Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 80)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 21 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang   


“Assalamualaikum, pak Mario,” sebuah suara tiba-tiba menyapaku. Teryata pak Rudy telah berdiri di depan jeruji besi.


Terjawablah kenapa tamping tadi berkali-kali memberi isyarat dengan kedipan matanya. Komandan kompleks rumah tahanan yang datang ke kamar kami.


“Waalaikum salam. Apa kabar, pak. Sehat terus ya,” sahutku, buru-buru beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jeruji besi dan menyalami pak Rudy.


“Alhamdulillah. Berkat doa pak Mario dan kawan-kawan, saya sekeluarga sehat. Bisa kita ngobrol sebentar,” lanjut pak Rudy.


Aku menganggukkan kepala. Pintu sel dibuka oleh tamping. Nedi dan Hasbi diminta keluar kamar.


“Jadi gini, pak. Mulai besok, renovasi itu kita mulai. Saya minta bantuan, pak Mario,” pak Rudy membuka obrolan setelah duduk berhadapan di kamarku.


“Siap, pak,” kataku dengan tegas.


“Tolong pak Mario awasi yang kerja. Juga tahanan yang kamarnya sedang direnovasi. Jangan sampai ada yang macem-macem. Bantu petugas piket. Itu saja kok,” urai pak Rudy.


“Siap, pak. Inshaallah saya bisa jalankan amanah pak Rudy,” ucapku dengan sungguh-sungguh.


Pak Rudy tersenyum. Perwira polisi ini memang amat santun. Aku perhatikan, perlahan tangannya membuka kancing baju dinasnya, dan ia keluarkan satu kantong plastik kecil. 


“Tadi ada anak buah kasih saya rokok. Saya inget pak Mario, maka saya masukin baju dan buat pak Mario ini semua,” ujarnya, dan menyerahkan bungkusan ke tanganku. Isinya 5 bungkus rokok.


“Masyaallah, saya jadi ngerepotin pak Rudy aja selama ini. Alhamdulillah. Makin banyak rejeki pak Rudy dan terus berkah,” kataku, dan menyalaminya sambil menundukkan wajah. Penuh hormat.


“Santai saja, pak Mario. Itu memang sudah rejekinya pak Mario. Sama Tuhan dititipkan lewat saya,” sahutnya enteng, kembali dengan tersenyum.


Aku ambil dua gelas air mineral, dan ku taruhkan di depan tempat kami duduk. Pak Rudy kembali tersenyum.


“Gimana nggak seneng orang main kesini, karena pasti dikasih minum,” ujar pak Rudy dan meminum air mineral gelas yang ada di depannya.


Aku hanya tertawa. Aku tahu persis, banyak hal yang diam-diam terus ia pelajari dariku. Sebagai orang yang lama berdinas di reserse, insting pak Rudy pastinya sudah sangat terlatih.


“O iya, pak. Kalau perlu komunikasi dengan ibu dan keluarga, bilang saja. Nanti saya bantu,” kata pak Rudy, setelah kami berdiam beberapa waktu.


“Nah, kebetulan ini, pak. Saya mau melapor,” kataku buru-buru. 


Feeling-ku menyatakan, pak Rudy sesungguhnya mengetahui jika di kamarku ada hp, dan aku tahu persis hal tersebut.


Tanpa ragu, aku ceritakan soal adanya telepon seluler yang disimpan di kamarku. Mulai dari cerita Aris sampai kemudian ia memberikannya kepadaku. Termasuk siapa saja yang selama ini menggunakannya.


Pak Rudy tampak sekilas kelihatan terkejut, namun sesaat kemudian menganggukkan kepalanya. Aku memahami, keterkejutan itu sengaja ia tunjukkan untuk menghargaiku. Karena sesungguhnya, ia sudah mengetahui yang sesungguhnya.


Aku makin penasaran dengan pengalaman dan kemampuan pak Rudy dalam menelisik sebuah persoalan, sehingga akhirnya aku ajak ia ke kamar mandi. 


Aku bongkar rendaman pakaian di dalam ember, dan aku keluarkan plastik kecil. Setelah ku buka plastiknya, terlihatlah hp kecil.


“Ini barangnya, pak. Saya serahkan pada pak Rudy,” kataku kemudian.


Pak Rudy memegang hp itu. Sebentar saja. Kemudian ia memintaku untuk kembali menyimpan sebagaimana biasanya.


“Pak Mario pakai saja hp itu. Pesan saya, jangan pernah meminjamkan ke orang lain. Siapapun mereka. Nanti kalau pak Mario akan pelimpahan, serahkan pada saya,” kata pak Rudy setelah kami duduk kembali di lantai atas dekat tempat tidurku.


“Siap. Terimakasih banyak bantuannya, pak. Inshaallah saya hanya gunakan untuk telepon istri dan anak-anak saja,” ucapku dengan penuh haru.


“Iya, saya tahu pak Mario hanya telepon ibu dan anak-anak saja. Dulu-dulu memang pernah pak Aris telepon kesana-kemari. Juga ada yang memakai untuk kepentingan yang menjurus ke tindak kriminal,” pak Rudy mengurai pengetahuannya.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Dan terus memandang wajah pak Rudy dengan serius.


“Mungkin pak Mario ingat. Waktu pak Mario baru masuk sini. Kan pernah ada razia dari satres narkoba besar-besaran di kompleks ini. Bahkan kamar ini juga digeledah habis-habisan. Padahal bukan tempat tahanan narkoba. Ingatkan?” lanjut pak Rudy sambil memandangku dengan serius.


“Iya, saya ingat itu, pak. Bahkan semua rokok juga diambil waktu itu,” kataku, menyela.


“Razia itu bermula dari informasi yang terbaca lewat hp di kamar ini, pak Mario. Saya tidak menuduh pak Aris yang bermain ya. Hanya hp itulah yang digunakan untuk komunikasi transaksi,” jelas pak Rudy.


Aku hanya bisa manggut-manggut. Menyadari bila begitu terdeteksinya semua pergerakan di dalam kompleks rumah tahanan ini.


“Rokok yang disita dari kamar ini dikembalikan semua kan waktu itu, pak. Itu bukan hanya karena protes pak Mario dan ada perwira disini yang menyampaikan, tapi juga setelah saya jamin kepada kawan-kawan satres narkoba, di kamar 10 tidak ada yang bermain narkoba,” urai pak Rudy lagi. Tetp ada senyum di sudut bibirnya.


“Terimakasih banyak bantuannya, pak Rudy. Inshaallah saya tetep jaga kawan-kawan di kamar ini untuk tidak macem-macem,” ujarku.


“Saya percaya, pak Mario bisa kendalikan kawan-kawan di kamar ini. Cuma saya sayangkan, kenapa pak Mario menolak menjadi kepala blok. Padahal dengan posisi itu, pak Mario bisa lebih banyak berbuat untuk kebaikan disini,” pak Rudy melanjutkan.


“Oh, pak Rudy tahu ya saya tidak mau jadi kepala blok?” tanyaku sambil tersenyum malu.


Dia tidak menjawab. Hanya menganggukkan kepala dan terus menebar senyum ramahnya. 


Setelah berdiam beberapa saat, pak Rudy bercerita tentang sebuah pelajaran dari seekor kepiting.


“Bagaimana ceritanya, pak?” tanyaku. Penasaran.


“Selama ini, banyak kita yang beranggapan kalau seekor kepiting itu tidak pernah bisa berjalan maju. Tapi sebenarnya, ia tetap bisa mencapai tujuannya. Namun, ya dengan caranya sendiri,” ucap pak Rudy mengurai pelajaran dari seekor kepiting.


Uraian cerita yang disampaikan pak Rudy begitu dalam maknanya. Saya tertantang untuk menelaah dan memahaminya.


“Jadi begitu saja dulu, pak Mario. Tetap jaga kesehatan. Dan segera sampaikan kepada saya kalau ada hal-hal yang penting,” mendadak ia berdiri dan berpamitan. 


“Terimakasih banyak atas semuanya, pak Rudy. Saya jadi ingat petuah mbah Kakung; kalau ingin mengumpulkan madu, jangan menendang sarang lebahnya,” kataku. 


Dan pak Rudy pun tertawa, sambil menepuk bahuku. Kami berpelukan. Ekspresi kesepahaman yang lahir dari batin yang terdalam. Tertepiskan status antara komandan dengan tahanan.


Setelah pak Rudy keluar kamar, kawan-kawan penghuni kembali masuk. Dimulai Hasbi dan Nedi. Menyusul Tomy, Irfan, Arya, Asnawi, dan Atmo. Baru kemudian Pepen.


Dengan wajah penuh keceriaan, mereka membuka kiriman keluarganya yang baru datang besukan. Memisahkan mana yang akan dinikmati bersama-sama, dan yang untuk kepentingan pribadi.


Hasbi yang tidak kalah cekatan dari Ijal, bergerak cepat. Memilah makanan yang mesti segera dinikmati dan mana yang bisa disimpan.


Seusai solat Dhuhur berjamaah, kami makan siang. Dengan beragam lauk. Bak Lebaran. Kenikmatan luar biasa dua kali dalam satu pekan yang bisa kami rasakan sebagai tahanan. (bersambung)

LIPSUS