SANI sudah datang lebih dulu. Dia memilih table di
sebelah sayap kanan Kafe Diggers di bilangan Pahoman itu. Tanpa teman atau
ditemani.
Kemarin malam ia menghubungiku.
Ingin mengobrol saja soal kewartawanan. Adik bungsunya yang tahun ini lulus SMA
bercita-cita jadi jurnalis. Kubilang waktu itu, bagus.
Meski ia menginginkan adiknya
meneruskan ke Fakultas Kedokteran atau Fakuktas Hukum, toh tak bisa menolak
kalau si anak punya kemauan lain.
Kahlil Gibran pernah menulis "Anakmu
Bukanlah Milikmu" begini:
Anak
adalah kehidupan,
Mereka
sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu.
Walaupun
bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan
kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu
karena
mereka Dikaruniai pikiranya sendiri
Perempuan yang kukira cantik juga
tidak, jelek pun masih jauh itu masih menunggu masukan dariku soal dunia
jurnalistik. Tetapi aku tak mau duluan, sebelum kutahu apa yang ada di
pikirannya soal wartawan.
Lama kami tak saling membuka
percakapan. Sajian yang dipesan Sani menjadi sasaran. Tak perlu sungkan, kami
menyantap di meja. Ada nasi plus lauk pauk pindang baung, jus alpukat
kesukaanku, di depan Sani segelas cappucino, dan lain-lain. Sani
bukan pecandu rokok. Malah ia alergi dengan asap rokok.
Setiap kuisap rokok aku agak menjauh
dulu. Biar ia tak terganggu. Ia mengaku sebenarnya suaminya pecandu rokok.
Sehari bisa lima bungkus lebih. Akhirnya menyerang paru-parunya, dan tidak bisa
tertolong. Hanya setahun hidup sendiri, Sani mendapatkan suami baru.
Sayangnya, lima bulan dari pernikahannya, baru tahu kalau ia adalah istri
kedua. Ia disatroni madu dan anak suaminya. Ribut besar, hingga ia putuskan
kabur dari Kota M lalu pindah ke kota ini.
Suaminya mencari-cari keberadaan
Sani, namun hingga kini tak juga ditemukan. Ia sudah bulat untuk berpisah. Ia
menumpang di rumah adiknya. Di rumah ini ia tahu kalau adik bungsunya ingin
kuliah di jurnalistik. Sani tak lagi bercerita kehidupannya. Sewaktu bertemu aku
bersama Rena, ia ditemani suaminya. Ternyata baru sebulan ia berumah tangga.
Pantas mesra sekali. Masih honey moon.
Waktu itu dengan yakinnya Rena
mengaku sebagai istriku di hadapan Sani. Seperti juga dilakukan dengan sangat
tidak lucu oleh Dinda sepekan lalu di depan Ade.
Ada-ada saja peristiwa yang
kuterima. Aneh dan cenderung absurd. Kejadian-kejadian yang tidak kuduga ini
membuatku pusing. Bagaimana kalau satu-satu mereka tahu jika itu hanya dusta?
Ade, misalnya, tahu bahwa aku bukan calon suami Dinda. Lalu Sani akhirnya tahu
kalau aku dan Rena bukan suami istri?
"O ya, mengapa tak sekalian
diajak istri? Siapa nama mbaknya, saya lupa..." Sani membuyarkan
lamunanku.
"Mau sendiri saja..."
jawabku singkat.
Sani mengalihkan percakapan. Dalam
pikirannya, profesi wartawan tidak prosfek. Untuk naik dari reporter ke jajaran
redaktur sangat lama. Apalagi mau jabatan tertinggi. Dia juga mendapat kabar,
banyak wartawan yang hanya berpikir cari uang dari narasumber. Mereka datang
beramai-ramai. Satu dapat amplop, rombongan itu harus dikasih juga. Padahal
berita hanya dikloning; judul dan isi sama.
"Wartawan sekarang hanya ngejar
amplop bukan berita. Media juga layaknya lembar informasi. Tak ada lagi berita
hasil buruan wartawan, indeph, dan menurunkan berita yang lain dengan media
lain," ungkap Sani.
Aku hanya menyimak.
Sani juga menceritakan tentang
temannya, seorang wartawan. Tetapi temannya itu sudah tidak memiliki media
karena persaingan dengan media daring (online). Meski begitu, kawannya itu
selalu memanggul nama medianya ke mana-mana. Sebagai pemilik juga pemimpin
redaksi.
"Dia juga jadi pengurus lembaga
wartawan. Padahal pengurus organisasi hampir sama dengan anggota legislatif. Kalau
sudah keluar atau tak punya lagi partai, otomatis diPAW. Kawanku itu kok masih
ya?" Sani berujar. Nadanya aneh.
"Mungkin kawanmu itu menganggap
tak ada pensiun di dunia jurnalis. Profesi tersebut disandang sampai dia
mau," kataku menimpali.
"Tapi memang," lanjutku.
Giliran Sani menyimak. "Sejak booming media online, media cetak nyaris
ditinggalkan, memberi peluang wartawan muda membikin media sendiri. Akibatnya,
secara ilmu kewartawanan belum matang mereka memimpin media. Dia pemrednya, pemimpin
perusahaan, juga wartawannya atau reporternya. Berita-berita yang dimuat hasil
kloning (rilis). Jadi judul hinga titik koma sama semua di semua media
massa."
"Cukup satu media saja kita
baca."
"Ya benar! Karena sama,"
tandasku.
"Karena media daring sangat
banyak, kue iklan jadi makin sedikit. Satu iklan direbut bersama-sama. Begitu
pula kalau kerja sama dengan pemerintah, jadi terbaginya sangat kecil.
Padahal media hidup dari iklan dan advertising," balas Sani.
Melihat kenyataan itu, dia
mengkhawatirkan masa depan adik bungsunya jika bekerja di perusahaan pers.
"Sebenarnya kuliah khusus untuk
pers, tak mesti jadi wartawan," kataku kemudian. "Adikmu bisa kerja
di bagian humas atau di protokol. Kan gak harus lulusan, misalnya fakuktas sastra,
serta merta jadi sastrawan. Ya kan?"
Sani mengiyakan.
"Tapi di benak adikku begitu
lulus jadi wartwan!" kata Sani kemudian.
"Jangan dimatikan cita-citanya.
Bisa saja kelak berubah. Biarkan ia berkembang seperti tanaman mengikuti musim
dan tunduk pada waktu," aku menjelaskan.
Lalu kami terdiam. Cukup lama. Aku
sudah pamit ke toilet, Sani sudah menerima telepon dua kali dari orang yang
berbeda.
Ketika aku mau mulai lagi
percakapan, handphoneku berdering keras. Segera kusahut.
"Ya."
"Di mana?" tanya Rena.
"Diggers."
"Dengan siapa?" tanya Rena
lagi.
"Sama mbak Sani. Itu yang dulu
ketemuan di sini juga."
"Sendiri?" tanyanya.
"Sama aku," jawabku
pendek.
Tampaknya dialog kami pendek-pendek,
serupa menulis pesan di WA.
"Dia sendirian?"
"Ya. Dia mau tanya-tanya soal
kuliah kewartawanan."
"Emang dia mau kuliah?"
"Denger dulu, belum
selesai kujelaskan. Untuk adik bungsunya."
"Ok. Sampai jam berapa di situ?
Kalau masih lama aku ke sana," ujar Rena.
Aku tak langsung menjawab. Aku
bertanya dulu pada Sani, apakah ia masih lama. Ternyata tidak.
"Ini aku sudah mau
pulang," jawabku.
"Ok. Kamu mampir ke rumahku ya.
Aku penting sekali. Kau belum lupa kan jalannya waktu antarku malam itu.
Kukirim juga maps ya."
Tak bisa lagi menolak. Aku segera
meluncur ke rumah Rena di kawasan elit itu.
Hanya 10 menit aku sudah di depan
gerbang rumah bertembok 2 meter lebih. Kupencet bel. Rena keluar dan membuka
pintu gerbang terbuat dari besi.
"Hai," sapanya sambil
beradu pipi kiri dan kanan setelah kuparkir motor besarku.
"Malam..."
Lalu gerbang ditutup.
Seperti mengarungi jutaan malam, aku
berada di rumah Rena. Terperangkap di antara tembok tinggi, dinding beton.
Suaraku tak akan dapat didengar orang di luar sana. Begitu sebaliknya, suara
tangisan, minta tolong, atau letusan senjata api takkan sampai ke dalam rumah
ini.
Aku membayangkan tinggal di dalam
goa yang kedap suara. Teringgat para pemuda yang masuk ke goa lalu terlelap
karena tak mau dipaksa menyembah selain Tuhan yang Esa. Keimanan para pemuda
dan seekor anjing itu lebih mahal. Itu sebabnya mereka hijrah walau di dalam
goa.
Rena pergi ke Bali, katanya akan
mengurus bisnis yang ditinggal suaminya sebelum menjadi pelaut di kapal pesiar.
Sangat besar nominalnya. Hampir 1,5 miliar, kata Rena sebelum ia pamit.
Untuk keperluanku selama menjaga
rumahnya sudah tersedia di kulkas dan dapur. Aku tinggal masak. Kalau mau pesan
makanan dari luar, uang juga disiapkan.
"Aku minta tolong, hanya kau
yang bisa kupercaya. Hanya tiga hari kalau lancar. Paling lama sepekan,"
kata Rena. "Kalau kau mau menulis pakai laptopku di kamar tidurmu. Juga
kalau jenuh kau bisa mainkan piano itu. Aku ajarkan sebentar cara
menghidupkan."
Untuk piano bagiku tak perlu.
Soalnya aku tak bisa bermain musik. Kalau menyanyi, sedikit-sedikit bisa. Lalu
Rena memindahkan cede untuk karaoke di ruang tengah.
Ia juga sudah membelikan 20 bungkus
rokok kesukaanku. Kaget juga kalau ia hapal merek rokokku. Batinku, jangan-jangan
dia selalu memerhatikan rokokku. Kalau tidak, pasti ia bertanya sebelum
membeli. Selain itu setengah lusin kaus untuk tidur dan pakaian sehari-hari.
Lalu dua kotak celana dalam, handuk, sikat gigi serta pasta.
"Ah, aku jadi tak enak. Kau
terlalu memewahkan aku!"
"Ih ini sih bukan mewah. Untuk
sehari-hari. Santai aja Bus. Anggap saja di rumahmu juga...."
Kemudian Rena berharap aku bisa
kerasan di rumahnya. Ia yakin aku bisa bekerja dengan laptopnya. Dia juga
menunjuk lantai dua jika aku ingin berangin-anginan sambil menikmati kota di
bawah sana. Kompleks perumahan elit ini memang berada di ketinggian. Jadi yang
mahal dan dibilang mewah itu karena keindahan panorama. Sudut dalam memandang.
Selain itu keamanan yang ketat. Sewaktu aku masuk ke sini kemarin malam,
petugas satpam memeriksa telaten. Bagasi motorku dibuka. Aku harus menyerahkan
KTP dan akan kuambil begitu keluar.
Rena sudah sampai di Bali sore tadi.
Ia bermalam dulu di Jakarta. Sudah dua malam aku menunggu rumahnya.
Malam ini dia meneleponku. Sedikit
basa-basi, lalu menanyakan apakah aku lelap tidur. Kujawab, aku baru bisa tidur
setelah azan Subuh. Bangun pukul 11.00, mandi, dan kembali meneruskan
tulisanku.
"Dapat berapa bab jadi?"
tanyanya. Aku yakin ia tersenyum seperti kebiasaannya.
"Dua bab. Ini sedang
melanjutkan bab berikut," jawabku. "Semoga bisa kuselesaikan 2 bab
lagi."
"Soal apa yang mau kau buat di
bab ini?" Rena bertanya. "Jangan sampai ceritamu jadi centeng di
rumahku ya?"
"Ya ndaklah, malu-maluin.
Kecuali kuceritakan bahwa aku diajak menginap bersama Rena di rumah
mewahnya. Pembaca pasti penasaran, menduga-duga sampai berpikiran negatif.
Maklum, pikiran kebanyakan orang selalu negatif alias kotor. Orang ke tempat
hiburan lalu capnya pasti mabuk-mabukan. Perempuan kerja di hiburan malam,
pasti wanita panggilan. Perempuan tak benar, dan sebagainya."
"Ya begitulah," Rena
mendesah. "Gila juga kita kalau terus-terusan memikirkan orang lain
tentang kita. Cuekin aja apa kata mereka."
"Setuju. Walaupun kita tidak
bisa mengelak dari pandangan yang sudah terbentuk oleh adab ketimuran itu"
balasku.
Lalu ia selesaikan obrolan melalui
telepon. Alasannya, mau ada pertemuan. Dengan siapa, Rena hanya tertawa.
Diamput! Perasaanku dipermainkan Rena.
Selesai menutup telepon genggamku,
Dinda menelepon. Dia tanya di mana aku. Kemudian kenapa aku tak menelepon atau
berkirim pesan. Kujawab petanyaan itu, dengan kalimat: "Aku lagi di luar
kota, belum sempat berkabar."
"Sibuk toh?"
Aku diam. Berdusta lagikah aku?
"Aku lagi mencicil novelku.
Sudah 3 bab bisa kurampungkan di sini."
Aku tak berbohong kan? Benar bahwa
aku menulis.
"Kalau aku tahu kau mau ke luar
kota, aku mau ikut. Aku minta libur dengan bosku. Pasti diizinin."
"Aku diajak kawan waktu di
media dulu. Rumah omnya kosong karena ke Bali, nah ia minta aku menemaninya.
Sekalian kucicil tulisanku," jawabku.
"Oo... oke. Sesampai di sini
lagi kontak aku ya, aku rindu ngobrol," kata Dinda. Sepertinya ia
percaya dengan ucapanku.
Selanjutnya, kuteruskan pekerjaanku.
Menghadapi laptop milik Rena. Setiap selesai satu bab langsung kupindahkan ke
hardisk eksternalku.
Dalam hati, aku berdoa semoga Rena
tidak cerita apa pun pada Dinda jika kelak bertemu. Jangan sampai keduanya
berjumpa.
*
EMPAT bab dari 25 bab rencana novelku pesanan Sur selesai kutulis
di rumah Rena. Sampai sekarang sudah 15 bab. Ternyata suasana bisa membantu
seseorang untuk rajin atau malas. Di sini, aku merasa dipaksa untuk bekerja.
Sepririt rumah yang pas dengan hatiku, kebutuhanku yang telah disediakan, dan
fasilitas disiapkan, sungguh salah besar apabila tak kumanfaatkan.
Ah, tiba-tiba Rena menjadi makhluk
penting dalam hatiku. Ia bidadari kala aku tersesat di belantara. Lalu
membawaku terbang ke kahyangan dan dipertemukan pada Dewi segal Dewi, untuk
dijadikan suaminya.
Duh! Wajah Dinda tiba-tiba menari
dan tersenyum indah di pelupuk mataku. Gigi gingsul yang selama ini kusuka
seperti ia main-mainkan. Ke mana kini aku pergi?
(Bersambung)