Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (42)

Senin, 10 Februari 2020









GUSIKU sakit seharian tadi. Sampai malam ini belum juga sembuh. Padahal beberapa merek pil sudah kutelan. Kini makin menguatkan bantahanku pada syair lagu: putus cinta lebih sakit daripada sakit gigi. 

Kepalamu! Sakit gigi itu minta ampun nyerinya. Bisa sampai ujung kepala. Bisa sakit kepala. Nah, kalau diputuskan cinta bisa dapat baru lagi. Ibarat anggota Dewan, pagi dipecat atau meninggal, tak lama dari itu sudah ada pengganti -- PAW -- dan siap bekerja. Begitu pula kekasih. Jadi tak perlu gusar apalagi sampai bunuh diri segala kalau diputus kekasih. Baiknya katakan dengan berteriak: "Selamat tinggal. Lihat aku akan gandeng kekasih yang baru...."

Semestinya pukul 19.00 aku janjian dengan Sur di Marley. Tapi aku tak bisa. Aku beri tahu dia lewat WA kalau pertemuan batal. Aku janji besok malam sekalian matangkan rencana roadshow novelku. 

Dinda siap bantu dan nemeni aku waktu roadshow. Siap izin tak ngantor sepekan, kata Dinda.

Sur membalas: Sip. Ia merangkap managermu Busy. Dana kutransfer kr dia atau ke rekiningmu.

Kataku: Rekeningku aja. Kalau dia gak dpt izin kan aman..

*
Kemarin malam setelah bertemu Dinda di Diggers, kuajak ia ke Marley menemui Sur. Kami mengobrol sampai pukul 22.10. Lalu pisah. Aku + Dinda mampir ke rumah Rena. Soalnya Rena meminta Dinda agar mengajakku ke kediamannya. Kalau Dinda mengharap aku menenaminya, aku tak mungkin menolaknya.

Semula niat hanya sebentar. Jam 1 dini hari kami akan pamit. Tapi Rena mengajak kami ke ruang tamu Rena di lantai 2. Di situ kami keasyikan mengobrol hingga Subuh. Lalu aku pamit tidur di kamar yang dulu kutiduri. Rena dan Dinda masuk kamar lain. Entah melanjutkan percakapan atau tidur juga.

Dinda dan Rena, yang kutahu kasatmata, sangat cocok. Karena itu aku sulit memastikan; apakah keduanya mencintaiku? Atau mereka menganggapku sebatas teman?

Akan tetapi, kenapa Dinda mencemburui Rena hingga kabur sebulan lebih? Mungkinkan ia berang lantaran aku tak jujur -- tidak berterus terang -- tentang kedekatanku denga  Rena. Bahkan aku menginap dan tidur sekamar!

"Memangnya kalian main kartu saja? Emangnya kalian langsung tidur dan bangun pagi tanpa sentuhan? Gak masuk akal deh!" tuding Dinda sebelum ia marah dan kabur.

"Tapi kami tak ada apa-apa. Maksudku, kami tak pernah menyatakan menjalin cinta, sepakat janji saling mengasihi. Kalau itu terjadi, tak lebih kareka keadaan sesaat itu..." jawabku.

"Teteem gitu?" 

"Entahlah. Aku tak bisa menyetarakan seperti apapun..."

Dan, selanjutnya Dinda menganggap Rena adalah sahabat. Mereka lebih intens berkontakan ketimbang denganku dan aku ke mereka.  

Ketika kabur, sesungguhnya Rema tahu keberadaan Dinda. Hanya ia diwanti-wanti jangan beri tahu aku. Ia mengancam musuhan jika dibocorkan. Rena seportif. Lebih baik pecsah di perut daripada keluar di mulut.

*
Pukul 20.09 belum juga membaik masalah gusiku. Bahkan semakin nyeri. Aku menghubungi Sur lewat nomor teleponnya.

"Sur, ini aku...."

"Ya. Aku sudah di Marley. Jam berapa sampai sini?" tanya Sur sepertinya dari suara yang sampai terkesan gelisah. Ia berharap kedatanganku.

"Maaf Sur. Justru aku mau bilang kalau aku gak bisa keluar. Gusiku sakit. Sejak siang tadi...."

"Wow. Kenapa pula? Apa sebab?"

"Entahlah. Ada sisa gigiku lama yang patah. Tapi belum dituntaskan tunggulnya. Mungkin itu penyebabnya," jawabku menahan sakit.

"Oh! Ya sudah aku ke rumahmu. Kubelikan obat di apotek. Aku tahu nama pil yang ampuh. Kalau dokter langgannan masih mau menerima malan begini, kita sambangi aja. Tunggu aku...."

"Tak usah."

"Jagan tolak. Aku betewe ini...."

Tak cukup 25 menit, Sur sudah sampai. Ia bawakan obat dua macam yang langsung kutelan. Dia juga bawakan aku nasi masakan Padang. 

"Aku pernah merasakan seperti ini. Sakitnya minta ampun. Kalaupun di sebelah kita ada cewek cantik, tak akan tergiur kita."

Sur lalu tertawa. Keras. Aku hanya mesem-mesem. Mau terbahak ada aral. 

"Bohong. Pasti kau hajar juga. Tipemu aku sudah hapal...." jawabku sambil tersenyum.

"Mau kuantar ke dokter? Dia mau menerima kita di rumahnya sekarang."

Aku diam sejenak.

"Tak usah repotkan dia. Di rumah adalah privasi dia bersama keluarga. Apalagi sudah makan obat. Kukira sama yang akan dia beri resep ke kita. Kecuali malam ini tak berubah, besok sora aku ke tempat praktiknya..."

"Oke kalau begitu," ujar Sur. "Kalau sudah agak membaik, mau jalan malam ini. Pakai mobilku nanti kuantar pulangnya. Atau kita pesan 2 kamar hotel. Teserah maestro dan syeikh sastra saja..." lanjutnya meledek.

"Ya. Oke. Ini sudah berangsur membaik. Tapi kalau ada masalah di jalan, kau antar aku segera pulang ya."

"Siap komandan!"

Aku menyambar pakaian di gantungan sebelah lemari baju. Sepatu kets kusorong di kedua kakiku. Menuju parkir terrano Sur. Kami keluar. Ke jalan aspal. 

Malam penuh bintang di atas sana. Kota kita ini mulai berangsur lengang. Beberapa kali melinsi jalan layang. Juga lengang. 

Jika pada jam sibuk fly over itu seperti tak berarti mencegah kemacetan. Soalnya hanya di atas lalulintas lancar, tapi di bawah tetap saja merayap.

"Penataan kota yang mengabaikan logika. Hanya kepentingan bisnis, tapi lupa fungsi fly over. Kalau progresnya buat mengurai macet, ya perhatikan di sekirar jalan layang itu juga," kata Sur.

Aku sependapat dengan pikiran Sur, gumamku. 

"Semestinya bagaimana nata jalan di bawah fly over setelah jadi. Termauk underpass. Yang lancar di sana, bagian lain jalur lintasnya masih bermasalah. Belum lagi para pengusaha yang mencari hidup di sekitar itu. Karena naik atau masuk dalam tanah, pendapatan mereka jadi berkurang. Bahkan bisa-bisa gulung tikar," kataku kemudian.

"Kalau hasilnya sama saja dengan sebelum ada fly over dan under pass ya berarti mubazir. Entah apa yang d pikiraan meraka. Mana lagi ada rencana mau bangun fly over atau under pas di tempat lain. Harus dipikir dampak mudarat dan manfaatnya..." sambu  Sur.

"Eh kita mau ke mana ni? Enaknya ke Kafe Taman Untung ya.  Bisa lebih santai," Sur mengingatkan.

"Oke juga. Aku juga mau ketemu Ebi. Mungkin belum pulang..." 

Ebi adalah kawanku dan mantan pengurus partai politik. Sejak, seperti kata dia, mendapatkan hidayah ia keluar dari "kesesatan"-nya itu. Ia selalu menyebut "sesat" saat mengatakan dunia lamanya.

Apa yang dikatakan Ebi tak sepenuhnya benar.
Ia menemukan kalimat itu bukan di saat jadi politisi.
Hanya saja, dari ulah banyak politisi kiwari, sedikit ada benarnya. Ia merasakan masuk dalam "kesesetan" tersebut.

Ah! Persetan kali dengan politik. Aku menemui Ebi untuk membicarakan kerjasama peluncuran novelku Pengunjung-Pengunjung Kafe. Karena kafe dia kumasukkan, seperti kafe-kafe lain juga ada. Kalau pengusaha kafe setuju, ini bagian iklan atau promosi elegent. Aku membatin.

Mobil sudah melewati perlintasan kereta api Jalan Taman Untung. Sebelokan tibalah kami di kafenya Ebi. Pengunjung masih ramai. Masih pukul 23.05.

Pukul 23.11 Dinda meneleponku.

"Busye... di mana?"

"Lagi sama Sur. Mau ke Taman Untung," jawabku.

"Katanya kamu sakit gigi."

"Gusi."

"Ya samalah. Tu kan gak boleh kena angin. Jangan ngerokok. Asapnya..." Dinda mekberi saran.

Aku diam.

"Dengar Nda ngomong, Busy. Inget ya nanti makin sakit," katanya makin menegaskan. "Ya sudah Dinda ke sana sekarang. Nda bawain obat ya...."

"Apotek sudah tutup. Kalau mau ke sini ya kesini aja. Sur sudah bawakan obat juga tadi," jawabku.

Sebenarnya aku tak mau merepotkannya. Cukup dia datang, aku sudah senang. Mungkin bisa jadi obat.

'Aku ada stok Busy. Ini obat yang Nda bawa lebih paten. Yakin kok."

Dinda menguatkan. 

"Karena kamu yang menguatkan," balasku. Tertawa.

"Ih. Sakit-sakit masih ngebanyol. Ngerayu. Ya sudah aku otewe..."

Dua puluh lima menit Dinda sampai. Ngobrol satu jam dengan Sur, kami pamit. Kami dipesankan kamar hotel oleh Sur. Tapi kutolak.

"Janjinya kau mau antar aku. Nah sekarang antar pulang dulu Dinda, lalu ke rumahku. Konsekuen ya...." kataku pada Sur dengan nada bergurau.

Sur tersenyum. Menatapku. Kemudian ke Dinda.

Dinda mengangguk. Setuju.

Kami keluar dari halaman parkir Taman Untung ke kosan Dinda. Setelah itu Sur mengantarku. Tak ke rumah, tapi hotel Emersa. 


(Bersambung)












LIPSUS