Cari Berita

Breaking News

Demokrasi Nurani?

Sabtu, 24 Oktober 2020

Komisioner KPU Bandarlampung Fery Triatmodjo dan Isbedy Stiawan ZS/ist


 
Oleh Isbedy Stiawan ZS


Aristoteles pernah bertanya tentang demokrasi, apakah rakyat yang miskin dan kurang pendidikan bisa mengendalikan segelintir elit kaya dan berpengetahuan?

Pertanyaan tersebut, barangkali, sampai kini masih relevan dipertanyakan. 

Sementara Abdul Hadi WM di salah satu komentar pada laman facebook (FB)nya  mengatakan, di Indonesia demokrasi baru pada tahap prosedural dan hura-hura. Enak pada mereka, tak enak pada kita yang tak berkuasa.

Lalu, masih perlukah politik dalam hidup bernegara? 

Pertanyaan ini akan beragam jawaban. Tergantung masing-masing sudut pandang. Tetapi, yang pasti politik sama tuanya dengan usia manusia. 

Politik modern memang terasa sudah bergeser jauh dari fitrah manusia. Jangan-jangan, demokrasi kita saat ini tak lagi hidup dalam nurani. Melainkan napsu sesaat: kekuasaan.

Karena ingin berkuasa dan takut kalah dalam pertarunngan demokrasi, acap segala cara dilakukan. Uang dan fitnah. 

Politik santun dan hati yang diajarkan Rasulullah, bagi umat Islam, tak dipakai secara kaffah. Rasulullah pernah tak diterima kaum Yahudi, namun ia tak pernah membalas dengan fitnah ataupun caci. Baginda Rasulullah malah mendoakan yang baik-baik kepada musuh-musuhnya.

Pilkada ataupun pileg yang dilakukan langsung, dan "suara" ditentukan oleh rakyat, segala upaya pun dikerjalan oleh kontestan.

Dari bagi-bagi uang, walau semua kontestan akan membantah, kenyataan di lapangan telah membuktikan.

Di suatu daerah, ada isu bahwa si A telah menjanjikan memberi Rp300 ribu pada sehari sebelum pencoblosan dan itu bertandatangan di selembar kertas. Lalu si B, siap Rp200 ribu dengan cara yang sama. 

Apakah praktik seperti ini dapat terendus? Sulit jawabnya. Perjanjian itu hanya dua belah pihak. Rahasia. Jika salah satu berkhianat ataupun membocorkan, kedua pihak terancam pidana.

Bukankah yang memberi dan menerima sama-sama terancam diganjar terali besi?

Itu soal uang. Kawan menyebut; demokrasi saku (amplop).

Lalu, gerakan yang struktur dan terorganisir, tim sukses salah satu kandidat bisa dengan gampang membuka atau memiliki benerapa web media. Media online bisa lebih dari 10! Hal ini wajar, di era digital atau media sosial, segalanya dimudahkan. 

Bayangkan kalan 1 kandidat/kontestan memiliki 10 media online ditambah media maenstream yang ada, sebaran informasi, sosialisasi, juga kampanye makin luas dan banyak.

Terjadilah perang media (lebih pasnya: perang kampanye). Mirisnya dengan kondisi ini, masyarakat kerap cuma disodorkan berita-berita menyerang lawan dan mengangkat setinggi-tinggi kontestan sendiri. Serangan itu acap menohok pribadi dan condong "fitnah" tak beralasan. 

Belum lagi penggunaan media sosial, status-status FB maupun IG berisi saling serang. 

Lalu di mana nurani? Kita letakkan di mana akal sehat ini? 

Masyarakat diajak main-main dengan propaganda bahasa, peribahasa, dan sejenisnya. Bukan dicerahkan dengan adu program atau janji politik jika terpilih. Misalnya, "jika saya terpilih jadi kepala daerah dan tidak sesuai dengan visi dan misi program, saya siap dimundurkan dan siapkan 1 peti mati buat saya. Peti mati lainnya untuk bawahan saya yang juga melanggar. Atau tidak mensejahterakan rakyat."

Rasa-rasanya ini tak terlambat. Karena, sesungguhnya, yang dirindukan masyarakat adalah demokrasi (politik) nurani.

Selain itu jangan biarkan para konglomerat atau tuan taipe turut bermain di ranah politik. Dengan cara menebar uang untuk salah satu calon. Karena ini salah satu dari memanjakan masyarakan berpikir uang dalam  politik. Siapa yang menabur lebih besar, masyarakat akan memilihnya. 

Akhirnha, dengan hanya nurani, yang tuna netra dapat melihat dunia ini tetap benderang. Salam.

...

*bahan perbincangan pada Sosialisasi KPU Bandar Lanpung dengan Komunitas Seni/mahasiswa di Pondok Santap Taman Untung, Labuhanratu, Bandarlampung, Sabtu (24/10) malam.




 
 

LIPSUS