KAFE Marley pukul 15.30
Aku
terlambat 30 menit dari janji bertemu dengan Suryadi. Tetapi kawanku itu
ternyata belum pula datang. Agar tidak terganggu oleh pengunjung yang lain, aku
memilih meja di pojok. Aku baru sekali ini ke kafe yang berada di kawasan
Pahoman itu. Itu pun karena Sur yang merekomendasikan, dan menshare lokasi.
"Kafenya
tenang, tak bising. Kita duduk di bagian dalam saja," kata Sur waktu
telepon aku pagi tadi. "Aku yakin kau bisa kontemplatif di sana,"
lanjutnya.
Aku
mengiyakan. Pukul 14.00 aku keluar dari rumah. Aku tak ingin kehujanan di
jalan, tak mau kena macet sebab aku meliwati jalan yang selama ini memang
padat. Sampai di Marley pukul 15.30, lebih setengah jam dari yang dijanjikan
Sur.
Aku
mesan kopi original dan makan. Duduk di bawah kanofi transparan sehingga langit
cerah terasa. Laptop kecil yang dipinjamkan Rena kiambil dari tas ean
kuaktifkan. Sebelum aku memulai menulis, telepon genggamku bernyanyi.
"Halo."
"Ya,"
kataku.
"Busye..."
"Benar."
"Aku
Sani. Kau di mana?"
Oh
Sani! Perempuan yang pernah bertemu denhanku, terkait keponakannya mau kuliah
di jurusan publisistis.
"Ya,
ada apa Sani?" balasku. "Aku di Kafe Marley... tahu kan?"
"O
ya tahu. Sama siapa? Renakah?"
"Aku
sendiri...."
"Oo
oke, aku meluncur. Gak ngeganggu kan? Aku bawa kawan, dia juga suka baca
karya-karyamu. Dia mau bicara banyak dengamu. Kamu mau kan?" kata Sani
lagi.
Sesaat
hening. Sepertinya ia menunggu aku menanggapi atau ia mengira aku tak mendengar
perkataannya.
"Halo,
kau dengar?"
"Ya
aku dengar," balasku. "Omong-omong siapa kawanmu yang mau
menemuiku?"
"Nita.
Katanya ia pernah menitip surat untukmu pada Sri di Diggers," jawab Sani
lebih tenang dan pelan agar aku menyimak ucapannya.
"Ya
aku sudah terima surat yang dititip Sri, sudah kubaca...."
"Kenapa
tak kontak dia. Katanya ia kasih nomor kontak..."
"Aku
lupa karena ada tugas...." jawabku sekenanya.
Ingin
tahu surat Nita, kuambil dari saku jaket dan kubaca.
Kanda Busye Jati Agung, yth
Saya Nita, sudah lama membaca puisi-puisi kanda sejak
kuliah. Saya tahu dari Mbak Sani bahwa kanda mulai menulis novel. Selamat kanda
semoga lancar novelnya.
Tadinya saya ingin mengobrol dengan kanda. Karena lama
datang, saya titip surat pada dik Sri, katanya ia tahu dan mengenal kanda. Ini
ada nomor kontak saya, jika kenan hubungi saya. Maaf saya belum punya nomor HP
kanda. Semoga suatu hari saya bisa temu kanda dan bincang.
Nita
Surat
itu kulipat kecil, kusobek, kemudian kumasukkan ke tempat sampah.
Sejak
di depan pintu setelah dikuak, Sani sudah tersenyum-senyum. Seolah ia sedang
membagi pahala dan mengumbar gigi-gigi putih yang tersusun rapi. Keindahan Sani
memang pada gigi dan lesung pipinya. Sempurna.
Oh,
keindahan lain darinya adalah bodi seksinya. Dari betis, paha, dan pinggangnya
sesuai dan harmonisasi pas. Jadi, nyaman jika memandangi Sani. Sayangnya
ia susah berkeluarga, meski suaminya tampak "melambai" dan konon
ACDC. Itulah barangkali ia suka keluyuran ke kafe, mal, dan 21. Sebagai
sosialita. Dia menyebut wanita hangout.
"Sore
Busye..."
"Sore
Sani..."
"Sore
kanda Bus..." timpal Nita.
"Sore
Nita."
"Boleh
kami duduk?" Sani memecah suasana yang semoat kaku. Ia paham kalau mataku
lama menatap dirinya. Juga ke Nita. Perempuan bertahilalat dk batang hidung,
membuat wajahnya indah dan puitis.
"Oh
silakan, maafkan aku. Salahkan mataku bukan aku," aku bergurau.
"Kenapa
harus disalahkan matamu. Salahkan penyebab mata itu bermasalah," balas
Sani, tentu ia bercanda. Nita hanya tersenyum.
"Jangan....
jangan disalahkan. Kita sama saja menolak takdir," jawabku. Lalu tawa
berderai.
Setelah
itu aku jadi pendengar setia Niita menceritakan hidupnya. Curhat, gumamku.
"Untuk
menghapus kenangan dengan seorang lelaki yang sangat kucintai, aku harus
mengenal ratusan pria! Tapi tak mampu juga menghilangkan wajahnya di benak dan
hatiku," Nita mengawali kisahnya di depanku.
Kedua
kelopaknya kulihat basah. Kudekatkan tisue ke dekat lengannya. Ia mengambil
beberapa lembar. Sani pamit ke toilet.
"Aku
juga pernah meminta masku agar melukai hatiku, entah dengan makian atau apa
saja, supaya saya membencinya. Ia tidak mau, alasannya tidak bisa. Tapi masku tak
mungkin menikahi karena sudah beristri dan satu putra berusia 8 tahun."
Aku
hanya menyimak. Sebelum Nita bercerita, ia melarangku bertanya atau menjedanya.
Biarkan dia bercerita dari awal pertemuan dan di mana, kemudian di mana biasa
bertemu jika sedang rindu, hinga sekarang.
Aku
ibu dari seorang anak lelaki. Aku bercerai dari suamiku karena rumah tanggaku
sudah tidak bisa dipertahankan. Suamiku masuk penjara karena menggunakan narkoba. Yang pertama ini masih
dapat kumaafkan. Ia tetap kuterima sebagai bagian dari diriku dan hidupku serta
anak kami. Tulus kumaafkan dan tidak pernah kuungkit-ungkit masalahnya, biarpun hanya sekali. Lembaran
hitam itu kuanggap tiada.
Tetapi,
ternyata diulangnya lagi. Ia tertangkap tangan oleh pihak keamanan di kamar
hotel. Ia kambuh mengonsumsi narkoba. Bagiku yang sulit kumaafkan ia tertangkap
bersama perempuan, temanku semasa SMA! Sakitnya tuh di sini. Benar-benar aku
marah kali ini. Ia memang bajingan. Saat itu juga kuminta dia menceraikan aku!
Suamiku
hanya diam. Sepertinya tidak mau mengatakan cerai. Ia masih ingin mendapat
perlindunganku. Aku sudah bulat tak akan lagi bertemu atau apa pun. Ia mau
menceraikan atau tidak, tetap aku harus berpisah. Keluargaku mendukung.
Merekalah yang mendatangi suamiku agar menandatangani surat penganjuan
perceraian ke Pengadilan Agama.
Mungkin
terpaksa, sebab memang dipaksa keluargaku, ia mau menandatangani. Kami resmi
berpisah. Anak bagianku yang mengasuh. Sebagai ibu, aku jelas melindungi anak
dan siap membesarkan dia. Sampai sekarang, aku tak tahu di mana mantan suamiku.
Aku memang tak mau tahu. Kepada anakku ia tak pernah berkabar. Tapi anakku
sudah kutempa agar kuat tanpa ada figur seorang ayah.
Semula
aku sudah tak lagi ingin berhubungan dengan lelaki. Dalam pikiranku, lelaki
semua sama. Tidak bisa dipercaya. Untuk menghilangkan keinginan berkeluarga,
aku perbanyak kesibukan. Aku pindah ke Jakarta. Aku bekerja di perusahaan
valuta asing. Dari pagi hingga sore. Lalu malamnya kucari kesibukan namun menghasilkan
uang.
Waktuku
habis untuk bekerja. Di Jakarta aku tak mau kalah sebagai pecundang. Namun,
bekerja tanpa jeda bisa-bisa aku stres, dan masuk ke rumah sakit jiwa. Saran
kawan-kawanku, sesekali minimal malam Minggu, lupakan kesuntukan. Cari hiburan.
Usulan itu tak kutolak. Ketika mereka mengajak ke JJ Royal Bistro i bilangan Senayan, kusambut
dengan riang.
Dan,
dari sini babak baru dalam hidupku kembali bermekaran. Di JJ Royak Bistro aku berkenalan dengan mas Hendrik. Ia berasal dari T, satu kota denganku. Tetapi pertemuan kami justru di Jakarta. Pria yang usianya
berpaut 10 tahun lebih dariku, seakan telah memecahkan berkeping-keping batu
yang tertanam di hatiku. Itulah batu yang membutakan keinginan apapun dalam
diriku untuk mencintai dan dicintai lelaki. Dia seakan
seorang pemahat batu. Tahu sekali bagai mana cara memecahkan batu, dari mana, lalu memahatnya
jadi indah. Sebagai patung, lukisan, atau apa saja sehingga orang yang melihat
mendapati keindahan.
Aku
mulai jatuh cinta. Aku mulai mencintai. Aku tengah memasuki arus mahamagnit
dari diri Hendrik. Ia tampak dingin, jarang bicara, namun aku suka. Ia
kadang-kadang saja bercanda atau membikin humor, tapi sesungguhnya ia penyayang dan
perhatiannya besar padaku. Ia segala-segalanya bagiku. Ah, mas Hendrik.
Meski
sekota denganku di T, namun ia datang dan pulang. Ia bekerja di Jakarta ini.
Sebulan atau kadang lebih ia pulang ke Kota T. Nah, selama di Jakarta ia
menemaniku aku mendampinginya.
Siapa
Hendrik? Ia ayah dari seorang putra dan suami seorang perempuan...
(Maaf, tak relevan saya sebut namanya karena ia tak bagian dari kisahku).
Dan ia lebih memilih berlama-lama denganku. Sampai-sampai keluarganya mengirim
pesan pendek agar ia pulang.
Naluriku
sebagai ibu seketika tergerak. Segera kunasihati mas Hendrik agar
ia pulang. Cuma tiga hari di T ia kembali kepadaku. Kami berlibur ke Bali, ke
Babel, Yogya, Bandung, dan banyak di Jakrta. Sebulan terkadang kami menyewa
kamar hotel. Ia memang tak kaya, namun orang di belakangnya banyak
mensuplai.
Segala
sesuatu pasti aman-terkendali. Namun bukan fasilitas kemewahan dan sebagainya
secara lahiriah, melainkan aku sangat mencintainya. Hendrik pantas kucintai,
dan kuyakin ia pun mencintaiku.
Malangnya,
setiap kuminta ia menikahi aku tak pernah tersampaikan. Walaupun penolakannya tidak
menyakitkan. "Sulit dek, aku tak ingin menyengsarakan orang yang
kucintai," kata mas Hendrik.
Ia
tak pernah mau menyakitiku walaupun aku memintanya, agar aku memunyai kekuatan
untuk membenci kemudian melupakannya.
"Sebelum
dedek dapat ganti, aku selalu di belakang."
"Kenapa
tak di sisiku? Kalau aku jatuh, mas bisa segera merengkuh," balasku.
"Tidak
bisa dek," katanya lirih.
Ia
tak menggunakan "tak mungkin" melainkan "tak bisa".
Artinya, aku akan mengharap tanpa pernah mendapatkan. Sedihnya, aku tidak mampu
melupakannya. Maka aku kerap menelepon atau dia mengontakku. Aku kirim pesan
pendek ke WA. Dibalas segera oleh mas Hendrik. Aku tulis rindu, dibalasnya
bahwa ia pun rindu.
Tetapi
sejak ia kembali ke kota T, ia khawatir sekali bertemu. Banyak mata-mata. Di
kampung sendiri, jarum jatuh terlihat dan terdengar. Kota T ini kecil, sembunyi
di mana akan dilihat orang.
Ya!
Aku sadar. Aku orang kedua. Lagipula mas Hendrik adalah orang yang bukan anak
rumahan. Dia banyak bergaul, pergaulan luas. Itulah yang menyadarkan aku, bahwa
ia sama artinya public figur.
Tetapi,
apakah aku dibiarkan lama menanggung rindu? Ketika aku hampir didekati dan
mendekati pria lain, ia mengontakku. Ia katakan merindukan aku. Itu sebabnya,
aku harus mengenal sebanyak-banyaknya lelaki untuk melupakan seorang pria. Cuma
sampai hari ini belum bisa, semakin banyak kukenal pria maka kian hadir mas
Hendrik. Mas Hendrik begitu kuat menghunjam di hatiku.
Selama
aku pulang dan menetap kembali di Kota T ini, belum pernah kami bertemu.
Terkadang kukirim WA dengan kalimat satir yang agak puitis bahwa aku
merindukannya, ia segera membalas dengan kalimat biasa-biasa saja. Tetapi, aku
membaca di balik kalimat dia, bahwa sebetulnya ia pun menanggung kerinduan.
Lalu,
sampai kapan aku harus hidup begini? Digantung agar aku tak terbang. Langkahku seakan
diikat supaya tak bisa berlari kencang memburu lelaki lain. Dan, aku memang tak
bisa lari ke lain hati. Selain ke mas Hendrik. Oh!
(Bersambung)