Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (9)

Selasa, 31 Desember 2019


Cerbung Isbedy Stiawan ZS

ibu,
jika malan ini tak pulang
bukan karena rindu telah hilang


TULISAN itu, bukan kata-kata mutiara atau renungan melainkan puisi. Aku yakin karya itu adalah karya dari penulis yang bukan junior lagi. Dibingkai rapi terpasang di dinding Pustaka Kopi. Setiap pengunjung dipastikan membacanya, karena letaknya strategis.

Selalu kubaca satu bait puisi itu begitu memasuki kafe ini. Sebait puisi yang terpajang di dinding dekat kasir itu, bukan saja sebagai hiasan. Tetapi memberi arti cukup bagus bagi pengunjung dalam upaya memelekkan masyarakat pada sastra, juga menularkan apresiasi puisi.

Malam Sabtu dan malam Minggu, biasanya pengunjung ke kafe ini hingga ke tepi jalan. Banyak kalangan mahasiswa. Kedua malam di akhir pekan sering diisi dengan live musik, malam puisi, dan diskusi yang kini siap dihelat. Diskusi dengan tema "Pilkada dalam Bungkus Gula" belum mulai. Jadwal dalam undangan yang kuterima pukul 20.00. Sekarang lebih 5 menit!

Mengisi kekosongan hingga acara dimulai, karyawan kafe memutar lagu-lagu semangat dan nuansa kritik. Seperti "Bongkar" Iwan Fals, dan lagu-lagu Gombloh, Slank, dan lainnya.

Sengaja kupilih kursi dekat jalan. Ini untuk memudahkan jika mau angkat kaki, sekiranya diskusi menjemukan. Apalagi aku ke sini karena sudah janji dengan teman lawas, kini mengepalai sebuah NGO perkotaan.

"Kita ketemuan di Pustaka Kopi ya, kebetulan ada diskusi di sana," katanya, kemarin siang saat berjumpa di markas Komunitas Gedung Meneng (KGM). Sebenarnya aku malas mengikuti diskusi, apalagi menjelang Pilkada. Tak lebih diskusi akan berkesimpulan bla bla bla.

Sudah 45 menit aku duduk, Fanjir yang kutunggu belum juga muncul hidungnya. Pesanku ke WA-nya belum dibuka. Mungkin ia di atas motor. Aku tahu dengan kimitmen Fanjir selama ini. Ia tidak pernah ingkar jika sudah janji. Tidak pernah mengecewakan teman kalau sudah berkata "ya", apa pun yang akan terjadi. 

Beberapa kali aku bersama dia dalam berbagai aksi di jalan. Ia berada paling depan. Sebagai orator, Fanjir pandai membakar semangat kawan-kawan di lapangan. Seperti membawa kompor dalam tubuhnya, kapan pun diperlukan segera dihidupkan. Terbakarlah suasana.

Aku masih ingat saat demo kepada perusahaan pers tempat kami bekerja karena ketidakadilan pihak perusahaan, Fanjir berada di depan. Ketika pertemuan degan wakil pemilik modal tak berakhir kata sepakat, ia beteriak sambil menuding utusan dari pemodal itu: "Katakan pada bos, fasis! Kalian juga fasis! Orang pusat fasiiiss!" 

Tudingan Fanjir disambut kawan-kawannya serentak: "Bemar. Fasis!" Lalu bubar meninggalkan ruang rapat redaksi. Lebih dari 70-an karyawan pers yang didominasi wartawan hengkang dan membuat media cetak baru.

Peristiwa itu terjadi puluhan tahun, aku telah tahunnya. Yang masih kuingat, Kala itu koran kami sedang gencar memberitakan perjudian bola tangkas, konon dapat bekingan aparat keamanan, ternyata kawan-kawan di perusahaan digerebek dan digelandang ke kantor polisi. Niat bagian perusahaan agar kami bantu mengeluarkan kawan-kawan yang ditahan. Tetapi kami dari jajaran redaksi menolak. Terjadi chaos. Koran tidak terbit keesokan hari. Pemilik modal mendatangkan utusan. Bukan membawa solusi, malah kami dipaksa memilih. Keluar atau meminta maaf di empat media besar terbitan Jakarta.

Kami menolak, lebih baik keluar berjamaah. Dan, keluarlah ucapan "fasis" dari mulut kawanku itu. Sejak media baru yang dikelola dengan semangat "bersaudara dan senasib" gulung tikar, kami berpencar. Ada yang menjari reporter koran Jakarta, bergabung dengan media kecil, dan laun-lain. Termasuk jadi politisi, anggota KPU, KIP, KPI, pemantau pemilu. Dan, aku kembali ke habitatku; sebagai sastrawan.

Fanjir? Ia membentuk NGO. Lumayan berani, sehingga cepat dikenal dan disegani. Di luar itu, Fanjir suka puisi. Sangat bagus jika sedang membacakan puisi. Puisi-puisi Widji Thukul, Rendra, Emhai Ainun Nadjib, ataupun Mustofa Bisri kerap dia bacakan di mimbar jalan. Puisi "Hanya Satu Kata: Lawan" karya Thukul terlalu sering dibacanya. Berulang dalam ruang yang berbeda. Aku berpikir, sekiranya panitia diskusi memberi waktu untuknya, Fanjir akan membaca puisi. Mungkin punya Thukul, atau puisi "ampolopnya" Mustofa Bisri. Namun, menurutku akan lebih pas jika baca puisi kiyai Bisri. Karena temanya yang menyebut gula. Gula adalah bagian dari sembilan bahan pokok (sembako). Beberapa kali Pilkada di daerah ini, perusahaan yang memproduk gula terus-terusan viral. Termasuk bos-nya yang wanita itu, yang disebut-sebut "Mbak Pur". Dialah yang banyak turun ke pilkada. Dia pula yang banyak mengucurkan dana demi kemenangan yang diusungnya.

Bagi "mbak Pur" tak penting ia bergiat di partai politik atau tidak. Semua parpol dan kandidat yang mau menang, lebih dulu merapat padanya. Atau sebaliknya, kata kawanku yang dekat dengannya, tim pememangan mengajukan proposal ke dia. Lalu berhitung-hitung untung dan rugi untuk perusahaannya. "Kalau dipikirnya menguntungkan kelak setelah menang, ia siap berkarung-karung menggelontorkan dana," kata kawanku. Aku pernah diajaknya ke beberapa kota saat nanggap wayang. Waktu itu, hitung-hitung berliburan dan pulang dikasih uang.

"Terpenting kau bisa menghayati bagaimana orang berbondong untuk datang, ada yang benar-benar ingin menyaksikan kisah wayang, dan ada yang cuma menunggu hadiah," bisik Andi. Ia membidangi publikasi dalam program itu.

Peengalaman ikut tim sukses Pilkada itulah, kemudian jadi bahan aku menyelesaikan sebuah buku kumpulan cerita pendek, bertema politik. Kebetulan kawanku di KPU mengajak kerja sama dalam sosialisasi kesadaran bagi masyarakat untuk tidak golput. "Tugas kita semua menyadarkan masyarakat, bahwa satu suara berarti bagi 5 tahun ke depan!" kata Tono, komisioner KPU itu.

Tidak kusia-siakan kerja sama itu. Apalagi ini urusan finasail. Berurusan langsung dengan uang. "Aku sih profesional saja," kataku pada Tono, "ada keerja ada uang. Ini ruang profesi. Iya kan?"

Tono mengetosku.

"Setuju bro! Lagipula emang ini ada anggarannya, ada programnya pula. Siaoa lagi yang kuajak kerja sama, kalau bukan kawan sendiri. Tak lari rezeki diburu, tak jauh rezeki dilepas. Kembalinya ke dekat kita juga."

Kami tertawa. Sampai-sampai pengunjung kafe, dua tahun lalu, melihat kami. Mungkin aneh, mungkin pula mereka tengah melihat manusia yang tak tahu adab. Tertawa di tempat umum. Keras sekali.

Di daerahku, soal gula benarbenar diangggap dominan memutih-hitamkan hasil pilkada. Meskipun tak bisa dibuktikan dengan bukti-bukti yang jreng, namun seluruh rakyat seakan sepakat bahwa campurtangan Bos Gula itu telah merusak demokrasi di ranah perpolitikan. Tetapi mana ada pengusaha yang berani menjauhi pilkada? Bisa-bisa perusahaanya bankrut begitu pemenang dilantik. Entah ditutup, ditekan pajaknya sebesar mungkin, tunggakan pajak dan pajak yang ditutupi terus dirongrong. Bisa gila bosnya.

"Daripada nanti benar-benar gila, lebih baik kucurkan dana. Libatkan diri dalam pilkada. Beruntung, pejabat daerah yang dimenangkan itu kebetulan bisa dijadikan boneka. Amanlah..." kata Andi kala itu.

*

JALAN--jalan ke berbagai kota di Provinsi LP ini, aku banyak berkenalan. Aku juga banyak berdiskusi dengan masyarakat setemoat. Juga cari kesempatan memasuki kampung-kampung untuk berdialog dengan warga. Perjalanan yang banyak kudapat ilmunya, baik untuk diriku. Misalnya, bagaimana rakyat tetap saja tabah dan merasa stabil walaupun terkadang untuk makan esok pun masih dipikirkan dari mana. Jadi bagaimana mereka akan mengatakan "mantap" kalau urusan mulut dan perut belum stabil?

"Tapi kami harus bilang mantap dan stabil, ya karena hanya ucapan ya dilontarkan. Padahal, perut kami miris katrena belum di isi," kata Windo, warga yang kutemui di pedalamanan Kabupaten Anu. Ia hidup bersama seorang istri dan tiga anaknya yang masih kecil.

Ada pula warga yang merasa di sisihkan dari rangkaian kegiatan desa. Warga ini ketahuan mendukung lawan politik sang bupati yang menang. Jalan menuju rumahnya sengaja dibeli lahannya, lalu dipagar. Kemudian rumah yang ada di samping krii dan kanan juga dibeli. Katanya orang kaya dari Jakarta. Setelah segala lahan yang menuju rumahnya, yang melingkari rumah warga itu terbeli dan ditutup akses jalannya, mau ke mana lagi dia kalau tak hengkang dari rumahnya.

Jalan satu-satunya ia pindah ke daerah lain, karena di rumah di mana ia dilahirkan dan besar sudah tak lagi nyaman bagi keluarganya. "Sungguh jahat mas politik itu!" katanya amat berat. Ingin sekali ia menangis dan histeri, tapi apakah itu akan mengubah nasibnya?

Ya, kataku membatin. Betapa banyak korban-korban dari politik. Ada yang diracun hingga tewas, disiram air keras sampai cacat seumur hidup, difitnah hingga malunya turun-temurun, diteror perselingkuhan membuat rumah tangga tak lagi harmonis. Dan banyak lagi. Boleh jadi sampai bunuh diri.

*

KETIMBANG jemu karena menunggu kedatangan Fanjir dan Ikbal, kupesan kopi tanpa gula. Ramuan ini kudapat dari kawanku yang mengidap asam lambung. Ternyata ampuh, sehari aku berani di atas 3 gelas, dan tak berpengaruh dengan lambungku.

Pelayan kafe datang menyorong pesananku: kopi + sebungkus rokok. Pikiranku tertuju pada puisi pendek itu. Aku menduga puisi itu sengaja dipesan oleh pemilik kafe kepada seorang penyair. Atau sebuah persembahan saat pembukaan bisnis kuliner ini.

Tidak banyak kafe memanfaatkan puisi para penyair. Setahuku pernah kulihat di sebuah kedai kopi di Tanjungpinang, di Pekan Baru, di Bandung, dan kota lainnya. Kabarnya di Kota Kita ini tak lama lagi ada kafe yang melakukan. Itu dilakukan untuk membangun dunia literasi dan kecintaan pada puisi.

Padahal. di Belanda, khususnya di Leiden, puisi menjadi berharga karena diletakkan di dinding rumah. Dibaca oleh masyarakat yang lalu lalang. Puisi Chairil, juga karya Ronggo, dan syair La Galigo dipajang di sana. Padahal di negeri sendiri, seniman kurang mendapat penghargaan dari pemerintah.

"Kalau di kota kita ini, hanya ada mural dunia di dalam laut," ucap Noval suatu hari di Komunitas Gedung Meneng (KGM).
Ya, aku membatin. Padahal petikan puisi jika dipilih ketat lalu dipajang di dinding flyover niscaya ada manfaatnya."Seperti puisi di dinding itu," kataku menunjuk puisi di depan kasir.

Seorang aktifis yang menengalku sebagai seniman dan kini duduk semeja denganku (maaf, aku tak mengenal namanya, tapi dari seragam pakaian uniform yang tertera di bajunya bahwa ia adalah aktifis. beberapa kesempatan pernah kulihat di unjuk rasa dan diskusi seperti ini) menanggapi, "saya setuju dengan abang, walau saya tak ngerti puisi!"

"Nah ini masalahnya!" sergahku. "Bagaimana kau setuju,, kalau tak mengerti?"

"Setidaknya bagus dan enak dipandang kalau ditarok di situ. Beda dari biasanya yang lukisan atau foto-foto," timpalnya.

"Seharusnya sebagai aktifis, sedikit saja menyukai puisi syukur kau mengerti, itu sudah bagus," kataku kemudian.

Kini ia hanya menatapku. "Soekarno saja suka dengan puisi, artinya dia mengerti. Buktinya salah satu puisi Chairi menyebut 'Jaga Bung Karno...' nah pasti itu puisi dibaca Soekarno. Para aktifis yang kemudian jadi politisi,yang kukenal, banyak suka dan mengerti puisi."

"Misalnya," lanjutku, "Yozi Rizal, Husen, Himawan Imron, Ade Utami, Mufti, Muchlas, Apriliati, Eva, Rahma, Ricky, dan lain-lain. Mereka dekat dengan seni. Nah, kau mestilah begitu sebelum kau terlambat."

Ia mengangguk.

"Baik bang..."

"Jangan pula hanya baik-baik, kau harus segera berubah!" pesanku dengan penekanan.

Ia kembali mengangguk. Kini bahkan berkali-kali. Belum kulanjutkan naishatku kepada aktifis muda itu, Fanjir dan Ikbal sudah datang dan mendekati mejaku. 

Tak lama Rena yang jalan dari belakangku sehingga tak kulihat kehadirannya, memegang bahuku. Aku menoleh ke dia dan menyilakan duduk. Rena mengambil kursi sebelah kananku, sebab kursi itu saja yang belum diduduki orang lain. Fanjir dan Ikbal sesaat melihat Rena. Mereka masih berdiri.

"Apa kabar rakyat!" kata pembuka yang jadi kebiasaan Fanjir setiap bertemu, dengan siapa pun. Layaknya ia ketua parpol atau kepala daerah.

"Siap!" jawabku.

"Bukan siap, Busye," kata Fanjir ingin meralat. "Tapi, Mantap, stabil!"

Aku tertawa. 

"Ulang lagi, bro. Asyik."

"Apa kabar rakyat?"

"Mantap! Stabil!" jawabku tegas.

"Lu kale yang mantap dan stabl. Gue mah begini aja, dari satu preseiden, gubernur, bupati, dan kembali ke penguasa yang baru, ya begini aja. Kagak berubah. Sama aja," sela Ikbal. 

"Siapa bilang tak  berubah?" pancingku.

"Akulah! Gue kan yang omong barusan," balas Ikbal lebih semangat. "Temanku pernah jadi tim pemenangan gubernur ampe jadi. Padahal kurang apa dia berkorban, tiga kali seminggu bawa dalang ke daerah-daerah. Setelah jadi, kawanku itu tak lagi merapat. Entah, mungkin tak lagi diperlukan atau dia yang sengaja menjauh."

"Salah aja dia. Kenapa gak ada kesepakatan dari awal," ujarku.

"Tolol aja. Harusnya ia merapat, minimal jadi apa...."

Lalu bersama tertawa. Sementara diskusi sudah berlangsung, tapi tidak menarik, menurut kami. Pembicaranya terlalu formal. Sangat hati-hati.

Rena juga menilai begitu saat berbisik denganku. Ia tak banyak suara, mungkin karena kedua temanku ini belum dikenal akrab. Ia lebih banyak mendengar dan ikut tertawa atau tersenyum jika percakapan dirasanya lucu dan aneh.

"Aku menduga ada yang bayar. Bos gula sudah turun gunung. Haha.. " kataku kemudian setelah menyimak jalannya diskusi.

"Sst. Kalimatmu bisa viral, bahaya kau!" potong Ikbal.

Kata "viral" memang sedang trending. Karena untuk mendulang banyak pembaca, media online seringkali memasang tagar (#) viral. Itu kuketahui dari bos media online beberapa bulan lalu.

"Lha apa kalian tak mengendus?" Aku memperkuat ucapanku barusan. "Dari diskusi ini saja sudah tercium aroma gulanya. Fenomena yang bukan lagi rahasia," kataku lagi.

"Isunya memang Bos Gula mau turun di pilkada kota dan kabupaten. Gula bakal bertaburan. Gula gila!" dukung Fanjir.

"Aku sudah mengamati cukup lama soal fenomena jelang pilkada. Selain turun gunungnya Bos Gula, mantan bupati mau turun lagi di distrik lain," ungkapku.

Ini menarik, batinku kemudian. Suatu saat aku akan masuk ke masing-masing calon itu. Akan kuamati perwaktu aktivitas mereka. Juga kolega-koleganya. Bahkan, kalau ada, selingkuhannya. 

"Coba kau buat sebuah tulisan hasil riset mendalam mereka, dari Bos Gula hingga para calon. Bagaimana kedekatan Bos Gula dengan salah satu kandidat, dan seterusnya. Bila perlu..."

"Misalnya ada berapa perempuan yang diselingkuh di antara para kandidat. Begitu?" ujarku cepat. Lalu tertawa. Mereka turut. Kami saling lihat bergantian. Sampai terhenti ke wajah Rena.

"Apa sih, kok aku yang diliatin? Jadi aku baper nih..." Rena terpancing juga dengan percakapan kami.

Sejak ia datang, ia belum terlibat aktif. Hanya senyum, tertawa, ekor matanya berganti-ganti fokus. Lalu ia melihat telepon genggamnya, mengambil makanan di meja. Juga menyeruput kopiku.

"Aku kira diskusinya menarik. Apalagi dihadiri komisioner KPU, eh rupanya hanya sosialisasi. Tema sih boleh. Tapi lebih menarik dengar obrolan kalian," ucap Rena setelah jeda beberapa menit.

Lalu kami mengobrol kosong, berganti-ganti tema. Misalnya soal pilkda di kota. Ada prediksi andai yang maju hanya 2 kandidat, yaitu istri walikota saat ini melawan mantan bupati di distrik lain, dipastikan bakal seru. Bos Gula akan benar-benar turun walaupun tak ada yang bisa diambil nantinya. Tetapi ini "perang" menjaga dan merebut marwah. Bagi Bos Gula hilang uang banyak pun tidak soal. 

Bagi mantan bupati yang maju di kota ini, juga soal marwah. Dia tak mau merebut mahkota itu lagi ketika dipencundangi di daerah. Kini harus ia ambil dan di kota lagi. Ia memiliki banyak peluang itu. Orang tua, penguasa tertinggi di daerah ini yang dipastikan mendukung dengan membawa Bos Gula turut kembali, dan lain sebagainya.

"Tinggal lagi ibu calon menjaga konstituennya yang banyak itu supaya tetap ajeg. Juga memilih wakil yang bukan saja punya massa, melainkan banyak duit untuk mengimbangi kandidat lawannya," timpal Rena.

"Setuju. Lalu, kalau ada, cari tahu sebanyak-banyaknya si lawan soal apa saja yang bisa melemahkan dia," dukung Fanjir.

"Soal perempuan, soal ketakberhasilan dia di tempat lama. Isu-isu minus untuk memperkuat kampanye hitam," tambah Ikbal.

"Ini menarik. Bisa kita diskusikan terbatas lagi. Aku akan coba masuk ke mereka. Siapa tahu bisa jadi roman yan panjang," ujar Rena tersenyum.

Aku ikut tersenyum. "Kamu mau bantu aku kan sebagai detektifnya? Haha.."

Kami tertawa.

Pustaka Kopi hampir tutup. Beberapa lampu sudah dipadamkan. Rena menuju kasir, membayar bill kami. Aku sejalan dengan Rena, Ikbal membawa motorku dan Fanjir pulang. Rena mengajakku ke Diggers. Sebab kafe itu belum tutup. Aku duduk di sebelah Rena yang menyetir mobilnya. Menikmati malam dari balik kaca mobil yang dipacunya.

"Kamu benar mau lakukan riset soal di balik para kandidat pilkada?" tiba-tiba Rena bertanya, saat aku tengah menikmati lagu-lagu yag diputar dan dinginnya penyejuk mobilnya.

Aku menoleh padanya.

"Kamu benar mau riset?" ia megulang.

"Andai berpeluang dan ada yang mendanai?"

"Kok ada yang medanai?" Rena bertanya.

"Memangnya ke mana-mana gak pake uang? Misalnya ke luar kota dan mau makan di perjalanan?"

"O, jangan kau pikir itu!" ucapan Rena itu tak kuduga.

"Maksudmu?"

"Ini mobilku. Pakai ini. Soal sekadar makan, cukuplah dari tabunganku, dan..."

"Jangan. Kamu kan perlu juga, Rena..."

"Ishh! Emang dana yang dibutuhkan selama riset bisa mengempeskan tabunganku..."

Ah. Aku hanya menarik napas lalu mengempaskan.

"Kenapa? Kau tak yakin?"

"Aku yakin, Rena. Sangat yakin," jawabku segera. "Kamu memang baik, sangat mensuportku selama ini..." lanjutku kemudian.

Dalam hatiku, aku bertanya-tanya apakah ia mensuportku karena kekagumannya padaku, seperti dia katakan saat pertama kali berjumpa? "Kamu pengarang yang kuidolakan. Aku menyukai semua puisi-puisimu, juga cerpenmu!" kata Rena waktu itu dengan wajah berseri. 

Tampak dari gesture-nya, ia berniat memeluk dan mencium pipiku. Tetapi posisiku sengaja mejauh.

Dan, benar! Saat pertemuan kedua kali di Digerrs, ia berani mencium pipiku. Juga menyentuh bibirku. Malam ini aku harus mendapat kejelasan soal dukungannya untuk risetku. Harus jelas. Apakah ia mencari peluang semata agar selalu bersamaku? Bagaimana kalau Dinda tahu?

Ah! Pikiranku makin menumpuk. Tetapi, keduanya bukan spesial dalam diriku. Cuma teman.

(Bersambung)


______________
Dari redaksi
Karena esok tangal 1 Januari 2020 dan hari libur nasional, Cerbung "Pengunjung-Pengunjung Kafe" tidak tayang. 






LIPSUS