 
juga namamu kutanam
di hamparan hutan

*

Aku semakin kerasan di sini. Lebih nyaman dan tenteram dibanding di kafe-kafe itu. Lebih tenang, tiada bising musik ataupun percakapan pengunjung kafe.

Tak ada kendaraan yang beradu kenalpot di sini. Aku lebih leluasa merenung. Introspeksi. Juga lambat laun nama dan kenangan tentang Dinda raib. Yang ada hanya hijau pepohonan dan hutan. Bening air terjun. Kabut yang menyelimuti pegunungan. 

Di kaki Guunug Tebu aku lancar menulis. Signal sesekali hilang dan timbul. Sehingga handphone lebih sering kumatikan. Aku tak terganggu oleh dering panggilan dan suara pesan yang masuk. 

Zefri juga sudah turun. Ia sudah rindu pada istrinya, kata Zefri malam tadi. Subuh ia tinggalkan pesanggrahan. Dan malam nanti mungkin aku sendiri di sini. Atau biasanya ada saja yang datang dan meminjam pesanggrahan. Entah Ijal, Im, Gopek, atau Sapri. Mereka orang-orang pendaki. 

Apakah aku takut kesendirian? Ah, saat ini aku lebih suka sediri. Tak mau diganggung oleh siapa pun. Juga Dinda! Perempuan yang lama mengendap dalam imajinasiku, jadi inspirasiku. Tetapi ia kini melukaiku. Pergi tanpa pamit dan tak jelas di mana keberadaannya.

Rena, otak kerusuhan ini, seperti tak merasa berdosa. Sebab ia tak memiliki, jadi tak pernah merasa kehilangan! Rena bukan milikku, kalau pun aku menjauh darinya maka ia tak perlu mencari. Aku membatin.

Aku tahu Rena biasa gonta-ganti lelaki. Yang pergi tak perlu diburu, karena lainnya akan ditemuinya. 

"Ah tak juga Busye. Sungguh aku merasa kehilanganmu. Kukira subuh itu kamu mau datang, sudah kutunggu-tunggu. Sudah kusiapkan segelas kopi pahit. Eh kau telepon aku katanya tak bisa. Aku kecewa tahu!" kata Rena saat meneleponku sebelum aku ke sini.

"Ayolah ke rumahku. Akan kujelaskan seluruhnya. Kronologinya. Tahukah kau aku tersiksa kalau kau menuduhku sebagai otak keretakanmu dengan Dinda..." katanya kemudian.

Ia membujukku berkali-kali agar aku mengurungkan niatku menetap beberapa hara di pesanggarahan ini. Ia was-was aku diserbu nyamuk, dilolong anjing hutan. Atau tiba-tiba ular masuk dan mematukku.

"Niatku sudah bulat Ren, aku ingin ketenangan di gunung. Mau merenung. Ingin menulis cerita dan puisi. Aku mau lupakan kafe-kafe itu. Apalagi novelku sudah selesai. Saat ini sedang finishing cetak," ujarku.

Rencana bermalam di gunung sudah bulat. Tak ada yang boleh melonjongkan atau menggepengkan. Kecuali Tuhan yang bisa membatalkan.

"Eh ya Gunung Tebu itu di mana Busye? Yang masuknya dari Wiyono itu kan?" Rena bertanya.

"Ya. Kamu kok tahu?"

"Itu gunung terkenal karena jadi favorit para pendaki. Masak aku tak tahu..." jawabnya.

Aku diam. Itu percakapan lima hari lalu. Lewat sambungan telepon selular.

*

Kini hari ke enam aku memilih pesanggrahan Arland untuk bersepi-sepi. Aku kerasan karena segala seuatunya sudah tersedia. Kata orang tua ingin membangun rumah, psrhatian denga tiga hal, yakni air, kebun, dan tempat pembuangan. Dan di sini sudah tercukupi.

Di dapur juga disiapkan beras, kopi, gula, dan sembako lain. Kalau aku malas masak nasi, aku bikin mie. Aman.

Langit cerah pagi ini. Matahari menembus hingga ke kamar tidurku di lantai dua. Daun-daun bergoyang. Kabut di tubuh gunung tiada. Seraya menulis puisi, kunikmati segelas kopi pahit. Sesekali aku duduk di teras. Memandang para pendaki yang naik dan turun.

Telepon genggamku bersuara kencang. Kulihat nama yang memanggil. Ah, Rena! Mau apa lagi dia? Gumamku.

"Halo..." 

"Ya Rena. Ada apakah?" tanyaku santai.

"Aku sudah di gerbang. Bisakah kau jemput aku atau suruh orang yang turun ke sini. Mobilku gak bisa naik. Khawatir tak nanjak."

"O pasti. Jalan agak becek, licin," jawabku.

"Jadi kau bisa jemputku? Aku mau ke tempatmu...."

"Motorku tril. Tak ada boncengan." kataku.

"Kalau jalan kaki berapa lama?"

"Wah, sekitar 10 menit. Tapi kau akan capek sampai di sini," balasku.

"Jadi?"

"Baiklah aku jemput. Seadanya ya...."

"Oke. Tak apa. Yang penting aku bisa sampai ke gunung..."

"Bisa pasti. Tapi susah dulu di trilku...."

"Tak masalah. Yang penting aku bisa ketemu kamu Busye. Aku kangen, aku mau minta maaf langsung, aku bawakan kabar buatmu....."

Aku diam. Kuhidupkan motorku. Menuju tempat Rena di posko pertama memasuki kawan hutan lindung ini. 

Rena berdiri di tepi jalan berbatu. Mobilnya dititipnya pada warga. Sehari Rp15 ribu. Ia beri selimut mobil putihnya itu.

Bagai anak motor ia lompat ke jok di belakangku. Tangannya kuat melingkar di pinggangku. Kami melaju di jalan aspal. Menanjak. Setelah melewati jalan beraspal, belok kanan masuki bebatuan. Sampai tugu akhir perkampungan, jalan pun hanya tanah. Merah dan basah. Becek. Dan di sana sini bekas ban kepater. 

Dari sini hampir tiap motor menggunakan rantai yang dililit di ban. Mobil yang bisa melintas khusus di jalan seperti ini. Ban juga khusus di medan sulit. Mobil yang biasa offroad bakal aman di jalur ini.

Kami diombang-ambing. Tubuh Rena melekat di punggungku. Terasa sentuhan sesuatu di belakangku. Hampir saja kami terpeleset. Tapi karena aku biasa lintasi jalan berbahaya, motorku bisa kukendalikan. Rena tertawa-tawa.

"Asyik. Asyik. Ini perjalanan menyenangkan!" teriaknya.

"Bukan seperti lagu perjalanan Ebiet....haha," sambungnya.

Ia makin mengeratkan pelukannya. Aku tak bisa menolak. Soalnya aku pun harus menjaga keselamatan bersama.

Bagaikan Ali Topan membonceng Ana Karenina kupacu motor trilku meliuk-liuk demi menghindari jalan licin, bergelombang, dan tanah basah. Bahkan aku merasa lebih lincah dan gagah dibanding Ali Topan yang berani mengendarai motor hanya di jalan beraspal mulus. 

Aku layaknya sedang menyelamatkan Ana, tokoh yang diperankan Yatti Ockativia, ke rumah saudaranya di kampung hidup bahagia. Sebab kedua orang tuanya tak setuju herpacaran dengan Ali Topan. Film besutan 1970-an karya Teguh Esha itu kembali berputar di benakku, saat aku membonceng Rena naik ke gunung.

"Ah, kayak Ana dan Ali Topan ya...." ujar Rena dengan suara keras agar sampai ke telingaku.

"Ya ya...." jawabku keras. "Tapi hati-hati kamu, jatuh terjerembab. Di atas medan lebih mengerikan...."

"Sangat menantang!"

"Tapi jangan sampai kita dipecundang. Pegang erat pinggangku," balasku.

"Maumu kan?"

"Aku khawatir kau jatuh. Celaka. Dibawa ke rumah sakit. Aku juga yang susah..." suaraku meninggi.

"Oke oke...."

Lalu kami menikmati perjalanan penuh tantangan. Tidak ada lagi aspal dan batu. Hanya tanah dan tanah. Berlumpur. Di sebelah kami hutan demi hutan. Sejuk udaranya. Sebentar lagi kami masuki area pacet. Kupacu agak kencang trilku. Rena semakin mengetatkan pelulakannya. Napasnya sesekali terasa di pipiku. Geliat.

"Maafkan aku ya Busy..." suaranya pelan di telingaku.

Aku mengangguk.

"Kamu gak benci aku kan?"

Aku menggeleng.

"Kamu masih mau berkawan denganku kan? Masih mau ke rumahku?"

Aku mengangguk.

"Kamu sudah jumpa Dinda?"

Aku menggeleng.

"Dia sudah pulang ke kosnya. Kemarin Dinda meneleponku. Ia lama di rumah orang tuanya karena sakit. Karena stress. Dia bilang mau ketemu kamu, dan mau minta maaf," kata Rena beberapa jenak kemudian.

Aku hanya diam.

"Kamu dengar Busy?"

Aku mengangguk.

"Dinda mau minta maaf. Kamu mau memaafkan kan?"

Aku mengangguk. Pelan sekali.

"Mau?"

"Ya," jawabku tegas. Agak keras.

"Syukurlah. Artinya aku pun tak lagi berdosa dengan kalian...."

Aku tak merespon.

Kami sampai di posko terakhir. Kuparkir motor setelah Rena turun dari jok belakang. Lalu kami menuju pesanggrahan. Ia lempar ransel di kasur.

"Kau bawa apa itu?"

"Pakaian dan kosmetik."

Diam.

"Aku ingin bermalam di sini. Bersamamu. Menikmati bulan purnama..."

"Hei jangan. Sore kau harus turun. Banyak nyamuk. Lampu juga remang di sini. Bahkan gelap... nanti kamu apa-apa...."

"Aku sudah siap baju tebal, obat anti nyamuk, dan senter yang sudah kupenuhi baterenya. Aku bawa juga kompor gas khusus pendaki," jawab Rena.

"Tapi kalau malam seram lo..."

"Aku mantan anak pendaki. Aku dulu biasa camping. Tenang saja kau Busy."

Yup! Aku baru tahu kalau Rena adalah mantan pendaki gunung. Baru kali ini ia bercerita. Bahkan Semeru, gunung yang tesohor karena aktifis Soe Hok Gie meninggal di sana, sudah ditaklukkan Rena. Selain gunung-gunung lain. Ia juga punya hobi menyelam dan berenang di laut. 

Rena tidur di kamar yang sama, kamar kecil, merangkap ruang duduk. Hanya selebar 2 x 2 meter. Tinggi sekepala orang dewasa.

Setelah kulit kami dioles soffel, Rena mengajak duduk di depan menghadap belantara. Bagian depan ini berbentuk teras. Ada pagarnya. Tangga sebelah kanan di luar. Berbeda pesanggrahan lainnya: tangga naik dan turun berada di dalam rumah.

Rena mendekat. Ia berbisik dingin. Dekat denganku merasa mendapat kehangatan. Aku tak sanggup menolak. Kami kembali bemanja-manja. Mesra.

Malam terus tergelincir. Kami masih di luar. Belum mengantuk. Atau karena kami menikmati suasana ini? Entahlah. 

Rena mengingatkan aku kalau esok lusa Dinda mau bertemu. Dia juga mengatakan, keputusan ada padaku. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dinda. Tetapi tak punya kewajiban meneruskan jawabanku pada Dinda.

"Kamu yang langsung jawab ke Dinda kalau nanti dia ngontakmu ya?" ujar Rena.

Aku mengangguk. Saat ini aku sedang malas membicarakan Dinda. Saat aku berada di sisi Rena. Kunikmati saja, kuhadapi yang berada di dekatku saat ini. 

Untuk apa memikirkan yang jauh dan belum terjangkau? Buat apa menangkap yang terbang, sementara dalam dekapan lebih jelas? Usah memburu mimpi kalau realita ada di pelukan! Suara hatiku itu berkelebat-kelebat.

Kami masih menikmati kecantikan purnama. Setiap gerak bulan penuh menuju Barat seakan kami catat. Tidak terlewarkan. Sampai-sampai kami tak tahu apakah sudah adzan Subuh ataukah belum. Di dalam hutan lindung ini bagaimana mungkin panggilan salat bisa sampai?



(Bersambung)




LIPSUS