Cari Berita

Breaking News

Puisi Beri Kritik Manusia Modern

INILAMPUNG
Minggu, 10 November 2019



Oleh; Isbedy Stiawan ZS

POLITIK memberi kritik pada manusia modern. Demikian dikatakan Chavchay Syaifullah, penyair Banten, pada orasi budaya yang dihelat Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS bekerja sama dengan Biro Aset Prmprov Lampung, semalam (9/11/2019) di Teater Terbuka PKOR Wayhalim, Bandarlampung.

Karena itu, kata dia, menjadi naif kalau Indonesia tidak bisa menghormati puisi. Bahkan sebelum Indonesia berdiri, puisi sudah lama tumbuh subur baik dalam bentuk mantra, pantun, seloka, talibun, syair, karmina, dan gurindam.

Disebutkan mantan ketua DKB itu, para bapak bangsa seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, Tan Malaka hingga Bung Tomo sangat melek sastra.

Dia contohkan koseptor teks Sumpah Pemuda, Muhammad Yamin adalah penyair. Begitu pula Bung Tomo. Kalau ia tak melek sastra tentu tidak mendapatkan diski "merdeka atau mati" tetapi mungkin saja "merdeka atau tak merdeka".

"Jadi politik tanpa sastra, sama halnya menghilangkan ruh dari tubuh," tandas pengajar di Ponpes La Tansa, Lebak, Banten itu.

Ia melanjutkan, ketika modernitas masuk ke negeri ini, puisi pun ikut bekerja membangun kebudayaan masyarakat modern yang cerdas, kritis, dan mandiri.

Bukan saja memberi makna terhadap modernitas, namun puisi hadir memberi kritik manusia modern lewat balada, himne, romansa, ode, epigram, elegi, satire, distikon, kwatrin, kuint, sektet, dan soneta. 

"Begitu pun di dalam prosa. Cerpen, novelet, novel, dan naskah drama banyak memberi inspirasi besar bagi masyarakat luas di negeri ini, termasuk di bidang politik. Sastra dan politik mengalami hubungan kesadaran yang saling memberi respon. Karenanya, menjadikan sastra sebagai pipa saluran dendam dan kebencian politik merupakan kejahatan kebudayaan."

Namun, katanya, merenungi perjalanan politik Indonesia dalam satu dekade terakhir, sepertinya harus ada yang dilakukan oleh para elit politik dan masyarakat sastra secara luas, yaitu ketika seni kata-kata, permainan logika, dan imajinasi yang lenggang lepas, perlu mendapat ruang yang lebih menyegarkan di masa-masa genting politik.

Politisi yang suka menulis karya sastra perlu mendalami kesusasteraan dari berbagai aspek agar karya mereka terus meningkat baik, pun sastrawan harus lebih cermat membaca fenomena sastra yang hadir di ruang-ruang politik praktis dan berjalan bersama masyarakat merayakan fungsi sastra bagi kehidupan manusia. Kalaulah demikian, di atas panggung politik, kata-kata yang bertaburan tak lagi penuh caci maki, namun memiliki nilai artistik apalagi diisi dengan arahan sikap politik yang bisa masuk ke hati konstituen. Lobi politik yang berlika-liku di ruang terbatas, bisa dijelaskan kepada publik luas dengan struktur penceritaan yang lebih kontekstual.

Politik sebagai seni yang menyajikan berbagai kemungkinan untuk mencapai tujuan, belum cukup berhasil menyajikan situasi-situasi yang membuat masyarakat umum masuk ke dalam pengalaman artistik. Nilai-nilai estetik sastra dalam politik diturunkan menjadi represi kata ke dalam makna yang tunggal, yang mengantar pandangan politik pada sikap yang monolitik. Apalagi pandangan-pandangan politik diinjeksi ke dalam ikatan-ikatan primordial, menjadikan proses-proses politik semakin tegang dan tidak menggembirakan.

Kekuasaan yang dituju dalam proses-proses politik tentu membutuhkan ragam strategi dan taktik, namun ketika keindahan yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan terdistorsi terlalu rendah, maka patologi sosial tak terhindarkan. Politik menjadi area permainan aktor-aktor yang sakit, yang tak mau melek pada kenyataan negara yang majemuk dalam banyak hal. Sementara perlu dipahami, ketika keindahan sastra terletak pada kata yang beragam makna, maka keindahan politik terletak pada resepsi keanekaragaman persepsi dan kepentingan. Tanpa itu, politik kenegaraan akan menemukan wajahnya seperti yang dibayangkan oleh Thomas Hobbes: bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).

Sebagai karya seni, sastra bisa menjelaskan bagaimana narasi yang baik, tidak selalu muncul dari konflik cerita yang dibangun secara apik dan bertingkat, sebab dalam sastra bisa saja klimaks hadir dalam wujudnya yang anti klimaks. Apalagi dalam sastra, akhir dari sebuah kisah, tidak harus berisikan resume-resume yang menawarkan solusi, bahkan hanya memberi tanda tanya atau justru malah membuka persoalan baru yang harus dicarikan ceritanya pada narasi-narasi selanjutnya.

Narasi sastra, seperti dijelaskan Gerard Genette, setidaknya akan melalui empat aspek: urutan, lama keberlangsungan, frekuensi, dan moda. Narasi akan mengurut peristiwa yang bisa berlangsung sebelum berlangsungnya narasi (analepse), suatu peristiwa yang belum terjadi (ulterior) bisa diungkapkan sebelum terjadi (prolepse), juga ketidakpadanan urutan (anachronie). Narasi sastra juga menelusuri irama terjadinya peristiwa, pengulangan yang berlangsung di dalam narasi, serta sudut pandang dan jarak antara narator dan narasi.

Tanpa kita sadari secara khidmat, politik Indonesia dalam satu dekade terakhir, semakin menunjukkan ke arah itu, ke arah permainan kata-kata yang bersayap, permainan cerita yang tak terduga, dan mobilisasi tokoh-tokoh dengan karakter yang bisa berkembang secara acak. Maka menyikapi politik Indonesia dengan ketegangan tingkat tinggi, kita hanya menemukan bayang-bayang di dalam kolam. Kita akan kecewa dengan luka yang dalam dan benci yang berkepanjangan.

Terutama ketika pemilihan pemimpin dilaksanakan secara langsung, di mana masyarakat aktif berkontribusi sebagai tim sukses yang bergerilya di lapangan atau sebagai relawan dan simpatisan yang baku hantam di dunia maya, sastra cukup mewarnai politik negeri. Meskipun harus diakui bahwa karya-karya sastra yang bersileweran dalam ruang politik belum menunjukkan kualitas yang baik, setidaknya ada upaya bagaimana sastra perlu dihadirkan untuk menjadi oksigen dalam kondisi politik yang panas dan pengap.

Bayangkan, ketika di masa kampanye semua tokoh politik saling serang dan menjatuhkan, rakyat pun perang total dengan kata-kata setajam pedang. Setelah masa kampanye politik dan pemilihan berakhir, ketika pembagian kekuasaan terjadi secara tidak masuk akal, maka rakyat pun hanya bisa kaget dan diam. Maka melakoni politik harus sejak awal disadarkan kepada masyarakat luas agar santai seperti membaca karya sastra. Menikmati konflik cerita sebagai alur yang diplot untuk proses penceritaan itu sendiri, bukan untuk klimak cerita. Sehingga ketika puncak akhir cerita tidak sesuai harapan, spirit proses pembacaan akan tetap menjadi enerji baru untuk melompati pembacaan narasi berikutnya.


Puisi dan Regresi
Puisi dalam bentuk balada, pantun, dan lirik lagu, adalah karya sastra yang cukup populer dihadirkan oleh para politisi untuk berbagai alasan, mulai dari untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah politisi yang peka terhadap bahasa, sastra, dan budaya, hingga untuk mencari cara lain yang lebih lembut untuk menghantam lawan politik.

Ada juga naskah monolog dan drama yang ditulis untuk kepentingan politik dan dipentaskan dalam event-event politik. Betapa mereka berharap bahwa misi-misi politik tersampaikan melalui karya sastra, meskipun dengan kualitas yang belum cukup cakap. Di sisi lain, hal itu mereka lakukan dengan perhitungan bahwa melalui karya sastra, dendam dan kebencian politik bisa tercurahkan di ranah yang sulit berdampak pada gugatan hukum.

Jika demikian yang terjadi maka tindakan politisi semacam itu hanya merupakan regresi yang mencerminkan ketidakmampuan politisi untuk membangun narasi perlawanan politik yang elegan. Ia hanya menunggani sastra untuk serangan politik dengan cara menghidupkan cara-cara yang infantil untuk mencari sensasi lewat kata-kata. Regresi dalam psikoanalisa Sigmund Freud merupakan mekanisme pertahanan ego (defence mechanism) dengan kembali ke masa-masa perkembangan yang telah dilewati, di mana ketika seseorang mengalami tekanan psikis semacam kecemasan, maka prilakunya bergerak mundur menjadi seperti kanak-kanak untuk mendapatkan kenyamanan baru. Ia bukan hanya menyangkal atau memalsukan kenyataan, namun juga mendistorsinya.

Karya sastra yang ditulis oleh politisi dalam situasi regresi, maka dipastikan bahwa politisi itu tidak sadar atas apa yang ia tulis. Lebih jauh, sebagai politisi, ia tidak tahu tentang realitas bangsa yang sesungguhnya. Ia bukan saja tidak sedang berusaha untuk melahirkan karya sastra yang baik, namun yang terpenting baginya adalah bahwa ia bisa puas menyalurkan dendam dan kebencian terhadap lawan politiknya. Ia mainkan kata-kata untuk menjadi semacam karya sastra dan ia lupakan sastra sebagai seni yang memberi inspirasi kepada publik lewat pemaknaan yang memberi perspektif baru pada realitas.

Sekali lagi, politik tanpa sastra akan kehilangan keutuhannya sebagai seni kekuasaan. Namun menghadirkan sastra secara tidak utuh di ruang politik hanya berujung pada dekadensi budaya. Sastra akan kehilangan makna dan fungsinya, termasuk ketika ia akan dijadikan media komunikasi politik alternatif. Politik dan sastra, dengan demikian, harus dipulangkan dulu ke dalam rahim kemanusiaan, dengan porsi dan fungsi yang berbeda. Setelah itu barulah politik dan sastra bisa didialogkan untuk menata kehidupan masyarakat yang lebih luas. (*)


Catatan:
Baca puisi dan Orasi Persaudaraan Penyair Banten Lampung III, menampilkan para penyair, seniman, dan politisi, yaitu Iin Muthmainah, Muhammad Alfariezie, Agusri Junaidi, Syaiful Irba Tanpaka, Isbedy Stiawan ZS, Oktarijaya, Suntoro, Adolf Ayatullah Indrajaya, dan lain-lain.

LIPSUS