AZAN magrib sudah lama berlalu. Sesaat lagi
memasuki salat isya. Aku masih di kamar. Malas keluar. Apalagi ke kafe untuk
menemui Suryadi. Aku ajak Dinda kalau dia mau. Atau Rena, perempuan beristri
bule yang pelaut itu?
"Siapa
saja. Keduanya asyik diajak ngobrol, dan tak macam-macam," pikirku.
Namun
sampai saat ini aku begitu malas keluar rumah. Lagipula masih ada kerjaan yang
belum selesai. Rencananya malam ini aku harus menulis di atas 10 halaman.
Bagian 8 dari cerita bersambungku harus kuselesaikan paling lambat subuh esok.
Lalu kukirim email ke redaksi, esoknya terbit.
Sejak
mendapat tantangan kawanku yang jabat pemimpin redaksi koran hariam Inikotaku
untuk menulis cerbung, aku bersemangat. Bukan soal honor yang dijanjikan.
Tetapi Suryadi siap mendanai cetak jika jadi novel. Ia juga akan membantu dana
kalau rampung.
"Sekadar
ganti modalmu dari kafe ke kafe. Ya pasti kau tak rugilah...." ujar Sur
saat kami bertemu di Kedai Kopi Teman Untung, sebulan lalu.
Malam
ini ia mengajak bertemu di Pustaka Kopi BK Permai, pukul 2.30. Kedai itu buka
hingga pulul 03.00. Jadi bisa leluasa kalau jumpanya di sana. Tidak khawatir
diburu kedainya tutup.
Rena
dan Dinda belum kukontak. Andai jadi akan kupilih salah satu, atau
kedua-duanya. Akan kukenalkan mereka dengan Suryadi. Begitu pula, bukankah Rena
dan Dinda perlu juga berkenalan? Mereka harus tahu keberadaanku, agar tak
timbul curiga atau macam-macam.
Persahabatan,
kata tetua, bisa berantakan hanya karena tidak jujur, karena sudah memiliki
uang, dan perempuan! Mesti kuhindari sedapat mungkin. Demi langgeng perkawanan.
Di mana pun.
*
PEMBACA, untuk mengingatkan,
Suryadi adalah temanku semasa kuliah. Selesai ngampus, aku bekerja di media
massa sebagai wartawan. Sementara Sur -- aku biasa memanggilnya -- memilih jadi
pengusaha: kopi, kopra, dan lain-lain. Juga pemborong dari berbagai proyek.
Kami mengenalnya lebih sebagai pemborong ketimbang pengusaha kopi dan kopra.
Padahal, dengan bisnis kopra telah mengantarnya keliling negara.
Suryadi
sudah pernah menikah. Ayu, istrinya, kekasihnya saat kuliah. Tetapi perempuan
yang dicintainya itu ternyata selingkuh dengan mantan pacarnya di waktu
SMA. Sur amat terpukul. Sejak itu ia amat membenci perempuan untuk dijadikan
istri. Ia lama menduda.
Suatu
kesempatan kami bertemu di stasiun kereta api. Berkali-kali memanggilku lalu
kami bersama-sama ke kafe. Makam malam. Dia memberiku tugas menulis novel
tentang kehidupan di sejumlah kafe di kotaku. Ia berjanji akan menanggung biaya
cetaknya setelah jadi.
Katanya,
kafe undercover. Kusanggupi. Apalagi ia sudah memberiku uang Rp5 juta saat mau
berpisah. Di Kedai Pustaka kami ingin bertemu kedua kali.
*
JAM menunjuk angka 20.50. Aku masih di meja
kerjaku. Musim kemarau membuat kamarku terasa di dalan neraka. Panas! Peluh
berhamburan di seluruh badanku.
Sambil
mengetik aku juga sesekali membalas pesan masuk di WA-ku. Ada pesan datang dari
Agusri, Alfa, Iful, Lukman, juga Jafar. Macam-macam isinya sesuai keperluan.
Itu dari kawan lelaki, sedangkan wanita. Selain Dinda yang tak pernah absen,
juga Rena, dan Tika. Hanya se-hello dan bertanya ke kafe mana malam ini?
Tak
satu pun kubalas! Entah mengapa aku lagi malas mengobrol di HP. Aku juga malas
keluar. Sur tak juga menghubungiku. Jadikah pertemuan malam ini? Di Pustaka
Kopi BK Permai?
Gelisah.
Gerah. Pindah dari kursi ke tempat tidur. Teve kuhidupkan lalu kumatikan lagi.
Hanya program hiburan. Televisi sekarang hanya memuaskan kekuasaan.
Berita-betita asal bapak senang.
Nah!
Ini dia, soal bocornya dana Jiwasraya! Ketahuan kini diminta mundur ke
pemerintahan masa lalu. Aneh. Kalau cara pandang begitu, bisa-bisa muaranya di
Orde Baru. Bahkan jika gagal beri alibi, sematkan ke Soekarno.
Ampun!
Aku menggumam.
Berleha-leha
di tempat tidur tak membuatku bisa santai. Pikiranku lari dan berlompat-lompat.
Aku sulit mengendalikan. Duduk di depan laptop yang masih menyala. Kunyalakan
rokokku. Siapa tahu dapat inspirasi meneruskan cerita yang tersendat.
Aku
tergoda oleh kawanku. Sebuah cerita kurang menarik tanpa konflik. Di rumah
tangga saja pasti ada konflik. Sehabis menyelesaikan konflik, biasanya bercintanya
akan makin asyik dan lebih berasa!
Meski
kurang setuju pada pendapat kawanku itu, aku akan coba juga. Kubuat dulu rekaan
bagaimana mulai terjadinya konflik, lalu berkonflik, dan klimaks! Ah! Rasanya
teori di saat kelas 5 SD saja.
Telepon
genggamku berdering. Keras sekali.
"Halo!"
suara dari seberang.
"Ya,
halo juga..." jawabku datar.
"Kenapa
WA-mu gak dibuka. Sudah 20 menit lalu, cepat buka. Penting!" lagi suara
itu.
"Lha
ini kan HPku. Kapan kusuka buka, ya kubuka. Aku lagi malas...."
"Hmm..
alasanmu klise banget!"
"Maksudmu
apa sih, Dinda? Tiba-tiba nyuruh aku buka WA lalu marah-marah....."
"O
gitu! Gak enak banget sih caramu sekarang!" balas suara dari seberang
sana.
Tetapi
aku buka juga WA-ku. Wow, ada 12 pesan pendeknya.
Dinda:
Hai...
Hai...
Ke mana sih kamu? Tidur? Atau kamu lagi
malas ngobrol denganku
Nah.... ini orang bener-bener buatku
kesel
Busye!
Jadi gak ketemu kawanmu di Pustaka
Kopi.
Jawab dong!
Ih bikin kesel! Kudatangi rumahmu
nanti, baru tahu!
....
Aku:
Hai... aku malas keluar. Sedang tak
enak badan.
Mungkin mau meriang.
Istirahat
Setelah
itu kututup pitur data internet. Tak lama kemudian, telepon genggamku berdering
keras. Dinda meneleponku.
"Halo..."
"Ya."
"Ngeselin
banget kamu sih!"
"Lha
kenapa? Aku biasa-biasa aja."
"Gak
biasanya! Kamu gak semangat pas aki telepon. Kamu tak jawab aku WA."
"Suasana
hati orang itu tak harus sama. Seperti kamu, kadang marah, sensi, merajuk,
manja, dan...."
"Sudah.
Sudah."
Kau
diam sesaat.
"Sekarang
keluar. Aku di Taman Untung," kata Dinda lagi.
"Aduh.
Malas keluar nih. Badanku kurang sehat," kataku beralasan.
"Alasannya
kok klise banget sih kamu! Kurang....."
"Kurang
punya perasaan....."
"Ya!"
"Please.
Sekarang ke Taman Untung. Penting sekali. Kutunggu 20 menit."
"Terbang
apa aku?"
"Ya
sudah. 30 menit. Ya."
Tak
kusahut lagi. Segera kuhidupkan motor, kusambar jaket. Menderu di jalan
beraspal. Malam di musim kemarau, langit benderang.
Sampai
di parkiran kubutuhkan 32 menit. Dari jauh sudah terlihat Dinda di gazebo
paling ujung kiri. Tetapi, siapa pria bersamanya?
Dadaku
berguncang kuat. Mataku menyapu seluruh pengunjung kafe. Tak ada yang kukenal,
juga tiada mengenalku. Bebas.
"Hai."
"Malam,"
jawabku pada Dinda.
"Busye,
ini kawan baruku. Kami berkenalan di MBK dua malam lalu. Eh tak tahunya ketemu
lagi di sini. Dunia ini kecil ternyata.
"Ok."
Kusalami
kawan Dinda.
"Busye..."
aku memperkenalkan namaku.
"Ade..."
jawabnya.
Dinda
menimpali.
"Mas
Ade, ini Busye yang baru kuceritakan tadi. Dia penulis, sastrawan, mantan
wartawan. Tapi belum mantanku, karena kami masih berpacaran...." ujar
Dinda.
Dadaku
bergetar keras.
"Kamu
lupa, ini malam kan hari jadi kita pacaran. Tak terasa ya sudah 3 tahun. Di
meja ini pula...." lanjut Dinda.
Sandiwara
apa lagi yang akan dimainkan Dinda nanti? Aku hanya menunggu.
"Ayo
ay, pesan apa? Mas Ade juga, apa yang dipesan. Sama-sama merayakan hari jadian
kami. Aku yang traktir karena aku kan yang punya ide."
Aku
makin tak bisa berkata apa-apa. Diam. Dalam hati aku gondok. Merasa ditipu.
Kukira benar-benar penting. Ada masalah. Atau...
"Kami
berencana menikah selepas Idul Adha. Di rumahku. Di Bandung. Papa yang berkeras
supaya pernikahanku di rumah dan papa yang menikahkan. Datang ya...."
Dinda kembali melancarkan kebohongannya.
Sialnya,
aku tak bisa membantah!
*
CUKUP lama suasana hening
kami rasakan. Makanan yang tadi hangat kini terasa dingin sekali. Di langit,
meski kelam, bintang bertabur.
"Gila
kamu, Dinda!" kataku setelah Ade pamit. "Tak lucu tahu!"
"Hihihi...."
Lama
sekali ia tertawa.
"Gak
lucu. Gak lucu."
"Ih
tapi kau suka kan? Untung tak kukatakan dia kekasihku. Kau pasti pingsan,"
lanjut Dinda.
Aku
diam.
"Aku
sebel dengan kamu. Di WA tak dijawab. Ya kubuat skenario saja. Tadinya aku mau
ajak kamu ke sini. Karena tak dibalas aku sendiri saja. Eh, dia datang. Aku tak
tertarik padanya, kupaksa kau ke sini. Pura-pura kekasihku, pura-pura merayakan
3 tahun jadian. Hehehe... Senangnya aku, ternyata berhasil. Haha."
"Kalau
tak, malu kita!" potongku. "Bagaimana kalau benar kita jadian,
biasanya dari candaan jadi beneran," usikku.
"Siapa
sudi..." Dinda cemberut. Bibirnya dimonyongkan.
Suka
aku.
*
SUR datang. Mobil teranonya aku hapal,
parkir di depan. Tak lama ia keluar disusul seorang perempuan. Pakaian putih,
kaus, celana jins, rambut dipirangkan. Sepadan tingginya dengan Sur. Mereka
mengambil tempat di depan kios kopi.
Aku
menemuinya bersama Dinda. Keduanya kukenalkan. Saling sebut nama.
"Hei
bro, janjinya mau ketemuan di Pustaka Kopi..." kataku sambil memegang bahu
Sur.
"Aku
lupa malah. Ini juga tak sengaja, Dora menelepon ajak jalan-jalan. Ya kubawa ke
sini. Tapi aku sudah WA kan, apa yang kusarankan dalam novelmu nanti."
Aku
mengangguk.
"O
ya Sur, ini temanku yang memberiku job menulis novel itu," kataku
kemudian.
Sur
mengangguk. Dinda tersenyum.
"Jadi
kan?" Dinda bertanya pada Sur.
"Jadilah.
Supaya Busye semangat menulis," jawab Suryadi.
Aku
diam saja.
"Syukurlah.
Aku senang mendengarnya. Setelah itu kita kerja sama ya..." ujar Dinda.
"Oke!
Kerja sama soal apa dulu?" Sur balik bertanya.
"Ke
penghulu..." sergap Dinda lalu tertawa panjang.
Aku
diam. Dadaku bagaikan kena gempa besar. Dora hanya tersenyum. Sepertinya ia
sudah membaca tabiat Dinda. Bercanda. Gurau. Penuh humoris.
"Ah,
tak berani aku. Bakal terjadi pertumpahan darah...." jawab Sur.
"Lho?
Memangnya bakal begitu? Siapa takut. Yang penting, kita bahagia, biarlah yang
darahnya tumpah," timpal Dinda.
"Bahaya!
Tak akan lagi ada kisah. Pengarang sudah
mati."
Aku
mati kutu. Diam-diam aku mengkhawatirkan kehilangan Dinda.
Percakapan
kami semakin seru lantaran berpindah-pindah tema. Dari soal yang ringan, sampai
ke hal yang berat. Dari soal percintaan, bisnis, hingga ke masalah politik masa
kini. Sur, walau hanya pebisnis lokal, namun ia banyak terlibat dengan pebisnis
nasional. Ia juga salah satu pengurus inti di organisasi para pebisnis dan
kontruksi. Sur juga, kabarnya, memimoin organisasi para innstalatir listrik di
daerah ini. Selain itu, ini rahasia, ia tink
tank untuk calon walikota/wakil walikota yang mau maju tahun ini.
Jadi,
kukira tepat pada tempatnya, jika aku menyanggupi kerja sama dengannya. Untuk
pertama ini, aku diberi proyek membuat sebuah novel tentang dunia kafe. (Catatan: Sur menghendaki novelku ini tetap nyastra, harus ada nilai sastra bukan
novel picisan. Terpenting lagi, banyak dibaca orang meski tak harus booming). Karena ia meyakini bahwa kafe
sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, terutama lagi warga kota.
Sur,
sewaktu pertemuan kedua kali di Pustaka
Kopi tiga bulan lalu, menjelaskan kenapa ia tertarik membiayai penerbitan novelku
soal kafe. Katanya sejak beberapa tahun
terakhi, dirinya sangat dekat dengan kafe. Dari kafe ke kafe, begitu ia
menekankan. Hampir tiap malam, tentunya. Terutama di luar ia bekerja dan
kelelahan karena bekerja. Bahkan, terkadang untuk refreshing bersama kawan-kawan,
biarpun sedang lelah. Di kafe hanya mengobrol. Setelah itu segar lagi.
“Kafe
ini ternyata bisa mengendorkan saraf otak. Kau jenuh datanglah ke kafe, pulang
segar lagi. Ini sudah kubuktikan,” kata Sur.
Ia
lupa di hadapannya ini, aku, adalah termasuk penyuka kafe. Maka beberapa kali
peluncuran buku sastraku dilaksanakan di kafe. Beberapa kafe yang kuajak
bekerja sama, selain Digger, ialah Moka Kafe, Pustaka Kopi, Taman Untung, dan
lainnya.
“Di
kafe juga mampu menyulap apa saja yang kita maui. Bisa jadi pertemuan untuk
berisnis, bisa mendatangkan idea tau gagasan buat sesuatu lainnya. Eh, jangan
lupa, di kafe juga kerap dijadikan pertemuan sementara untuk pertemuan lebih
intim lho….” lanjut Sur.
Sur
juga bercerita bagaimana ia pernah melihat ada seorang ibu muda, karena tak
tahan pertengkaran terus menerus di rumah mencari “aman” di sini. Dan, ia
benar-benar mendapat aman, karena berkenalan dengan lelaki yang pantas
dipanggil Om olehnya. “Jangan gak percaya, di sini juga,” Sur berbisik, “kau
amati cewek-cewek yang kayaknya ABG itu, kelihatannya status sekolahan atau
mahasiswi. Padahal, mereka itu sedang menunggu jemputan. Janjian di sini,
kadang di kafe lain. Tergantung di mana dianggap dekat. Dan, tentu saja di sini
juga bisa menyatukan jodoh…”
Dinda
menoleh padaku. Aku kasih ia senyuman.
Ya!
Pertama kali pertemuan aku dengan Dinda di kafe, di bilangan Jakarta Selatan.
Ia datang bersama temannya, perempuan juga. Bagi kaum Hawa biasanya masuk kafe menenteng tas kecil atau sebungkus rokok dan korek api di tangan. Tetapi, Dinda
justru memegang dua buku sastra: kumpulan cerpen dan puisi. Dia duduk di sebelahku, meja
yang lain. Waktu itu kami hanya setatapan. Malam berikutnya, ia memulai
percakapan. Dinda bertanya, apakah aku bernama Busye. Soalnya ia pernah melihat
wajahku di salah satu buku kumpulan cerpen yang diterbitkan penerbit Jakarta.
Aku mengangguk, dan kukatakan padanya berterima kasih telah membeli bukuku. Itu
pertanda, ia sudah mengangkat derajat dan strata sosial penulis. Ia
terbahak-bahak. Ya, Dinda memang mudah bergaul, ramah, dan humoris. Itulah yang
kuketahui.
Soal
cantik, tak ada yang membantah. Kecuali Anda punya masalah pada mata!
(Bersambung)