Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (41)

Senin, 10 Februari 2020






KAFE Digers pukul 20.09. Live music baru satu lagu. Pelantun perempuanya berusia sekitar 19 tahun. Suaranya syahdu. Ia pilih lagu yang lembut. Pas dengan karakter watak dan vokalnya. Aku sangat menikmati. Tak merasa terganggu. 

Dinda sudah memilih table di dekat panggung. Bagian sayap kanan. Bulan purnama di atas kepala kami. Bintang bercahaya. Langit cerah. Sepertinya tanpa hujan malam ini.

Dinda mengenakan kaos pink. Celana panjang hitam. Bibirnya berlipstik merah tapi tidak menyolok. Rambutnya terurai seakan tidak disisir. Dinda makin tampak cantik. 

Sebulan setelah kepergiannya dari Kafe Babe, ini malam kami bertemu. Sedikit canggung. Layaknya baru berkenalan. Sampai-sampai dua kali kami mengambil makanan berbarengan. Begitu pula saat curi pandang. Akhirnya tatapan kami bertumburan. Lalu senyum. Malu.

Ia menarik napas sesaat kemudian dilepas ke udara. Aku menahan. Mataku tetap pada wajahnya. 

Cantik! Gumamku.

Dinda melepas pandangnya ke wajahku. Sekejap kemudian, suaranya lirih.

"Busy, maafkan Dinda. Kemarin aku benar-benar galau. Aku ada masalah dan dilema," kata Dinda. Airmatanya menetes. Pelan.

Semula tak ingin kutemui Dinda. Aku telah melupakannya. Tak lagi kucari atau apapun. Namanya sudah kuhapus dari benakku. Kalau saja ia tak menelrponku dan mengatakan penyakitnya kambuh, tak akan kusambangi kafe ini untuk menemuinya. Ternyata tokoh Dinda masih kuharap dalam imajinasiku.

Kami lama terdiam. Hening. Tanpa live music. Kafe Senja masih sepi. Hanya 4 pasang pengunjung dan berjauhan. Mungkin menangis pun tak ada yang mendengar. 

Kami geming. Sama-sama menunduķ. Dan tersadar ketika pelayan menyorongkan makanan ke dua kali yang kami pesan 15 menit lalu. 

"Aku mau tahu kenapa kamu lari dari Kafe Babe lalu tak berkabar sama sekali? Aku ke kosanmu, kata kawanmu tak pernah pulang...."

"Sudahlah tak perlu dibahas...." kata Dinda. "Masalah pribadi yang Nda bawa ke kita. Yang penting Nda sdh minta maaf. Dinda yang salah kok."

Aku diam.

Dari wajahnya kembali kubaca puisi. Amat panjang. Romantis. Sentimentil. Ia seperti berujar; "karena cintamu sudah kuncup, sudah selamat tinggal, puisi tak akan lagi bermakna. Akan terbang tiada gaung. tak lagi..maka kuakhiri di sini."

"Wow melankolis!"

"Siapa Busy?" Dinda mrmbuyarkan. Kukira ia tak mendengar. Ternyata suaraku terlalu keras.

"Ke mana aja kamu Busye, selama kita menjauh?" Dinda bertanya setelah terdiam lama.

"O aku?"

"Ya siapa lagi? Kamu kan di depanku. Ih ngeselin lagi deh kamu...." 

Merajuk.

"O aku. Ya dari kafe ke kafe. Kucari kamu. Sampai pagi. Tak tidur-tidur," jawabku.

"Kasihan...."

"Siapa?"

"Ya kamulah...."

"Kamu kasihan samaku?" 

Aku menggoda.

"Oh no!" Balas Dinda. Kemudian tertawa.

"Karena capek cari-cari Dinda, kafe kuanggap tak menyelesaikan masalahku...."

"Lalu kamu ke mana? Bali?"

Aku menggeleng.

"Aku cari pelarian ke gunung. Seperti Soe Hok Gie..."

"Wow aku suka dengan dia. Tokoh aktifis itu sangat kukagumi..." jawab Dinda hampir berteriak. 

Aku tahu ia memang mengagumi adik Arief Budiman itu. Juga tokoh pejuang kemanusiaan lainnya, baik dalam negeri ataupun luar negeri. 

Lalu ia bercerita ihwal Soe Hok Gie. Aktifis Malari itu kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942 dan meninggal di Gunung Semeru oada 16 Desember 1969. "Sehari sebelum ia berulangtahun ke 27!" kata Dinda.

Aktivis Indonesia beretnia Tionghoa  yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. "Mahasiswa jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

"Aku pernah baca tulisan tentang Soe Hok Gie. Tulisan itu dibuka dengan kata-kata yang amat dalam maknanya. Soe Hok Gie memandang politik sebagai lumpur yang kotor. Namun demi menjatuhkan rezim Soekarno, dia terpaksa terjun ke dunia politik dan membina aliansi dengan militer."

"Wah kau tahu banyak tentang dia ya Nda?" tanyaku memujinya.

"Karena aku membaca...." balasnya ringan. 

Kemudian ia melanjutkan cerita tentang ketokohan Soe Hok Gie. Tentu dari bacaannya.

Soe memang pernah mengungkapkan hal tersebut dalam catatan hariannya yang dibukukan berjudul Catatan Seorang Demonstran. Pada 16 Maret 1964, dia menulis bahwa politik adalah barang paling kotor, lumpur-lumpur kotor yang di dalamnya sama sekali tak mengenal moral.

“Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi maka terjunlah.  Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini,” ungkapnya.

"Kukira tak banyak orang Indonesia yang mau jadi Soe Hok Gie. Apalagi dari etnis itu. Orang hanya ingin mencari ujung tanpa berjuang," kata Dinda kemudian.

"Banyak dari kita hanya hadir di saat pesta, saat seremoni, ketika bergembira. Kita langsung ke muka, naik panggung. Seakan ingin mengatakan bahwa karena dia semua ini ada. Ia merasa setelah ia, tak akan ada kemenangan. Padalah di saat perang, ketika genting, waktu perang dan berjuang ia tak pernah tampak. Bahkan buat membantu pun enggan."

Diam sejenak.

"Terlalu banyak orang yang munafik seperti ini. Tak pernah ada suaranya, tak terdengar saran dan perjuangannya. Begitu menang dan ada yang bisa menguntungkan, ia cepat-cepat mengambilnya. Merenovasi. Tapi bagian miliknya. Ini orang kayak begini banyak di dekat kita. Orang-orang munafik. Mau menikmati naik kereta ketika henda jalan!" tandas Dinda.

"Aku sih yakin ada juga yang masih lurus. Pejuang reformasi yang tak tergiur kedekatan, jabatan, dan tetap menjadi oposisi...." kataku setelah Dinda diam. Aku hanya ingin membuka dialog.

"Ya aku juga yakin. Tapi berapa gelintir yang masih bertahan dengan keindependensinya? Sedikit sekali. Bisa dihitung jari!" jawabnya tegas.

Kemudian ia membayangkan Soe Hok Gie tak meninggal di Semeru. Ia bisa hidup di beberapa rezim. Apakah ia tetap kritis ataukah mendekat pada kekuasaan?

"Tapi tak baik mengandai-andai orang yang sudah tiada. Ia orang baik. Kepergiannya pun sangat baik..." ujar Dinda.

Aku mengangguk.

"Seperti kamu. Kau baik pake banget," kataku.

"Gombal. Ngerayu...."

"Kamu masih sayang denganku?"

Aku menggoda.

"Masih perlukah ditanya lagi?" Dia balik bertanya.

Aku geming.

Wajahnya terus bermain-main
Sepasang angsa di kanvas itu
Seperti gembira berenang
Memadu kasihsayang

Menuju peristirahatan...


(Bersambung)






LIPSUS