Oleh, Dalem Tehang
SELEPAS solat Maghrib berjamaah di kamar, pak Waras mengingatkanku untuk meneruskan membaca Aqur’an, hingga suara adzan Isya menggema. Dan seusai solat Isya, kami makan malam bersama. Kegiatan rutin itulah yang kami lakukan.
Ketika makan malam selesai dan telah menikmati sebatang rokok, aku berpamitan kepada kawan-kawan yang tengah kongkow di ruang depan, untuk merebahkan badan.
“Tumben om Mario mau tidur sore,” kata Anton, saat aku berpamitan untuk tidur duluan.
“Paling juga nggak tidurlah, Ton. Pastinya ngelamun, melototi plafon, ngebayangin istri dan anak-anak di rumah,” sahut kap Yasin, seraya melepas tawanya.
Aku ikut tertawa sambil tetap melangkahkan kaki masuk ke ruang dalam. Setelah membersihkan dan merapihkan kasur, bantal, guling dan selimut, ku rebahkan badan. Dan langsung mengucap doa untuk tidur.
Kenyenyakan tidurku mendadak terganggu saat kakiku ditepuk dengan kencang oleh Anton.
“Om, botolnya mana. Ditanyain tamping Kausar, dia di depan. Ada razia katanya,” ujar Anton, dengan suara pelan.
Spontan aku membuka seprai kasur, dan menarik telepon seluler yang ku sembunyikan di sudut bagian dalam kasur. Dengan langkah cepat, aku turun dari lantai atas dan menuju jeruji besi.
“Cepetan om, razia sudah di kamar 19. Kamar om jadi target utamanya,” kata Kausar, tamping yang selalu dampingi komandan pengamanan.
Begitu telepon seluler aku serahkan, pria berusia 30 tahunan itu dengan cepat memasukkan hpku ke bagian dalam celana panjangnya, dan bergegas meninggalkan kamarku dengan cara melewati taman dan menyelusuri jalan setapak di tepian tempat menjemur pakaian. Berseberangan dengan posisi kamar para tahanan.
Baru saja aku menaruhkan badan di kasur, mendadak pintu kamar dibuka dengan cepatnya. Lima petugas langsung masuk, dan memerintahkan semua penghuni kamar untuk keluar. Berbaris rapih di dekat taman, kecuali kap Yasin.
Petugas yang telah masuk kamar langsung melakukan pemeriksaan dengan teliti. Bukan hanya loker pakaian yang dikeluarkan semua isinya, tetapi juga pakaian yang menggantung diturunkan. Diperiksa hingga ke sudut jahitannya.
Semua kasur dibuka seprainya. Ditelisik dengan seksama setiap sudutnya. Dan ketika menemukan ada sobekan, langsung dicek dengan memasukkan tangan ke dalamnya.
Kamar mandi juga tidak luput dari pemeriksaan. Bahkan, pakaian yang sedang direndam pun, dihamburkan ke lantai. Diperiksa setiap kantongnya. Peralatan mandi ditaburkan ke lantai dan dilakukan penelitian satu demi satu.
“Botolnya ada dimana, kap?” tanya seorang petugas kepada kap Yasin. Menanyakan keberadaan telepon seluler.
“Kami nggak ada yang punya botol disini, dan,” sahut kap Yasin, dengan tenang.
“Nggak usah bohong. Kami tahu kalau di kamar ini ada botol. Awas aja kalau ketemu, kap kamar yang jadi korbannya,” lanjut petugas itu dengan suara kencang.
Tiba-tiba kepala rutan dan kepala pengamanan rutan alias KPR, datang. Masuk ke kamar, dan mengawasi anak buahnya yang sedang melakukan pemeriksaan. Sekitar 25 menit kemudian, salah satu petugas menggelengkan kepalanya.
“Infonya A-1 kalau di kamar ini ada botol alias hp. Masak iya, info itu bohong,” kata KPR dengan nada tinggi, menanggapi gelengan kepala anak buahnya.
Mendapat sahutan demikian, kelima petugas yang melakukan razia, kembali bersemangat. Semua sudut kamar diperiksa lagi. Bahkan, tempat menyimpan makanan pun diobrak-abrik.
Pakaian 12 penghuni kamar yang telah berhamburan di lantai akibat ditarik dari loker, juga diteliti lagi. Dengan cara menginjak-injak memakai sepatu larasnya. Harapannya akan terasa jika terdapat barang tersembunyi di antara puluhan pakaian tersebut.
Sudah lebih dari satu jam pelaksanaan razia di kamar kami. Dan karena botol alias telepon selulerku memang sudah diluar kamar setelah diamankan tamping Kausar, kami semua tetap berusaha tenang dan santai selama kegiatan dadakan tersebut dilakukan.
Bahkan aku, pak Ramdan, Anton juga Teguh, bisa duduk santai sambil merokok. Menonton aksi razia para sipir yang ditongkrongi langsung oleh kepala rutan dan KPR tersebut.
Hanya kap Yasin yang terus berada di dalam kamar mendampingi petugas, dan tampak gelisah. Beberapa kali ia terlihat mengelap keringat yang mengucur di wajahnya. Keringat dingin yang bermunculan karena besarnya kekhawatiran di hati dan pikirannya.
Akhirnya, pelaksanaan razia pun berakhir. Setelah berlangsung lebih dari 90 menit. Tanpa menghasilkan tujuan utama, yaitu menemukan botol di kamarku. Kepala rutan dan KPR tampak memerah wajahnya sebagai ekspresi kemarahan dan kekecewaan, karena aksi penertibannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Sebelum meninggalkan kamar, seorang petugas yang telah mengobrak-abrik seisi kamar, menyatakan permohonan maafnya.
“Maaf ya. Semua semata-mata karena tugas. Nggak ada urusan apalagi dendam pribadi,” kata petugas berbadan tinggi besar itu, sambil menatap kami yang akan kembali memasuki kamar.
Tidak ada satu pun di antara kami yang membalas perkataan sipir tersebut. Betapapun, akibat cara razia yang arogan, memaksa kami harus merapihkan kembali semua barang pribadi dan menata seisi kamar yang porak-poranda.
“Rapihin pakaian masing-masing aja dulu, baru ngurusi kamar,” kata kap Yasin dengan suara bergetar.
“Sambil nyanyi aja ngerjainnya, jadi hilang rasa kesel kita,” ujar Anton.
“Jangan nyanyi, nanti dikira kita ngetawain petugas yang ngerazia tadi. Baikan sambil solawat aja. Ayo kita bersolawat,” tanggap pak Waras, yang langsung memulai menyenandungkan solawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan langgam yang mendayu syahdu.
Sontak, semua penghuni kamar 30 mengikuti ajakan pak Waras. Suara solawat menghiasi kesibukan kami menjelang datangnya waktu Subuh itu. Semakin lama, suara kami kian mengencang. Hingga seakan angin pun berhenti untuk mengikuti pujian bagi Kanjeng Nabi tersebut.
Tanpa terasa, semua barang pribadi telah tersusun di tempatnya masing-masing. Pak Ramdan dibantu Anton, Teguh, dan beberapa kawan lain, juga telah selesai menyapu dan mengepel semua lantai kamar. Yang sebelumnya diinjak-injak semaunya oleh petugas dengan sepatu larasnya. (bersambung)