Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (64)

Sabtu, 07 Maret 2020






HANYA kesepian, hanya luka, tak lebih dari itu. 

Kau seperti melangkah di atas bara, dalam tatap api dari orang yang engkau kasihi.

Aku hanya membaca derai airmata. Awan mendung. Guguran embun. Bunga-bunga cinta yang lelayu. 

Seperti tiada matahari lagi di bumi ini, untuk menyegarkan tetumbuhan. Kasih sayang yang nyaris membeku. 

Lihatlah ke dalam diri. Masuk ke sampai palung. Hatimu. Tak bisa kau didustai. Sesungguhnya kau masih merindukan cinta itu. 

Kau masih berharap, seperti kupu-kupu yang mengharap putik mekar setiàp waktu. Kuntum yang di sana ada manis untuk dicecap.

Bukan semata airmata, darah kesumat, dendam amarah, kebencian membuncah.

Kesepian, kesunyian. Berdiri dan menghadap ke Timur. Di pagi hari. Dan luruskan tubuhmu ke Barat saat sore. Ada harapan. Ada semangat.

Begitulah seharusnya. Tak harus ratapan semata. Hidup ini indah sejatinya, jika menatapnya dengan terbuka. Tiada cinta, sebelum kita mencintai kekurangan seseorang.

*
Baris-baris itu ditulis Merichris yang kini kubaca melalu gawaiku. Di depannya. 

Perempuan yang masih menikmati sebatang rokok Esse Change biru, tak terganggu oleh tamu Kafe Marley yang riuh. 

Percakapan, tawa, musik, gaduh, ataupun aduh. 

Baru saja kami -- pengunjung di sini -- terganggu oleh gaduh yang tak biasanya. Sebagian tamu dicekam ketakutan sangat. 

Tiba-tiba saja. Sangat cepat. Seorang lelaki, masih muda, langsung diringkus dan dibawa keluar. Padahal ia baru nasuk dan belum sempat memesan apa pun.

Lelaki itu tak bisa mengelak. Apalagi melarikan diri. Matanya nanap. Meninggalkan sisa layu di wajah Merichris. 

Siapa dia

Lelaki itu tak berkutik saat dua orang lelaki meringkus ke dua tangannya ke belakang. Seorang lagi di depannya berdiri tegap. Di tangan kanan pistol. 

Kami tak menahu sejak kapan mereka datang. Dari mana ketiganya tiba, tahu-tahu sudah menangkap buruan; lelaki terbilang muda usianya.

Apakah mereka sudah ada di kafe ini beberapa saat sebelum lelaki itu tiba. Tetapi berpura-pura sebagai pengunjung. Duduk di antara kami, warga sipil. 

Tak lama kami mendengar gaduh. Tetutama saat lelaki itu hendak berontak. Tapi kedua pria di kiri dan kanannya sudah memelintir tangan lelaki itu ke belakang. Satu tangan pria kekar tersebut memegang kerah baju sangat kuat. Kaki menekan belakang dengkul. Tersungkur.

"Ada apa ini. Saya...." hanya itu suara pembelaan dari lelaki itu.

"Diam! Nanti di kantor!" jawaban yang kukira nyaris klise.

Lalu hening. Seakan tak terjadi apa-apa. Seperti tanpa peristiwa apa pun. Tiada gaduh.

Merichris menunduk. Dalam sekali. Telepon genggamnya diabiarkan di meja dalam kedaan telentang. Terbuka. Tapi tanpa cahaya. Seperti wajahnya kini, tanpa berseri-seri.

"Ada apa? Kenapa denganmu?" tanyaku.

Ia menggeleng. Beberapa kali. Pelan. Layaknya tak bertenaga. Lemah. Sendu.

Tersendat. Percakapan mampat. 

Dengan cara apa aku bisa masuk untuk berkomunikasi denga Meri? 

"Ok kalau begitu. Saya pamit ya. Kekosongan membangkitkan keheningan. Saya tak mau terperrangkap di dalamnya," kataku.

Menjauh dari kursi Meri. Kucari meja yang masih kosong. Ada. Di bawah pohon. Di atasnya ada lampu. Cukup untuk menerangi saat kubaca tulisan perempuan yang mirip Rena itu.

Aku tertarik dengan satu tulisan, di bagia akhir.

Suatu hari, kau akan masuk perangkapku. Kau adalah harimau, tapi tak akan lagi berkutik ketika aku menjebakmu.

Kau ganas, culas. Penerkam. Tapi seganas-ganas harimau, akan tunduk dengan kecerdikan seekor kancil.

Akulah kancil itu. Diam-diam, menunjukkan wajah takut, tapi bisa memerangkapmu. Menyeretmu tanpa perlawanan.

Diseret jauh. Ke dalam petangkap yang gelap dan pengap.

Kala itu kau memanggil-manggilku. Berharap pertolonganku.

Tapi mash perlukah kuulurkan bantuan untukmu?

*

Menjelang pulang, aku sempat menulia momen di Kafe Marley ini. Apakah ini buat Rena, Dinda, ataukah Merichris?

Andalah yang punya jawaban itu. Walau berbeda.


aku tak pernah kesepian
di mana aku jeda
di sana penuh oleh katakata

: kita tertawa

juga kueja setiap rahasia
dari gerak tubuhmu
setiap kau mengucap

: dan senyummu mematikan

di antara keheningan itu
aku merasa tak pernah sepi
kutangkap tepat segala

warna langit
lumut dinding
kolam ikan berair

langitlangit merah 
dan hitam pekat

"aku selalu mengalir
dalam arus kata!" 

*

Tinggal empat pengunjung dan aku yang belum hengkang dari Marley ini. Merichrist pergi sekira 45 menit penangkapan pria tadi. 

Aku tak melihat Meri meninggalkan kursinya. Bagaikan buron yang menghilang dari kejaran seorang intel. Berulang Meri kutelepon, tapi tak ada jawaban. Sepertinya ia gunakan mode terbang. Perempuan itu demikian misterius! 

Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya. Dikepung pertanyaan-pertanyaan. Siapa pria yang ditangkap itu. Mengapa ia ditangkap, di kafe ini pula? Apa kaitannya lelaki itu dengan Meri? Apakah drama penggerebekan tadi, diatur Merichrist? 


(Bersambung)


#isbedy 
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban sastra isbedy stiawan zs

LIPSUS