Cari Berita

Breaking News

llegal Logging: Mafianya Bukan Hantu

INILAMPUNG
Selasa, 10 Desember 2019


Oleh Dalem Tehang

KABAR soal maraknya aksi illegal logging di berbagai kawasan register, khususnya di wilayah Kabupaten Tanggamus, kembali mengemuka.

Kawasan register yang ditengarai menjadi sasaran pelaku mulai dari register 19 Tahura Wan Abdurahman, register 22 Way Wayah, register 28 Pematang Lebak, register 39 Kotaagung Utara, dan sebagian KPH baru Batutegi.

Adalah Direktur Walhi, Irfan Tri Musri, yang mengungkap tetap maraknya aksi illegal logging itu.

Lontaran Irfan soal penebangan liar di wilayah hutan lindung ini bersambut. Ketua Komisi II DPRD Lampung, Wahrul Fauzi Silalahi, menegaskan pihaknya akan membentuk pokja untuk mengurai skandal perusakan hutan tersebut.

Tak cuma Walhi yang berteriak soal illegal logging. Word Wide Fund for Nature (WWF) Sumatera Selatan juga mencatat aksi yang sama banyak terjadi di register 31 dan 39, serta daerah Pesisir Barat. Kedua organisasi peduli lingkungan itu satu irama bila kayu sonokeling yang paling diincar penjarah hutan.

Harus diakui, apa yang disampaikan Walhi dan WWF memang valid. Kebetulan tiga hari lalu saya ketemu salah seorang yang bermain di bidang ini.

Bahkan dia sudah mendapat info bila dalam waktu dekat akan turun "tim gakumdu elite" untuk menangani aksi illegal logging di berbagai kawasan register di Lampung ini. 

Orang ini mengaku sejak dua pekan silam sudah memerintahkan anak buahnya untuk turun gunung. Dan kembali ke daerahnya masing-masing.
Mengenai kayu sonokeling yang jadi incaran, apa yang dibeberkan Walhi dan WWF juga amat sahih. 

Apa sebab? Karena saat ini, bicara kayu nomor 1 di Indonesia ya sonokeling itulah. Ini dalam konteks kayu yang berharga tinggi di pasaran ekspor. Dan sonokeling, hampir seluruh kayunya laku dijual. Walau tetap "galihnya" yang paling mahal.

Sejak 5 tahun terakhir, permintaan kayu sonokeling dari Taiwan atau Korea sangat tinggi. Harganya pun luar biasa. Bisa Rp 25 juta/kubik. 

Menurut orang yang mengaku memegang kontrak ekspor kayu sonokeling ke negara "mata sipit" itu, karena tingginya permintaan dan harga, maka mereka "harus" masuk Lampung.

Kenapa Lampung? Karena sonokeling yang ditanam era Presiden Soeharto dengan program reboisasinya tersebut, kurang diminati warga setempat.

"Ya itu, makanya saya dan kawan-kawan dari Jawa masuk Lampung," kata pria yang sudah belasan tahun main kayu, yang asal Jawa Tengah ini. 

Dari cerita dia, sebenarnya tidak sulit-sulit amat bila serius ingin memberantas illegal logging.

"Karena mafianya kan bukan hantu. Banyak pihak yang terlibat. Tapi ya itu risiko main kayu dari register, seluruh jalur harus diamankan," katanya lagi.

Proses penurunan kayu sonokeling dari kawasan register pun sudah rapih. Sudah jadi papan. Baik ukuran kecil maupun besar.  Dan sulitnya aparat memergoki kayu hasil jarahan hutan atau bukan, karena pelaku cukup piawai mengkiatinya.

Caranya? Mereka membeli kayu sonokeling milik marga yang ada di sekitar register. Misalnya yang dibeli 100 batang, ditebang terlebih dulu 30 batang. 

Dalam pemuatannya, kayu hasil illegal logging ditaruh di bagian bawah. Kayu dari marga di bagian atas. Tentu dilengkapi surat  jual beli dari marga.

Bila petugas tak percaya? Diajak ke tanah marga. Dalam waktu 2 sampai 3 minggu, bekas tunggul yang dipotong masih basah. 

Semua hasil jarahan hutan itu, mayoritas dikumpulkan di panglong yang ada di wilayah Metro. Baru diatur penyeberangannya. 

Bila sudah terbangun "koordinasi baik", pengiriman lebih mudah lewat Pelabuhan Bakauheni. Karena perjalanan di lautan lebih cepat. 

Namun bila "belum aman", mereka memilih Pelabuhan Panjang dan mendarat di Tanjungpriok.

Pemain kayu kelas kakap ini mengaku, jika sudah sampai Pulau Jawa -maksudnya turun kapal di Pelabuhan Merak- dipastikan aman sampai ke tempat usahanya di Jawa Tengah. Karena sepanjang jalan sudah ada yang mengurus. 

Bagi pria berpostur kurus ini, yang sulit justru menbawa hasil illegal logging keluar Lampung. Kenapa begitu? "Karena terlalu banyak yang harus dikoordinasiin!"

Menelisik dari beberan cerita kawan yang memang memainkan banyak orang di berbagai register di Lampung selama ini, rasanya cukup sulit bagi orang kebanyakan untuk mengharapkan praktik ini berhenti. 

Harus ada political will dari pimpinan daerah dan sungguh-sungguh dilaksanakan di lapangan. Atau sekalian "tim gakkumdu elite" yang turun tangan.

Alias Kementerian Kehutanan dan Mabes Polri menurunkan anggota terpilihnya. Yang jelas; soal illegal logging, mafianya bukan hantu. Bisa ditangkap kapan pun sepanjang aparat punya data dan kemauan. (*)

*) Dalem Tehang
Penulis adalah jurnalis, pengamat sosial politik, dan budaya. 

**) isi tanggungjawab penulisnya


LIPSUS