Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (2)

Sabtu, 21 Desember 2019



Oleh Isbedy Stiawan ZS

KAU masih menikmati kentang goreng. Jemarimu yang lentik berpindah dari piring kentang ke sambal, kemudian memasukkan ke mulut.

Kunikmati wajahmu. Pikiranku merekam dirimu. Menerka watakmu jika suatu kelak kuperlukan dalam tokoh ceritaku.

Kau perempuan berwajah ayu. Dua bola mata yang tampak sayu. Lipstik tipis dan warnanya tak menohok menghiasi bibirmu. Hidung tak pesek, namun tak pula mancung. Rambut tergerai sebahu, ada poni rapi di atas alis matamu.

Di mataku terasa kau sempurna sekali. Tidak cuma cantik, tapi juga cerdas. Kau masih bersemangat diskusi, di antara pengunjung Diggers yang mulai berangsur meninggalkan kursinya.  

Seorang pengunjung, perempuan muda, yang memilih meja di tepi tampak menikmati isapan demi isapan rokoknya. Bagai kereta berbahan api, asap yang dihempaskan dari bibirnya sambung-menyambung.

Perempuan kisaran 32 tahun itu, rambutnya melebihi punggung, kacamata diletakkan di kepala. Ia tak berubah posisi. Badannya diarahkan ke kota di pinggir teluk. Kunang-kunang dari lelampu seolah bermain di matanya.

"Kau tampaknya sedang tertuju ke wanita itu. Jadi obrolan kita tak fokus...." kau menyadarkan.

Aku gelagap sesaat.

"O maaf. Tidak juga. Aku tadi malah lama memandangimu...."

"Aku tak merasa kau tatap," bantahmu.

"Aku curi pandang..."

"Juga aku tak merasa. Aku tak curiga kau diam-diam memandangiku...."

"Namanya juga mencuri, ya sebisa mungkin tidak ketahuan," balasku.

"Narasikan tentang diriku jika kau benar-benar mencuri pandang ke diriku," tantangmu.

"Nanti dalam tokoh cerita-ceritaku!" jawabku cepat. Tegas.

Ah, desismu. "Pengarang selalu memanfaatkan orang lain untuk tokoh atau yang dijadikan alat keburukan. Kadang dengan keji, dimatikan atau dibunuh karakternya!"

"Tapi tokoh fakta itu sudah menjadi tokoh fiktif. Ia sepenuhnya milik pengarang. Mereka wayang di tangan dalang...." selaku.

Malam melangkah. Di langit penuh bintang. Sepotong bulan keemasan di Timur. Kerlip lelampu dari kota di bawah sana bagai kunang-kunang terbang.

Kau mulai gelisah. Sesekali menguap. Kau pengunjung keempat yang kelak kupinjam sebagai tokoh dalam ceritaku.

Kau mengangguk.

"Silakan jika itu membuatmu bisa berkarya. Kuberi sebebasnya. Tak ada yang perlu kusembunyikan. Aku perempuan merdeka."

"Tapi aku tidak menarasikan pertemuan kita sebelum ini," godaku.

Wow! "Silakan saja sekiranya penting, kalau kau mau mengisahkan babak di mana kita pernah bertemu. Pengarang harus jujur saat menulis," katamu tersenyum.

Sesaat kau diam. Ingin memberi jeda untuk kutanggapi. Tetapi aku malah menunggu kelanjutan ucapanmu.

"Jujur dalam arti pengarang mengungkap apa yang harus ditulis. Tidak boleh ditutup-tutupi. Misalnya, bagaimana Ayu Utami dalam menarasikan sesuatu di Larung, juga Jenar Maesa Ayu dalam cerita-ceritanya. Sebetulnya jauh dari pengarang itu, Sutardji dalam puisinya berani menulis yang kala itu masih dianggap tabu," terusmu.

Aku tak menyela. Kau adalah teman berdialog selama ini. Ketika aku ada masalah dan membutuhkan diskusi denganmu, kau tak menolak. Itu sebabnya kerap kujadikan 'Monalisa' dalam karya-karya sastraku. Monalisa yang hadir dan kutinggalkan. Kau tulus siap menjadi objek dan tokoh di dalam cerita-ceritaku.

Pernah kuajak sebagai perempuan yang berjumpa di Belanda. Kau tak mengeluh kubawa kelilingi Negeri Keju itu: Amsterdam, Rotterdam, Leiden, dan lainnya. Lalu kau diam saja saat kutawari menginap di sebuah hotel bagi wisatawan bagpacker. Pada kesempatan lain, kujadikan kau sebagai tokoh bernama Suzi, perempuan asal Indonesia yang menetap di suatu kota di Belanda. Lalu, kutahu statusmu tak jelas -- suamimu bule Holand cuma hanya simpanan -- kugoda untuk bercinta. Kau mau asal tanpa ikatan. Kau mengajakku menetap beberapa pekan. 

"Kebetulan suamiku sedang berlayar ke luar negeri," ujarmu. Lelakimu bekerja di kapal bisnis. Berlayar hingga ke Amerika dan benua lainnya. Kau, seperti ceritamu suatu kesempatan, kadang dirajam kesepian. Ingin bercinta. Lalu...

*

Jadilah kau bagian dari cerita-ceritaku. Sebagai orang di dalam kisah-kisahku, kau tak pernah menolak kuajak ke mana saja. Setiap ingin bertemu, cukup sekali kuhubungi kau langsung menjumpaiku. 

Tanpa menolak ataupun mengeluh karena capek masuk dan keluar sebagai tokoh-tokohku. Baik cerpen, puisi, atau kolom-kolom. Kalau pun ada keluhan, lebih tepat menggugatku, jarang sekali kau utarakan.

"Kapan kamu menulis novel. Aku sudah ingin membaca dan mengkritisi novelmu. Kalau puisi dan cerpen sudah tak ada lagi yang luput kubaca. Tapi novel? Jangan sampai kau mati, tak punya satu novel pun."

Lalu kau menjelaskan bagaimana Goenawan Mohammad yang dikenal penyair kuat di Indonesia, jago menulis esai lewat catatan pinggir (caping) di Majalah Tempo, merasa belum puas sebelum ada novel. Buktinya dia menerbitkan novel tipis Surti + Tiga Sawunggaling. Gaya penulisannya seperti puisi. 

"Novel itu sangat puitis dan imajis," katamu. "Nah, kamu juga bisa toh? Apa sulitnya untuk seorang sepertimu. Tinggal lagi mau atau tidak, siap atau tak siap."

Aku menatapmu. Dalam sekali. 

"Tapi," kataku kemudian setelah beberapa waktu sunyi. "Andai novel seperti itu yang menulis adala aku, pasti banyak kritikus mempertanyakan atau malah aku digugat," lanjutku.

Kulihat kau tersenyum.

"Itulah keberanian GM. Dia berani menyebut karyanya itu adalah novel. Setidaknya ia sudah mengajak diskusi," ujarmu segera.

Kau memang pandai berdebat, desisku. Tak berani kukatakan, demi menghindari perdebatan berkepanjangan. Apalagi sudah malam. Kafe Diggers sudah berangsur ditinggal pengunjung.

"Oke besok lagi kita bertemu. Ngobrol lebih hangat," katamu lalu berdiri. Menjauhi kursi.

Ketika aku mau membayar bill, kau lebih cepat tiba di depan kasir.•

(bersambung)

LIPSUS