Cari Berita

Breaking News

Bubarkan Saja KPU Biar Diurus Kemendagri

INILAMPUNG
Minggu, 10 November 2019


Kantor KPU RI (Ist/inilampung)

Saya tersentak soal dugaan adanya uang pelicin 100 juta itu. Mau jadi KPU membayar? 

Ini menarik. Kalau memang sistemnya model bayar, harusnya dibuat loket dan sistem lelang, siapa yang bayarnya paling mahal, itu yang dipilih. 

Saya kaget, kenapa cuma 100 juta. Murah sekali.

Lebih kaget lagi, kok saya tidak dikasih bagian. Gak tahu apa sekarang ini zaman buntu.

Kasus ini menarik. Pelapornya ada, mengaku punya bukti-bukti. Sudah diberitakan banyak media. Yang dituduh ada, seharusnya segera menjelaskan, pengakuan atau bantahan, di media juga. Kemudian, disidangkan di pengadilan. Selesai. Sebab, di bawah sumpah dan dihadapan majelis hakim, pasti semua terbuka. Pasti ketahuan siapa yang jujur dan siapa yang berdusta.

Saya kenal meski tidak akrab dengan semuanya. Entah, mereka kenal saya atau tidak. 

Mbak Esti Nur Fatonah dan Mbak Lilis Pujiastuti yang dilaporkan. Pelapornya, Bang Gentur Semedi dan istrinya, Mbak Viza Yelisanti Putri. Kalau itu benar, dari nama lengkap di inisial-inisial yang tertulis di media?

Tolong jangan sampai, kasus yang menggegerkan ini, mendadak hilang. Harus dikawal sampai tuntas dan berkeadilan karena di sini, banyak yang dipertaruhkan. Integritas penyelenggara Pemilu terutama. 

Bagi saya, kasus ini sangat menarik. Apakah Mbak Viza sendirian? Tidak ada calon lain yang, sebut saja, setor uang pelicin agar bisa diterima jadi KPU? Bukankah bersamaan seleksi KPU Tulangbawang, kabupaten dan kota lain se-Lampung juga sedang seleksi? 

Kenapa di sini penerima Mbak Esti dan Mbak Lilis, yang keduanya juga pendaftar, bukan ke Tim Seleksi yang jumlahnya sekitar lima orang dengan tanggungjawab 3 atau 4 kabupaten/kota?

Jujur saja, kasus ini membuat heboh dan banyak menyisakan pertanyaan. Apakah bisa, penyelenggara pemilu itu dipercaya menggelar Pilkada, Pileg, Pilgub dan Pilpres? Kalau sistemnya bayar. 

Menariknya lagi, lima komisioner terpilih di 15 kab/kota, belum ditetapkan. Kasus ini bergulir. 

Dari berita yang beredar. Terduga penerima uangnya, calon KPU Pesawaran dan Provinsi (yang Mbak Esti sudah terpilih). Terduga pelapornya, calon KPU Tulangbawang. 

Baik penerima dan pemberi uang, masuk 10 besar semua. Yang membantu pelaporan, mantan Timsel?

Wajarlah kalau muncul pertanyaan-pertanyaan ini;

1.) Para pelapor, benar-benar mau menegakkan integritas dengan membongkar kasus ini secara terbuka dan sampai selesai atau hanya membuat "daya tawar" misalnya, agar nama yang diminta lolos, diloloskan atau tidak diloloskan?

2.) Simpul paling utama jika ada bukti setoran uang, ikuti arus uangnya, tegakkan aturan sesuai hukum yang berlaku. Ini sedikit agak aneh, penyuap dan pemberi suap, bisa dipidana. Semua yang terpublis, layak dipertanyakan secara kritis agar kebenaran itu tersingkap, tidak sekadar jadi alat berbasis kepentingan pribadi. Kepentingan publik harus lebih diutamakan. Sudahkah dilaporkan ke polisi sebagai penipuan dan ke DKPP? Kapan?

2.) Kenapa sudah 2 hari, 7 komisioner provinsi belum menggelar jumpa pers? Hadirkan "terdakwa" tepatnya yang tertuduh, suruh buat pernyataan, apakah benar atau tidak pelaporan itu, sampai sebelum kasus ini disidangkan. Mestinya, jangan buat pernyataan sendiri-sendiri yang kesannya, hanya cari aman masing-masing. Beri porsi dan kesempatan terduga penerima uang itu membela diri, dan atau membuat pengakuan. Sebab, ini masalah publik dan soal integritas selama menjadi KPU Provinsi. Kalau mengakui, ya harus mundur. Lebih bagus dipidana juga. Kalau menolak tuduhan, silahkan dibuat mekanismenya sesuai aturan yang ada.

3.) Pengakuan "memberi uang" mestinya cukup, publik tak butuh bukti-bukti seperti rekaman, kuitansi, dlsb. Kenapa pemberi uang, memberikan ke sesama calon yang sedang berjuang agar terpilih juga? Siapa yang "berwenang" (misal; Timsel dan anggota KPU RI) yang terlibat, kenapa sama sekali belum disebut inisialnya. Mestinya, bukan hanya inisial, nama jelas itu penting, agar mudah dikonfirmasi. 

4.) Mbak Esti dan Mbak Lilis apa komentar Anda? Siapa yang menyuruh dan siapa lagi yang sudah setor uang? Berapa sebenarnya jumlah uangnya, 2 juta, 10 juta, 100 juta atau 150 juta?

5.) Kita layak melindungi dan mengapresiasi pelapor, yang mengaku memberi uang itu. Yang juga perempuan. Ketiganya, (dua penerima, satu pemberi) saya tahu pakai jilbab semua. Kenapa mencuatkan kasus ini sebelum pengumuman 5 komisoner? Apa sudah tahu "yang memberi uang" bakal tidak terpilih? Tahu dari mana? 

Ah. Ada-ada saja. Mana ada lima pertanyaan itu jawabannya. 

Sudahlah, bubarkan saja KPU, biarkan Kesbangpol yang jadi panitia pemilihan, yang sifatnya ad hoc. Dari provinsi sampai KPPS, statusnya sama. Dibentuk jelang pemilihan, dibubarkan pasca pemilihan. 

Lihat saja mekanisme KPU RI, dijaring Tim Sel, dipilih anggota DPR RI yang notabene perwakilan parpol. Salah satu tugas KPU RI, menggelar Pileg dimana parpol bersaing untuk bisa dapat kursi DPR RI. 

Dimana integritas dan independensi dari sistem model itu? 

Mengapa tidak diserahkan saja kewenangan penyelenggara itu ke Kementerian Dalam Negeri, dimana mestinya, siapa pun presiden dan parpol pemenang, tugas aparatur sipil negara di kementerian, pemda, wajib netral. Mereka para birokrat itu bisa dan mudah menjalankan sistem kepanitian model KPU yang juklak dan juknis-nya, jelas. Sebab, model pejabat pembuat komitmen saja PNS itu mampu, buat sistem lelang dengan LSPE piawai, apa lagi hanya menggelar pemilihan yang Jurdil dan Luber.

Semoga kasus ini menjadi pemantik, bubarkan KPU. Biar diurus Kemendagri, TNI dan Polri. (*)


Endri Y. 
Penulis Aktif di Komunitas Tendean Tujuh
Pegiat di Komunitas Gedong Meneng

LIPSUS