Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (11)

Jumat, 03 Januari 2020






AZAN magrib sudah lama berlalu. Sesaat lagi memasuki salat isya. Aku masih di kamar. Malas keluar. Apalagi ke kafe untuk menemui Suryadi. Aku ajak Dinda kalau dia mau. Atau Rena, perempuan beristri bule yang pelaut itu? 

"Siapa saja. Keduanya asyik diajak ngobrol, dan tak macam-macam," pikirku.

Namun sampai saat ini aku begitu malas keluar rumah. Lagipula masih ada kerjaan yang belum selesai. Rencananya malam ini aku harus menulis di atas 10 halaman. Bagian 8 dari cerita bersambungku harus kuselesaikan paling lambat subuh esok. Lalu kukirim email ke redaksi, esoknya terbit.

Sejak mendapat tantangan kawanku yang jabat pemimpin redaksi koran hariam Inikotaku untuk menulis cerbung, aku bersemangat. Bukan soal honor yang dijanjikan. Tetapi Suryadi siap mendanai cetak jika jadi novel. Ia juga akan membantu dana kalau rampung.

"Sekadar ganti modalmu dari kafe ke kafe. Ya pasti kau tak rugilah...." ujar Sur saat kami bertemu di Kedai Kopi Teman Untung, sebulan lalu.

Malam ini ia mengajak bertemu di Pustaka Kopi BK Permai, pukul 2.30. Kedai itu buka hingga pulul 03.00. Jadi bisa leluasa kalau jumpanya di sana. Tidak khawatir diburu kedainya tutup.

Rena dan Dinda belum kukontak. Andai jadi akan kupilih salah satu, atau kedua-duanya. Akan kukenalkan mereka dengan Suryadi. Begitu pula, bukankah Rena dan Dinda perlu juga berkenalan? Mereka harus tahu keberadaanku, agar tak timbul curiga atau macam-macam.

Persahabatan, kata tetua, bisa berantakan hanya karena tidak jujur, karena sudah memiliki uang, dan perempuan! Mesti kuhindari sedapat mungkin. Demi langgeng perkawanan. Di mana pun.

*

PEMBACA, untuk mengingatkan, Suryadi adalah temanku semasa kuliah. Selesai ngampus, aku bekerja di media massa sebagai wartawan. Sementara Sur -- aku biasa memanggilnya -- memilih jadi pengusaha: kopi, kopra, dan lain-lain. Juga pemborong dari berbagai proyek. Kami mengenalnya lebih sebagai pemborong ketimbang pengusaha kopi dan kopra. Padahal, dengan bisnis kopra telah mengantarnya keliling negara. 

Suryadi sudah pernah menikah. Ayu, istrinya, kekasihnya saat kuliah. Tetapi perempuan yang dicintainya itu ternyata  selingkuh dengan mantan pacarnya di waktu SMA. Sur amat terpukul. Sejak itu ia amat membenci perempuan untuk dijadikan istri. Ia lama menduda.

Suatu kesempatan kami bertemu di stasiun kereta api. Berkali-kali memanggilku lalu kami bersama-sama ke kafe. Makam malam. Dia memberiku tugas menulis novel tentang kehidupan di sejumlah kafe di kotaku. Ia berjanji akan menanggung biaya cetaknya setelah jadi. 

Katanya, kafe undercover. Kusanggupi. Apalagi ia sudah memberiku uang Rp5 juta saat mau berpisah. Di Kedai Pustaka kami ingin bertemu kedua kali.

*

JAM menunjuk angka 20.50. Aku masih di meja kerjaku. Musim kemarau membuat kamarku terasa di dalan neraka. Panas! Peluh berhamburan di seluruh badanku. 

Sambil mengetik aku juga sesekali membalas pesan masuk di WA-ku. Ada pesan datang dari Agusri, Alfa, Iful, Lukman, juga Jafar. Macam-macam isinya sesuai keperluan. Itu dari kawan lelaki, sedangkan wanita. Selain Dinda yang tak pernah absen, juga Rena, dan Tika. Hanya se-hello dan bertanya ke kafe mana malam ini?

Tak satu pun kubalas! Entah mengapa aku lagi malas mengobrol di HP. Aku juga malas keluar. Sur tak juga menghubungiku. Jadikah pertemuan malam ini? Di Pustaka Kopi BK Permai?

Gelisah. Gerah. Pindah dari kursi ke tempat tidur. Teve kuhidupkan lalu kumatikan lagi. Hanya program hiburan. Televisi sekarang hanya memuaskan kekuasaan.  Berita-betita asal bapak senang. 

Nah! Ini dia, soal bocornya dana Jiwasraya! Ketahuan kini diminta mundur ke pemerintahan masa lalu. Aneh. Kalau cara pandang begitu, bisa-bisa muaranya di Orde Baru. Bahkan jika gagal beri alibi, sematkan ke Soekarno.

Ampun! Aku menggumam.

Berleha-leha di tempat tidur tak membuatku bisa santai. Pikiranku lari dan berlompat-lompat. Aku sulit mengendalikan. Duduk di depan laptop yang masih menyala. Kunyalakan rokokku. Siapa tahu dapat inspirasi meneruskan cerita yang tersendat.

Aku tergoda oleh kawanku. Sebuah cerita kurang menarik tanpa konflik. Di rumah tangga saja pasti ada konflik. Sehabis menyelesaikan konflik, biasanya bercintanya akan makin asyik dan lebih berasa!

Meski kurang setuju pada pendapat kawanku itu, aku akan coba juga. Kubuat dulu rekaan bagaimana mulai terjadinya konflik, lalu berkonflik, dan klimaks! Ah! Rasanya teori di saat kelas 5 SD saja.

Telepon genggamku berdering. Keras sekali. 

"Halo!" suara dari seberang.

"Ya, halo juga..." jawabku datar.

"Kenapa WA-mu gak dibuka. Sudah 20 menit lalu, cepat buka. Penting!" lagi suara itu.

"Lha ini kan HPku.  Kapan kusuka buka, ya kubuka. Aku lagi malas...."

"Hmm..  alasanmu klise banget!"

"Maksudmu apa sih, Dinda? Tiba-tiba nyuruh aku buka WA lalu marah-marah....."

"O gitu! Gak enak banget sih caramu sekarang!" balas suara dari seberang sana. 

Tetapi aku buka juga WA-ku. Wow, ada 12 pesan pendeknya.

Dinda: 
Hai...
Hai...
Ke mana sih kamu? Tidur? Atau kamu lagi malas ngobrol denganku
Nah.... ini orang bener-bener buatku kesel
Busye!
Jadi gak ketemu kawanmu di Pustaka Kopi. 
Jawab dong!
Ih bikin kesel! Kudatangi rumahmu nanti, baru tahu!
....
Aku: 
Hai... aku malas keluar. Sedang tak enak badan. 
Mungkin mau meriang.
Istirahat

Setelah itu kututup pitur data internet. Tak lama kemudian, telepon genggamku berdering keras. Dinda meneleponku.

"Halo..."

"Ya."

"Ngeselin banget kamu sih!"

"Lha kenapa? Aku biasa-biasa aja."

"Gak biasanya! Kamu gak semangat pas aki telepon. Kamu tak jawab aku WA."

"Suasana hati orang itu tak harus sama. Seperti kamu, kadang marah, sensi, merajuk, manja, dan...."

"Sudah. Sudah."

Kau diam sesaat.

"Sekarang keluar. Aku di Taman Untung," kata Dinda lagi.

"Aduh. Malas keluar nih. Badanku kurang sehat," kataku beralasan.

"Alasannya kok klise banget sih kamu! Kurang....."

"Kurang punya perasaan....."

"Ya!"

"Please. Sekarang ke Taman Untung. Penting sekali. Kutunggu 20 menit."

"Terbang apa aku?"

"Ya sudah. 30 menit. Ya."

Tak kusahut lagi. Segera kuhidupkan motor, kusambar jaket. Menderu di jalan beraspal. Malam di musim kemarau, langit benderang.

Sampai di parkiran kubutuhkan 32 menit. Dari jauh sudah terlihat Dinda di gazebo paling ujung kiri. Tetapi, siapa pria bersamanya? 

Dadaku berguncang kuat. Mataku menyapu seluruh pengunjung kafe. Tak ada yang kukenal, juga tiada mengenalku. Bebas.

"Hai."

"Malam," jawabku pada Dinda.

"Busye, ini kawan baruku. Kami berkenalan di MBK dua malam lalu. Eh tak tahunya ketemu lagi di sini. Dunia ini kecil ternyata.

"Ok."

Kusalami kawan Dinda.

"Busye..." aku memperkenalkan namaku.

"Ade..." jawabnya.

Dinda menimpali.

"Mas Ade, ini Busye yang baru kuceritakan tadi. Dia penulis, sastrawan, mantan wartawan. Tapi belum mantanku, karena kami masih berpacaran...." ujar Dinda.

Dadaku bergetar keras. 

"Kamu lupa, ini malam kan hari jadi kita pacaran. Tak terasa ya sudah 3 tahun. Di meja ini pula...." lanjut Dinda.

Sandiwara apa lagi yang akan dimainkan Dinda nanti? Aku hanya menunggu.

"Ayo ay, pesan apa? Mas Ade juga, apa yang dipesan. Sama-sama merayakan hari jadian kami. Aku yang traktir karena aku kan yang punya ide."

Aku makin tak bisa berkata apa-apa. Diam. Dalam hati aku gondok. Merasa ditipu. Kukira benar-benar penting. Ada masalah. Atau...

"Kami berencana menikah selepas Idul Adha. Di rumahku. Di Bandung. Papa yang berkeras supaya pernikahanku di rumah dan papa yang menikahkan. Datang ya...." Dinda kembali melancarkan kebohongannya.

Sialnya, aku tak bisa membantah!

*

CUKUP lama suasana hening kami rasakan. Makanan yang tadi hangat kini terasa dingin sekali. Di langit, meski kelam, bintang bertabur.

"Gila kamu, Dinda!" kataku setelah Ade pamit. "Tak lucu tahu!"

"Hihihi...."

Lama sekali ia tertawa.

"Gak lucu. Gak lucu."

"Ih  tapi kau suka kan? Untung tak kukatakan dia kekasihku. Kau pasti pingsan," lanjut Dinda.

Aku diam.

"Aku sebel dengan kamu. Di WA tak dijawab. Ya kubuat skenario saja. Tadinya aku mau ajak kamu ke sini. Karena tak dibalas aku sendiri saja. Eh, dia datang. Aku tak tertarik padanya, kupaksa kau ke sini. Pura-pura kekasihku, pura-pura merayakan 3 tahun jadian. Hehehe... Senangnya aku, ternyata berhasil. Haha."

"Kalau tak, malu kita!" potongku. "Bagaimana kalau benar kita jadian, biasanya dari candaan jadi beneran," usikku.

"Siapa sudi..." Dinda cemberut. Bibirnya dimonyongkan.

Suka aku.

*

SUR datang. Mobil teranonya aku hapal, parkir di depan. Tak lama ia keluar disusul seorang perempuan. Pakaian putih, kaus, celana jins, rambut dipirangkan. Sepadan tingginya dengan Sur. Mereka mengambil tempat di depan kios kopi.

Aku menemuinya bersama Dinda. Keduanya kukenalkan. Saling sebut nama.

"Hei bro, janjinya mau ketemuan di Pustaka Kopi..." kataku sambil memegang bahu Sur.

"Aku lupa malah. Ini juga tak sengaja, Dora menelepon ajak jalan-jalan. Ya kubawa ke sini. Tapi aku sudah WA kan, apa yang kusarankan dalam novelmu nanti."

Aku mengangguk.

"O ya Sur, ini temanku yang memberiku job menulis novel itu," kataku kemudian.

Sur mengangguk. Dinda tersenyum.

"Jadi kan?" Dinda bertanya pada Sur.

"Jadilah. Supaya Busye semangat menulis," jawab Suryadi.

Aku diam saja.

"Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Setelah itu kita kerja sama ya..." ujar Dinda.

"Oke! Kerja sama soal apa dulu?" Sur balik bertanya.

"Ke penghulu..." sergap Dinda lalu tertawa panjang.

Aku diam. Dadaku bagaikan kena gempa besar. Dora hanya tersenyum. Sepertinya ia sudah membaca tabiat Dinda. Bercanda. Gurau. Penuh humoris.

"Ah, tak berani aku. Bakal terjadi pertumpahan darah...." jawab Sur.

"Lho? Memangnya bakal begitu? Siapa takut. Yang penting, kita bahagia, biarlah yang darahnya tumpah," timpal Dinda.

"Bahaya! Tak akan lagi ada kisah. Pengarang  sudah mati."

Aku mati kutu. Diam-diam aku mengkhawatirkan kehilangan Dinda. 

Percakapan kami semakin seru lantaran berpindah-pindah tema. Dari soal yang ringan, sampai ke hal yang berat. Dari soal percintaan, bisnis, hingga ke masalah politik masa kini. Sur, walau hanya pebisnis lokal, namun ia banyak terlibat dengan pebisnis nasional. Ia juga salah satu pengurus inti di organisasi para pebisnis dan kontruksi. Sur juga, kabarnya, memimoin organisasi para innstalatir listrik di daerah ini. Selain itu, ini rahasia, ia tink tank untuk calon walikota/wakil walikota yang mau maju tahun ini.

Jadi, kukira tepat pada tempatnya, jika aku menyanggupi kerja sama dengannya. Untuk pertama ini, aku diberi proyek membuat sebuah novel tentang dunia kafe.  (Catatan: Sur menghendaki novelku ini tetap nyastra, harus ada nilai sastra bukan novel picisan. Terpenting lagi, banyak dibaca orang meski tak harus booming). Karena ia meyakini bahwa kafe sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, terutama lagi warga kota.

Sur, sewaktu pertemuan kedua  kali di Pustaka Kopi tiga bulan lalu, menjelaskan kenapa ia tertarik membiayai penerbitan novelku soal kafe.  Katanya sejak beberapa tahun terakhi, dirinya sangat dekat dengan kafe. Dari kafe ke kafe, begitu ia menekankan. Hampir tiap malam, tentunya. Terutama di luar ia bekerja dan kelelahan karena bekerja. Bahkan, terkadang untuk refreshing bersama kawan-kawan, biarpun sedang lelah. Di kafe hanya mengobrol. Setelah itu segar lagi.

“Kafe ini ternyata bisa mengendorkan saraf otak. Kau jenuh datanglah ke kafe, pulang segar lagi. Ini sudah kubuktikan,” kata Sur.

Ia lupa di hadapannya ini, aku, adalah termasuk penyuka kafe. Maka beberapa kali peluncuran buku sastraku dilaksanakan di kafe. Beberapa kafe yang kuajak bekerja sama, selain Digger, ialah Moka Kafe, Pustaka Kopi, Taman Untung, dan lainnya.

“Di kafe juga mampu menyulap apa saja yang kita maui. Bisa jadi pertemuan untuk berisnis, bisa mendatangkan idea tau gagasan buat sesuatu lainnya. Eh, jangan lupa, di kafe juga kerap dijadikan pertemuan sementara untuk pertemuan lebih intim lho….” lanjut Sur.

Sur juga bercerita bagaimana ia pernah melihat ada seorang ibu muda, karena tak tahan pertengkaran terus menerus di rumah mencari “aman” di sini. Dan, ia benar-benar mendapat aman, karena berkenalan dengan lelaki yang pantas dipanggil Om olehnya. “Jangan gak percaya, di sini juga,” Sur berbisik, “kau amati cewek-cewek yang kayaknya ABG itu, kelihatannya status sekolahan atau mahasiswi. Padahal, mereka itu sedang menunggu jemputan. Janjian di sini, kadang di kafe lain. Tergantung di mana dianggap dekat. Dan, tentu saja di sini juga bisa menyatukan jodoh…”

Dinda menoleh padaku. Aku kasih ia senyuman.

Ya! Pertama kali pertemuan aku dengan Dinda di kafe, di bilangan Jakarta Selatan. Ia datang bersama temannya, perempuan juga. Bagi kaum Hawa biasanya masuk kafe menenteng tas kecil atau sebungkus rokok dan korek api di tangan. Tetapi, Dinda justru memegang dua buku sastra: kumpulan cerpen dan puisi. Dia duduk di sebelahku, meja yang lain. Waktu itu kami hanya setatapan. Malam berikutnya, ia memulai percakapan. Dinda bertanya, apakah aku bernama Busye. Soalnya ia pernah melihat wajahku di salah satu buku kumpulan cerpen yang diterbitkan penerbit Jakarta. Aku mengangguk, dan kukatakan padanya berterima kasih telah membeli bukuku. Itu pertanda, ia sudah mengangkat derajat dan strata sosial penulis. Ia terbahak-bahak. Ya, Dinda memang mudah bergaul, ramah, dan humoris. Itulah yang kuketahui.

Soal cantik, tak ada yang membantah. Kecuali Anda punya masalah pada mata!

(Bersambung)







LIPSUS