Cari Berita

Breaking News

SUAP KPU dan KUTUKAN EMPU GANDRING

INILAMPUNG
Sabtu, 09 November 2019

SALAH SATU  prinsip penyelenggaran pemilu adalah adanya jaminan pemilu berintegritas (Peraruran DKPP No 2 Tahun 2017 Pasal 3 dan 6). Pemilu berintegritas hanya dapat terwujud manakala para penyelenggaranya dipastikan tidak impoten integritas.

Berita yang dimuat dalam portal online (harianmomentum.com dan lamppost.co, 8 November 2019) menjadi tamparan keras wajah Komisioner KPU Lampung. Kuatnya indikasi praktik jual-beli kursi komisioner KPU Kabupaten/Kota yang diindikasikan melibatkan Komisioner KPU Provinsi dalam rekrutmen calan komisioner KPU seolah meruntuhkan harapan publik akan hadirnya cita-cita Negara yang kuat.

KPU RI sendiri memilih slogan Pemilih Berdaulat, Negara Kuat. Prasyarat utama untuk mengajak pemilih yang berdaulat, maka para komisioner penyelenggaranya wajib berdaulat. Sulit di nalar dengan alur logis akan terbangun pemilih berdaulat jika para penyelenggaranya sendiri justru penyandang tuna kedaulatan. 

Bagaimana dengan mimpi Negara yang kuat? Lupakan saja, selama instrument penyelenggara pemilu impoten integritas dan tuna kedaulatan, mimpi itu hanya akan sebatas fiksi. 

Pewaris Kutukan Mpu Gandring
Legenda yang tertulis dalam Kitab Pararaton tentang keahlian dan kesaktian seorang pandai besi dari Kerajaan Tumapel, sebelum lahirnya kerajaan Singosari cukup relevan untuk menganalogikan perilku kotor oknum komisioner KPU Provinsi Lampung. Dialah Mpu Gandring, seorang pandai besi yang tidak hanya terkenal kepandaiannya dalam membuat keris, tetapi juga terkenal karena kesaktianya. Keris Mpu Gandring yang di pesan oleh seorang tokoh penyamun, Ken Arok menjadi legendaris karena kutukannya yang memakan korban dari kalangan elit Kerajaan Singosari, termasuk pendiri dan pemaikainya, Ken Arok. 

Ken Arok memesan keris ini kepada Mpu Gandring dengan waktu satu malam saja, yang merupakan pekerjaan hampir mustahil dilakukan oleh para "mpu" (gelar bagi seorang pandai logam yang sangat sakti) pada masa itu. Namun Mpu Gandring menyanggupinya dengan kekuatan gaib yang dimilikinya. Bahkan kekuatannya ikut "ditransfer" kedalam keris buatannya itu untuk menambah kemampuan dan kesaktian keris tersebut. Konon, keris itu memiliki kekuatan supranatural melebihi keris pusaka manapun dimasa itu. 

Mpu Gandring menyelesaikan pekerjaannya dan membuat sarung keris tersebut. Namun belum lagi sarung tersebut selesai dibuat, Ken Arok datang mengambil keris tersebut yang menurutnya sudah satu hari dan harus diambil. Untuk menguji kesaktian keris tersebut, Ken Arok menusukannya kepada si Mpu, pembuat keris tersebut. Menurut Ken Arok,  Mpu Gandring tidak menepati janji, karena sarung keris itu belum selesai dibuat.

Dalam keadaan sekarat, Mpu Gandring mengeluarkan kutukan bahwa keris tersebut akan meminta korban nyawa tujuh turunan Ken Arok. Benar saja, dialah Mpu Gandring yang dibunuh oleh Ken Arok, Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Buto Ijo atas perintah Ken Arok, lantas Buto Ijo dibunuh oleh Ken Arok untuk menghilangkan jejak, Ken Arok di unuh oleh Ki Pengalasan atas perintah Anusopati, dan untuk pengilangan jejak Anusopati membunuh Ki Pengalasan dan akhirnya Anusopati dibunuh oleh Tohjaya yang merupakan anak Ken Arok dari Istri Ken Umang. 

Yang menarik,  kesemuanya korban tersebut mati dibunuh dengan senjata Keris buatan Mpu Gandring. 

Akankah Kutukan Mpu Gandring Diwariskan Pada Komisioner KPU Lampung?

Praktik kotor dalam tubuh lembaga yang mestinya mengedepankan moral-etik harus di tindak tegas. Jika tidak, maka yakinlah lembaga ini akan menjadi pewaris kutukan Mpu Gandring. Ketika praktik jual-beli jabatan justru di mulai dari hulu, maka sampai level bawah akan terus berlanjut mengikuti pola yang sudah dimulai dari kepalanya. Maka, ikan busuk itu akan dimulai dari kepalanya. Apakah kita rela akan terjadi “pembusukan” demokrasi di bumi Ruwai Jurai ini?  Sulit dibayangkan, apabila sampai pada proses rekruktmen petugas di TPS terjadi praktik “Wani Piro” atau setoran sebagai “upeti” akan mampu mewujudkan pemilu yang berintegritas, hasil pemilu yang legitimate, terbangun pemilih yang berdaulat, sehingga Negara ini kuat. 

Semoga masih ada lembaga kehormatan yang juga sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana amanah dalam UU No 7 Tahun 2017 (Bab I Pasal 7, 24) yang dapat menjaga marwah dan kehormatan sendiri sebagai penyelenggara, sehingga wajah demokrasi Lampung masih dapat diselamatkan.

Dr. Hardi Santosa, M.Pd.  *)
*) Penulis adalah Anggota Timsel KPU Provinsi Lampung (Penambahan, 2014-2019) dan Timsel KPU Kab/Kota Periode 2019-2024

LIPSUS