Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (15)

Selasa, 07 Januari 2020













KAFE Marley pukul 15.30

Aku terlambat 30 menit dari janji bertemu dengan Suryadi. Tetapi kawanku itu ternyata belum pula datang. Agar tidak terganggu oleh pengunjung yang lain, aku memilih meja di pojok. Aku baru sekali ini ke kafe yang berada di kawasan Pahoman itu. Itu pun karena Sur yang merekomendasikan, dan menshare lokasi.

"Kafenya tenang, tak bising. Kita duduk di bagian dalam saja," kata Sur waktu telepon aku pagi tadi. "Aku yakin kau bisa kontemplatif di sana," lanjutnya.

Aku mengiyakan. Pukul 14.00 aku keluar dari rumah. Aku tak ingin kehujanan di jalan, tak mau kena macet sebab aku meliwati jalan yang selama ini memang padat. Sampai di Marley pukul 15.30, lebih setengah jam dari yang dijanjikan Sur.

Aku mesan kopi original dan makan. Duduk di bawah kanofi transparan sehingga langit cerah terasa. Laptop kecil yang dipinjamkan Rena kiambil dari tas ean kuaktifkan. Sebelum aku memulai menulis, telepon genggamku bernyanyi.

"Halo."

"Ya," kataku.

"Busye..."

"Benar."

"Aku Sani. Kau di mana?"

Oh Sani! Perempuan yang pernah bertemu denhanku, terkait keponakannya mau kuliah di jurusan publisistis.

"Ya, ada apa Sani?" balasku. "Aku di Kafe Marley... tahu kan?" 

"O ya tahu. Sama siapa? Renakah?"

"Aku sendiri...."

"Oo oke, aku meluncur. Gak ngeganggu kan? Aku bawa kawan, dia juga suka baca karya-karyamu. Dia mau bicara banyak dengamu. Kamu mau kan?" kata Sani lagi.

Sesaat hening. Sepertinya ia menunggu aku menanggapi atau ia mengira aku tak mendengar perkataannya.

"Halo, kau dengar?"

"Ya aku dengar," balasku. "Omong-omong siapa kawanmu yang mau menemuiku?"

"Nita. Katanya ia pernah menitip surat untukmu pada Sri di Diggers," jawab Sani lebih tenang dan pelan agar aku menyimak ucapannya.

"Ya aku sudah terima surat yang dititip Sri, sudah kubaca...."

"Kenapa tak kontak dia. Katanya ia kasih nomor kontak..."

"Aku lupa karena ada tugas...." jawabku sekenanya.

Ingin tahu surat Nita, kuambil dari saku jaket dan kubaca.

Kanda Busye Jati Agung, yth

Saya Nita, sudah lama membaca puisi-puisi kanda sejak kuliah. Saya tahu dari Mbak Sani bahwa kanda mulai menulis novel. Selamat kanda semoga lancar novelnya.

Tadinya saya ingin mengobrol dengan kanda. Karena lama datang, saya titip surat pada dik Sri, katanya ia tahu dan mengenal kanda. Ini ada nomor kontak saya, jika kenan hubungi saya. Maaf saya belum punya nomor HP kanda. Semoga suatu hari saya bisa temu kanda dan bincang.

Nita


Surat itu kulipat kecil, kusobek, kemudian kumasukkan ke tempat sampah.

Sejak di depan pintu setelah dikuak, Sani sudah tersenyum-senyum. Seolah ia sedang membagi pahala dan mengumbar gigi-gigi putih yang tersusun rapi. Keindahan Sani memang pada gigi dan lesung pipinya. Sempurna. 

Oh, keindahan lain darinya adalah bodi seksinya. Dari betis, paha, dan pinggangnya sesuai dan harmonisasi pas.  Jadi, nyaman jika memandangi Sani. Sayangnya ia susah berkeluarga, meski suaminya tampak "melambai" dan konon ACDC. Itulah barangkali ia suka keluyuran ke kafe, mal, dan 21. Sebagai sosialita. Dia menyebut wanita hangout. 

"Sore Busye..."

"Sore Sani..."

"Sore kanda Bus..." timpal Nita.

"Sore Nita."

"Boleh kami duduk?" Sani memecah suasana yang semoat kaku. Ia paham kalau mataku lama menatap dirinya. Juga ke Nita. Perempuan bertahilalat dk batang hidung, membuat wajahnya indah dan puitis. 

"Oh silakan, maafkan aku. Salahkan mataku bukan aku," aku bergurau.

"Kenapa harus disalahkan matamu. Salahkan penyebab mata itu bermasalah," balas Sani, tentu ia bercanda. Nita hanya tersenyum.

"Jangan.... jangan disalahkan. Kita sama saja menolak takdir," jawabku. Lalu tawa berderai.

Setelah itu aku jadi pendengar setia Niita menceritakan hidupnya. Curhat, gumamku.

"Untuk menghapus kenangan dengan seorang lelaki yang sangat kucintai, aku harus mengenal ratusan pria! Tapi tak mampu juga menghilangkan wajahnya di benak dan hatiku," Nita mengawali kisahnya di depanku.

Kedua kelopaknya kulihat basah. Kudekatkan tisue ke dekat lengannya. Ia mengambil beberapa lembar. Sani pamit ke toilet.

"Aku juga pernah meminta masku agar melukai hatiku, entah dengan makian atau apa saja, supaya saya membencinya. Ia tidak mau, alasannya tidak bisa. Tapi masku tak mungkin menikahi karena sudah beristri dan satu putra berusia 8 tahun."

Aku hanya menyimak. Sebelum Nita bercerita, ia melarangku bertanya atau menjedanya. Biarkan dia bercerita dari awal pertemuan dan di mana, kemudian di mana biasa bertemu jika sedang rindu, hinga sekarang.

Aku ibu dari seorang anak lelaki. Aku bercerai dari suamiku karena rumah tanggaku sudah tidak bisa dipertahankan. Suamiku masuk penjara karena menggunakan narkoba. Yang pertama ini masih dapat kumaafkan. Ia tetap kuterima sebagai bagian dari diriku dan hidupku serta anak kami. Tulus kumaafkan dan  tidak pernah kuungkit-ungkit masalahnya, biarpun hanya sekali. Lembaran hitam itu kuanggap tiada. 

Tetapi, ternyata diulangnya lagi. Ia tertangkap tangan oleh pihak keamanan di kamar hotel. Ia kambuh mengonsumsi narkoba. Bagiku yang sulit kumaafkan ia tertangkap bersama perempuan, temanku semasa SMA! Sakitnya tuh di sini. Benar-benar aku marah kali ini. Ia memang bajingan. Saat itu juga kuminta dia menceraikan aku!

Suamiku hanya diam. Sepertinya tidak mau mengatakan cerai. Ia masih ingin mendapat perlindunganku. Aku sudah bulat tak akan lagi bertemu atau apa pun. Ia mau menceraikan atau tidak, tetap aku harus berpisah. Keluargaku mendukung. Merekalah yang mendatangi suamiku agar menandatangani surat penganjuan perceraian ke Pengadilan Agama.

Mungkin terpaksa, sebab memang dipaksa keluargaku, ia mau menandatangani. Kami resmi berpisah. Anak bagianku yang mengasuh. Sebagai ibu, aku jelas melindungi anak dan siap membesarkan dia. Sampai sekarang, aku tak tahu di mana mantan suamiku. Aku memang tak mau tahu. Kepada anakku ia tak pernah berkabar. Tapi anakku sudah kutempa agar kuat tanpa ada figur seorang ayah.

Semula aku sudah tak lagi ingin berhubungan dengan lelaki. Dalam pikiranku, lelaki semua sama. Tidak bisa dipercaya. Untuk menghilangkan keinginan berkeluarga, aku perbanyak kesibukan. Aku pindah ke Jakarta. Aku bekerja di perusahaan valuta asing. Dari pagi hingga sore. Lalu malamnya kucari kesibukan namun menghasilkan uang.

Waktuku habis untuk bekerja. Di Jakarta aku tak mau kalah sebagai pecundang. Namun, bekerja tanpa jeda bisa-bisa aku stres, dan masuk ke rumah sakit jiwa. Saran kawan-kawanku, sesekali minimal malam Minggu, lupakan kesuntukan. Cari hiburan. Usulan itu tak kutolak. Ketika mereka mengajak ke JJ Royal Bistro i bilangan Senayan, kusambut dengan riang.

Dan, dari sini babak baru dalam hidupku kembali bermekaran. Di JJ Royak Bistro aku berkenalan dengan mas Hendrik. Ia berasal dari T, satu kota denganku. Tetapi pertemuan kami justru di Jakarta. Pria yang usianya berpaut 10 tahun lebih dariku, seakan telah memecahkan berkeping-keping batu yang tertanam di hatiku. Itulah batu yang membutakan keinginan apapun dalam diriku untuk mencintai dan dicintai lelaki. Dia seakan seorang pemahat batu. Tahu sekali bagai mana cara memecahkan batu, dari mana, lalu memahatnya jadi indah. Sebagai patung, lukisan, atau apa saja sehingga orang yang melihat mendapati keindahan.

Aku mulai jatuh cinta. Aku mulai mencintai. Aku tengah memasuki arus mahamagnit dari diri Hendrik. Ia tampak dingin, jarang bicara, namun aku suka. Ia kadang-kadang saja bercanda atau membikin humor, tapi sesungguhnya ia penyayang dan perhatiannya besar padaku. Ia segala-segalanya bagiku. Ah, mas Hendrik.

Meski sekota denganku di T, namun ia datang dan pulang. Ia bekerja di Jakarta ini. Sebulan atau kadang lebih ia pulang ke Kota T. Nah, selama di Jakarta ia menemaniku aku mendampinginya.

Siapa Hendrik? Ia ayah dari seorang putra dan suami seorang perempuan...  (Maaf,  tak relevan saya sebut namanya karena ia tak bagian dari kisahku). Dan ia lebih memilih berlama-lama denganku. Sampai-sampai keluarganya mengirim pesan pendek agar ia pulang. 

Naluriku sebagai ibu seketika tergerak.  Segera kunasihati mas Hendrik agar  ia pulang. Cuma tiga hari di T ia kembali kepadaku. Kami berlibur ke Bali, ke Babel, Yogya, Bandung, dan banyak di Jakrta. Sebulan terkadang kami menyewa kamar hotel. Ia memang tak kaya, namun orang di belakangnya banyak mensuplai. 

Segala sesuatu pasti aman-terkendali. Namun bukan fasilitas kemewahan dan sebagainya secara lahiriah, melainkan aku sangat mencintainya. Hendrik pantas kucintai, dan kuyakin ia pun mencintaiku.

Malangnya, setiap kuminta ia menikahi aku tak pernah tersampaikan. Walaupun penolakannya tidak menyakitkan. "Sulit dek, aku tak ingin menyengsarakan orang yang kucintai," kata mas Hendrik.

Ia tak pernah mau menyakitiku walaupun aku memintanya, agar aku memunyai kekuatan untuk membenci kemudian melupakannya.

"Sebelum dedek dapat ganti, aku selalu di belakang."

"Kenapa tak di sisiku? Kalau aku jatuh, mas bisa segera merengkuh," balasku. 

"Tidak bisa dek," katanya lirih.

Ia tak menggunakan "tak mungkin" melainkan "tak bisa". Artinya, aku akan mengharap tanpa pernah mendapatkan. Sedihnya, aku tidak mampu melupakannya. Maka aku kerap menelepon atau dia mengontakku. Aku kirim pesan pendek ke WA. Dibalas segera oleh mas Hendrik. Aku tulis rindu, dibalasnya bahwa ia pun rindu.

Tetapi sejak ia kembali ke kota T, ia khawatir sekali bertemu. Banyak mata-mata. Di kampung sendiri, jarum jatuh terlihat dan terdengar. Kota T ini kecil, sembunyi di mana akan dilihat orang.

Ya! Aku sadar. Aku orang kedua. Lagipula mas Hendrik adalah orang yang bukan anak rumahan. Dia banyak bergaul, pergaulan luas. Itulah yang menyadarkan aku, bahwa ia sama artinya public figur

Tetapi, apakah aku dibiarkan lama menanggung rindu? Ketika aku hampir didekati dan mendekati pria lain, ia mengontakku. Ia katakan merindukan aku. Itu sebabnya, aku harus mengenal sebanyak-banyaknya lelaki untuk melupakan seorang pria. Cuma sampai hari ini belum bisa, semakin banyak kukenal pria maka kian hadir mas Hendrik.  Mas Hendrik begitu kuat menghunjam di hatiku.

Selama aku pulang dan menetap kembali di Kota T ini, belum pernah kami bertemu. Terkadang kukirim WA dengan kalimat satir yang agak puitis bahwa aku merindukannya, ia segera membalas dengan kalimat biasa-biasa saja. Tetapi, aku membaca di balik kalimat dia, bahwa sebetulnya ia pun menanggung kerinduan.

Lalu, sampai kapan aku harus hidup begini? Digantung agar aku tak terbang. Langkahku seakan diikat supaya tak bisa berlari kencang memburu lelaki lain. Dan, aku memang tak bisa lari ke lain hati. Selain ke mas Hendrik. Oh! 


(Bersambung)

LIPSUS