Cari Berita

Breaking News

Merasa Sendiri

Sabtu, 21 Maret 2020


Oleh Isbedy Stiawan ZS

SEJAK 15 Maret 2020, saya menyadarkan diri. Tidak keluar rumah alias home stay. Kesadaran individu sekaligus juga mengikutu anjuran pemerintah. 

Ini kulakukan adanya virus yang disebut korona atawa Covid 19 yang menggegerkan planet bumi. Di Indonesia yang positif terpapar 369 kasus (semoga saya tak salah memberi data). Artinya, jika individu tak memunya kesadaran membentengi diri dengan tidak berkumpul dan mengunjungi keramaian, akan bertambah. 

Saya teringat hadist Rasulullah, jika suatu waktu ada wabah vurus ke negerimu, hendaklah jangan bepergian ke negeri lain atau jangan masuki negeri yang terpapar virus. Sementara bagi warga setempat, disarankan berpencar ke gunung-gunung. Isolasi? 

Ya itulah yang saya lakukan. Mengisoliasi diri di dalam rumah. Sungguh. Bagai pemuda Kahfi yang berdiam di goa, saya pun melakukan home stay. 

Untungnya di zaman canggih: intenet dan sosial media diakses gampang. Tidaklah membuat saya -- dan orang-orang yang memiliki kesadaran sama, berdiam di rumah -- tidak merasa kesepian akut. Selain, mungkin, merasa sendiri. Hanya berkawan keluarga. Mengobrol sama keluarga. Juga menonton acara-acara televisi. Buka-buka medsos: FB, IG, dan WA. 

Tak ada pekerjaan rutin. Sebab saya bukan orang kantoran. Saya tak punya majikan karena sata bukan karyawan. Tak bergaji dari negara atau perusahaan. Saya merdeka? Tenteram? Tidak juga.

Sebagai "pekerja lepas" (freelance) seperti saya ini, tentu bebas dari persoalan urusan deadline pekerjaan.  Meski dua agenda yang sudah terjadwal, ditunda sampai waktu tak ditentukan. Artinya ada masalah bagi pemasukan sehari-sehari. Ditambah kebutuhan hari-hari menipis. Termasuk rokok! Hehehe.

Bekerja, belajar, beribadah dari rumah. Dengan tag #dirumahsaja. Memang anjuran yang sunah. Sampai era para sahabat Rasulullah. Masih ingat soal Khalifa Umar Bin Khatab saat mengunjungi negeri Syam? 

Begitulah. Tetapi, era kini jauh berbeda denga masa para sahabat. Kebetuhan manusia abad 21 ini jauh lebih besar. Itu sebabnya, kebutuhan pokok sehari-hari di pasaran habis dibeli. Terjadi penumpukan di lingkungan masyarakat? Bisa ya bisa pula perimaian cukong. Begitu pun masker yang ditengarai dapat mencegah Covid 19, tiba-tiba langka di pasaran.

Sungguh. Makin membuat kita merasa sendiri. Tanggapan masyarakat dengan pengidap korona juga begitu berlebihan. Dikucilkan. Dipublikasi besar-besaran. Sampai tak ada lagi ruang privasi. Simak saja wawancara wartawan Kompas, Putu Fajar Arcana, dengan orang Kasus 1. Bagaimana pengakuan Kasus 1 saat ia dibully netizen, sementara ia sedang berjuang melawan Covid 19 dalam pengasingan?

Saya kini juga merasa sendiri. Untung internet tak pula home stay. Listrik libur. Kalau semua ini turut pula kuncitara, apakah saya sama serupa nasib para pemuda Kahfi? 

Semoga kita terjauhi dari terpapar virus korona. Dan Covid 19 segera berlalu. Tiada badai tanpa akhir. Amin.*

21 Maret 2020

LIPSUS