Cari Berita

Breaking News

Menata Lapangan Kalpataru

INILAMPUNG
Minggu, 19 Januari 2020


Sudah hampir dua tahun belakangan, setiap ada waktu longgar pada sore hari, saya selalu memanfaatkan lapangan itu. Dikenal dengan nama, Kalpataru. 

Jauh sebelum ramai seperti sekarang dan jadi media pertarungan politik, saya dan banyak warga sudah menjadikannya sebagai arena olah raga yang gratis dan nyaman. 

Di lapangan itu, saya biasa mengawasi perkembangan dua lelaki kecil dalam olah kemampuan keliling lapangan. Dari netah, latihan berjalan kaki dimik-dimik, lari kecil dan sampai mampu berlari cepat. 

Setelah lari, menjelang maghrib, diakhiri dengan minum dugan di pojok lapangan. Sambil menulis ini.

Butuh Lintasan Sepeda

Sekarang, lapangan itu setiap sore selalu bertambah ramai. Apalagi pada hari libur. Sulit menjadi arena lari cepat karena mulai banyak yang menjadikan lintasan, sekadar berjalan santai bareng keluarga, anak kecil, atau memang yang berniat joging pakai jaket plastik. 

Bahkan, saat cuaca gerimis pun, masih ada beberapa orang yang memanfaatkannya sebagai arena, berlatih lari.

Di lapangan Kalpataru itu, terukir sehimpun kenangan yang saling memantik keindahan.

Meski jauh lebih baik tampilannya dibanding puluhan tahun lalu, lapangan itu masih butuh lintasan sepeda. Sebab, terkadang ada perbauran antara motor, sepeda, dan pejalan kaki.

Ruang Publik atau Stadion?

Pada hari-hari tertentu, sore di lapangan itu ada anak yang bermain sepak bola. Di pojok lapangan, ada juga serombongan anak berlatih silat, juga ada dua lapangan bola volly di samping sebelah timur. Di pinggir lapangan sebelah barat, sudah ada taman bermain anak, di seantero lapangan juga banyak gerobak penjual penganan, dan beragam aneka hiburan khas. Sesekali, hadir topeng monyet.

Jalan aspal yang mengelilingi lapangan, parit, pepohonan, jalan batako di pinggir lapangan, parit lagi, kursi-kursi dari semen. Jika dibangun stadion, lapangan Kalpataru itu mungkin sudah layak. Atau menggabungkan antara ruang publik, gelanggang olah raga dan stadion sepak bola? 

Soal transformasi, pergeseran dan pengubahan fungsi lapangan Kalpataru jadi ruang publik dan stadion memang butuh kajian khusus. Yang pasti, motivasinya tak boleh abai pada kepentingan warga.


Kita ketahui, pada momen tertentu, lapangan Kalpataru itu juga jadi acara untuk upacara atau panggung hiburan yang menghadirkan artis ibukota.

Beberapa orang tua di sekitar lapangan menjelaskan, nama Kalpataru itu berasal dari sejenis pohon yang tumbuh di tengah tanah lapang. Semacam pohon keinginan. Pohon yang menggambarkan cabang kehidupan karena penuh juntaian akar. Sebelum diubah jadi lapangan sepak bola dan adanya, anugerah Kalpatru yang diberikan oleh pemerintah untuk pahlawan lingkungan.

Pertarungan Politik

Menata ruang publik, pasti menciptakan sederet kepentingan dan keinginan yang menyertainya. Namun, apa pun keputusan yang kemudian diambil pemerintah untuk lapangan itu, warga pasti sekadar sebagai "penerima" takdir. Sesekali, beropini yang sifatnya objektif dan bias kepentingan. Termasuk tulisan ini.

Pada perdebatan memanfaatkan ruang publik yang ramai dikunjungi warga, memang sering menyeret politikus untuk ikut ambil bagian. Lapangan Kalpataru masuk di dalamnya. 

Kita ketahui, jelang Pilwakot Bandarlampung, sudah ada bakal calon yang mengungkapkannya. 
Yakni, keberadaan tempat pembuangan sampah di samping lapangan, penyebab bau busuk yang dirasa menganggu. Juga mulai rusaknya lintasan sekeliling lapangan, jadi sorotan tajam. Bakal calon itu, mengritik kurangnya perhatian pemerintah kota. 

Di sisi lain, ada juga bakal calon yang memanfaatkanya jadi ajang sosialisasi karena ramai warga. Spanduk dan gambarnya intensif, sukses mengepung sudut pandang.

Pada ranah politik ini, warga pasti apatis. Saya contohnya, masa bodoh siapa yang bakal menang dan jadi walikota. Yang penting, masih bisa punya lokasi lari yang gratis dan menutup dengan minum dugan sembari bercanda, saling lempar sedotan atau mengajari anak beragam cara mengikat sepatu. 

Perseteruan politik, memang memunculkan bisik-bisik di sela jalan sebelum atau setelah lari antar-warga. Mendukung A atau bakal calon B, atau yang C. Semua punya rasionalitas yang terkadang menyeret pada keberpihakan irasional. 

Sampai pada batas-batas tertentu, jika mengenang lapangan itu, kita kaget dengan kemajuan zaman. 

Sekira tahun 2006, ketika masih musim gempa, siapa warga yang berminat mukim di sekitar Kalpataru? Banyak tanah, dijual murah. Yang sudah tinggal, memilih pindah. 

Sekarang, 2020. Hanya butuh 16 tahun untuk berubah. 


Berjalan dan masuklah ke arah Pinang Jaya atau ke jalur lurus sampai Taman Kupu-kupu. Ada puluhan perusahaan pengembang, mungkin sudah ada ribuan rumah baru yang dibangun, berdiri kokoh dari yang super elit, model villa berpagar tinggi, sampai yang bersistem cluster dan atau yang berhimpit khas rumah bersubsidi. 

Jalan-jalan juga sudah padat lalu lalang kendaraan. Jalur dua Beringin Raya yang dulu sepi, kini menjadi semacam jalan protokol yang macet dan penuh pedagang. Sudah ada warlaba besar dan restoran khas Amerika. Sudah ada bank capem dan aneka warung berjejaring trans-nasional. Sudah ada juga warung kopi asli yang menjadi penanda, banyak adegan sosialita dan kegemaran nongkrong di sekitarnya.

Lapangan Kalpatru juga, sudah sirna angkernya. Sebab, sampai dinihari masih banyak aktifitas. 

Lapangan Angker

Ada pengetahuan umum, jika lapangan yang berada di depan kantor kecamatan dan subsektor kantor polisi itu, angker. Banyak hantu dan beragam memedi yang ke luar malam hari. Setelah isya, pasti tidak ada warga melintas. Sudah gelap dan sunyi. Namun itu terjadi di bawah tahun 2010. Sepuluh tahun lalu.

Sekarang, angkernya menjadi kemeriahan. 

Memang benar, lapangan dan pasar akan kehilangan substansinya sebagai wadah terbangunnya keakraban antar-warga. Namun di lapangan tetap tertinggal yang kekal, abadi, yaitu adanya kenangan. Nostalgia. Indahnya masa lalu; Bahwa di lapangan itu, kita dulu berlari pulang sekolah mencangklong sepatu, atau kuyub melawan hujan bersedekap menyelamatkan buku agar tidak basah.

Mungkin semua itu nanti juga akan jadi kenangan indah. Apalagi jika jadi stadion yang membuat pembangunan dan ambil bagiannya pemerintah, sekadar meminggirkan warga yang tak mampu membayar salar atau tidak punya koneksi untuk tetap berjualan. Enggan masuk lapangan karena mesti membayar. Malas yang berbahaya juga, anak-anak tidak berolah raga karena tak ada ruang.

Menariknya, seperti prihal kita butuh lintasan sepeda di sekeliling lapangan Kalpataru. Semua mungkin sebatas angan-angan kosong, harapan warga yang utopis. Sebab, bakal berat terwujud karena sulit bagi calon walikota mempunyai visi kerakyatan di dalam mewujudkan ruang publik. 

Bayangkan, semakin banyaknya warga yang menghabiskan sore hari di lapangan saja, sampai sekarang tak ada pengaturan parkir. Dimana sepeda motor, dimana bisa parkir mobil? Semua memakai naluri "kekuasaan". Ada yang merasa cuek menaikkan sepeda motornya ke lintasan lapangan untuk warga yang berjalan kaki, ada yang memarkir di rumput lapangan, di bawah pohon atau di pinggir jalan yang menyulitkan persimpangan mobil dengan tanpa rute ke mana arah ke luar dan yang mana arah masuknya. 

Kebebasan ini jika tidak segera dibuat aturan, akan menjadi tumpukkan masalah pada kemudian hari. Percayalah. Siapa menyangka ada macet dan klakson-klakson nyalang kendaraan di sepanjang jalan Cik Ditiro itu pada 16 tahun lalu. Yang sekarang, hampir ada pada setiap waktu. Apalagi sore hari dan Minggu pagi, waktu ramainya Pasar Tani. Macet parah.

Lapangan Kalpataru butuh Walikota yang visioner namun tak meninggalkan keberpihakan pada warga kelas bawah. 

Maksud saya jelas. Kalau yang tinggal di sekitar Kalpataru, bukan orang-orang kaya. Meski ramai, tak bisa dibuat sistem model Pahoman atau Villa Citra. Kalaupun ada parkir dan salar, jangan yang membebani warga. Pemerintah mestinya hadir menata pembangunan agar tetap bernilai ada dengan tanpa meniadakan kandungan nilai-nilai luhurnya. 

Sebenarnya, pemerintah itu ada sebagai "penjajah yang menindas" atau "hadir sebagai pengayom" rakyat? Jawabnya, pasti ada di pembangunan ruang publiknya.

Saya percaya kalau ada bakal calon yang jadi walikota, mampu menata lapangan Kalpataru menjadi lebih baik. Siapa pun dan entah, kapan pun. (*)

*)Endri Y. 


Penulis Aktif di Komunitas Tendean Tujuh

Pegiat di Komunitas Gedong Meneng



LIPSUS