Cari Berita

Breaking News

Pilkada dan ASN: Netral yang Tak Netral

INILAMPUNG
Senin, 09 Desember 2019

lustrasi (doc. inilampung)

Oleh: Dalem Tehang

PROSES pilkada 8 kabupaten/kota di Lampung sudah dimulai. Masih babak pemanasan. Yang akan nyalon mulai sosialisasi, membentuk tim disana-sini, silaturahmi ke berbagai tokoh, dan memastikan partai yang akan mengusungnya nanti. Lelakon politik yang alamiah.

Pun pelaksana pilkada. KPU mulai memanaskan mesinnya agar pelaksanaan pilkada berjalan sesuai dengan jadwal, tertib, dan terukur. Upaya melahirkan "citra baru" agar ada ketentuan baku bahwa mantan koruptor tak bisa maju pilkada, mentah.

Akhirnya, ide itu hanya sebagai "himbauan" saja kepada parpol. Langkah menyiapkan regulasi oleh KPU ini, sudah lumrah. Setiap akan pilkada, selalu begitu.

Tak jauh beda dengan Bawaslu. Lembaga yang mengawasi pelaksanaan pemilu ini pasti setidaknya mencuatkan dua hal yang dianggap krusial setiap menyambut pelaksanaan pilkada.

Yaitu soal politik uang dan netralitas aparatur negara; mulai ASN, Polri dan TNI. 

Dari tahun ke tahun, dari pilkada ke pilkada, Bawaslu pasti riweh oleh dua hal tersebut. Seakan persoalan itu sesuatu yang amat "berbahaya" bagi terlaksananya pilkada yang bersih, jujur dan adil.

Orang-orang di Bawaslu, juga jajarannya sampai tingkat bawah, seolah hanya terfokus pada hal-hal tersebut.

Padahal realita di lapangan, justru kedua hal itu yang tetap berlangsung seiring sejalan dengan pelaksanaan dan sukses tidaknya suatu pilkada. 

Ketua Bawaslu RI, Abhan, mengakui regulasi yang mengatur tentang netralitas aparatur pemerintah masih sangat birokratis. Sehingga masih banyak terjadi pelanggaran. 

Lontaran semacam ini, mengisyaratkan betapa Bawaslu, lagi-lagi terfokus pada penguatan aturan semata.

Bila bicara aturan, sebenarnya, cukup banyak yang memaksa ASN harus bersikap netral dalam pilkada. UU No 5/2015 tentang Aparatur Sipil Negara misalnya, telah menggambarkan netralitas ASN, yang masuk dalam 13 azas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen SDM. 

Juga PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, serta PP 53/2010 tentang Disiplin PNS.

Lalu bagaimana mengukur netralitas ASN? Menurut Kabid Pembinaan Integritas SDM Aparatur Kementerian PAN-RB, Kumala Sari, netralitas ASN dibagi menjadi 4 indikator. 

Yaitu netralitas  dalam karier ASN, netralitas dalam hubungan partai politik, netralitas pada kegiatan kampanye, dan netralitas dalam pelayanan publik.

Dari 4 indikator itu,  ASN tidak boleh menjadi anggota partai politik dan ikut dalam kampanye pemilu, yang terkait dengan pilkada.

Dan sesungguhnya, manakala kita mengikuti aturan tersebut, juga tidak ada larangan ASN melibatkan diri dalam  dukung-mendukung jagonya pada pilkada.

Selama ini yang terjadi, selepas jam kerja, banyak ASN berkumpul dengan koleganya dan menyosialisasikan jagonya. 
Tak hanya itu. Mereka pun mensosialisasikan jagonya ke masyarakat umum dari rumah ke rumah.

Membentuk tim sukses sendiri. Bekerja sendiri dengan kelompoknya. Yang kesemuanya dilakukan diluar jam kerja dan tidak dalam jadwal kampanye.

Salahkah yang mereka lakukan? Atau tidak netralkah mereka? 
Tentu amat naif bila kita terlalu cepat menghukum atau menghakimi dengan vonis salah. 

Karena faktanya; yang mereka lakukan diluar jam kerja, tidak memakai fasilitas negara, dan juga tidak melakukan penekanan-penekanan karena posisi serta jabatannya. 

Selain kita juga harus penuh kearifan bahwa terlepas dari statusnya sebagai ASN, mereka juga warga negara yang punya hak berpolitik. Hak dipilih dan memilih. 
Jika kita mau jujur, peran ASN dalam suksesnya peserta pilkada sangatlah penting. 

Sejarah membuktikan, banyak incumbent yang gagal memperpanjang jabatannya karena ketidakdekatannya dengan ASN. Tidak mampu membangun ikatan batin yang kuat dengan ASN di wilayahnya. 

Incumbent sering lupa bila dirinya "orang baru" dalam sebuah keluarga besar pemerintahan yang selama ini dikelola oleh para ASN.  

Bertahun-tahun, belasan bahkan puluhan tahun mereka sudah bersatu, bekerja bersama. 

Tentu ikatan batinnya sudah terbangun dengan mapannya. Itu sebabnya bisa dipahami mengapa peserta pilkada banyak memperebut kan mereka. Karena jaringan batinnya sudah jelas dan terukur.

Pengalaman dalam memahami dinamika sosial, politik dan kemasyarakatannya pun sangat unggul, bahkan bila dibandingkan dengan orang partai politik sekalipun.

Menyambut pilkada 2020, sebaiknya kita semua makin bijak dalam menilai netralitas ASN. Karena sesungguhnya selama ini mereka nyaman dalam kenetralan yang tidak netral. 

Oleh sebab itu, kurangilah berteriak-teriak menyoal masalah netralitas ASN.  Ibaratnya; biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. (*)

*) Dalem Tehang
Penulis adalah jurnalis, pengamat sosial politik, dan budaya. 

**) isi tanggungjawab penulisnya

LIPSUS