kau tersedu dan mengiba
agar tak cepat-cepat
kumatikan dari ceritaku
sebagai tokoh rekaan,
katamu, aku bahagia. kau
ajak ke mana kau kehendaki
kadang aku jadi pemberang,
egois, dan pada bagian lain
kau ciptakan karakterku
yang manja, suka merajuk,
atau sembunyi tak berkabar
biarpun berulang dihubungi
sekali waktu kau hukum
kekasih dalam ceritaku
membuatku sebagai dalang
kehabisan narasi!
tapi, setiap ingin kumatikan
dirimu, misal terjun dari
ketinggian kafe ini, gedung
lantai 8 sebuah hotel, engkau
mengibaiba agar aku urungkan
niatku,
"jangan sekarang jika pun
aku harus mati atau dimatikan,
kau akan menyesal karena
kehabisan kisah serta
sabda!"
katamu pada dialog
di bagian 20. tak kuingat halaman
berapa. saat itu ada tokoh lain,
perempuan muda - lebih muda
darimu - begitu menawan...
*
AKU
berencana menyimpan tokohku ini, Dinda, bahkan sudah kusiapkan cara terbaik
kematiannya. Tidak asal mati, tiada sekadar alibi yang dibuat-buat. Masak kematian Dinda,
misalnya kesandung kerikil lalu digilas tronton. Memang mobil raksasa tersebut
melintasi kampung?
Maka
itu aku sedang cari-cari cara mematikan tokohku satu ini. Soalnya sudah
kebanyakan kugunakan tokoh. Ada Rena, Ayu, Dora, Yuli, dan Dinda. Belum lagi
tokoh lelaki, selain aku ada Sur, Yuda, Izal, dan lain-lain.
"Kau
akan kesulitan mengurut tokoh-tokohmu kalau kebanyakan. Dalang saja, Ki Entus,
tak puluhan dia gunakan wayang-wayangnya," saran Dinda.
"Itu
soalnya! Aku harus membunuh satu persatu. Yang tinggal dua tokoh perempuan. Aku
menyukai Rena, kumunculkan Dora. Atau Sani yang baru muncul sekelebat. Sani itu
manis; persisnya hitam manis, ada lesung pipi, mata hitam, alis lebam. Rambut
lebat sebahu," jawabku.
"Siapa
yang akan kau matikan?" tanya Dinda. "Maksudku untuk kau simpan
selamanya sampai ending?"
"Dinda!
Ia harus kubunuh atau bunuh diri. Atau diculik. Namun, aku ada rencana lain.
Dia menikah dan dibawa suaminya ke Amerika," jawabku.
Dinda
memandangku lama. Tetes airmata mulai mengalir. Tapi belum sesenggukan.
"Kenapa?"
tanyaku. "Kenapa kamu nangis, Dinda?"
"Sedih
ajah!"
"Kenapa?"
tanyaku.
Kami
akhirnya berdialog dalam satu bagian ceritaku. Dinda kuakui adalah
"Monalisa" itu selama ini. Ia tidak pernah protes, mengeluh, atau
apapun setiap kuajak masuk dalam cerita-ceritaku.
Ketika
aku di Belanda, Dinda kuajak serta. Dia menjelma jadi Suzi, Elisabeth, dan
sebagainya. Tidak pernah dia kecewa atau mengatakan capek. Meski ia kerap
merajuk kalau aku membiarkan pesannya di WA tak kubalas. Dinda juga mudah marah
kalau aku salah, padahal aku hanya menggodanya.
"Apa
alasan kamu menghilangkan diriku dari jalan cerita yang kau buat?" Dinda
bertanya.
"Tak
ada. Cuma mau mengurangi tokohku saja..."
"Kan
bisa yang lain, bukan tokoh Dinda. Jangan-jangan kamu sudah tidak suka,
tersinggung dengan ucapanku kemarin. Marah gegara kubilang ke Ade bahwa kau
kekasihku? Merasa dibohongi?" lanjutnya.
"Kalau
ya, maafkan aku yah...." tambah Dinda. Lalu Dinda melanjutkan, "bikin
cerita aja ngeselin. Ih. Sebel aku!"
Tetapi,
kujelaskan, antara fiksi dan fakta (realita) ada jurang perbedaan amat lebar.
Dalam fiksi, penulis bisa saja menjadi manusia yang begitu tega. Mematikan
tokohnya pada ending, menjadikan cacat seumur hidup, atau malah membuat bahagia
tokohnya.
"Itulah
fiksi, jadi...."
"Alah,
alasan. Kalau kau sudah tak suka denga Dinda, ya matikan saja. Lompat dari
jembatan, lantai 20 sekalian. Atau kau yang membunuh dengan cara membekap
mulutku pakai bantal dan selimut. Mati kan. Aman kan. Kamu bisa main-main
dengan tokoh yang lain. Yang gak mudah merajuk." Lalu terisak.
"Sebentar
Dinda. Sabar. Ini kan masih rencana, dan baru ada dalam pikiranku. Aku juga
masih menimbang-nimbang kok. Tokoh Dinda sangat berjasa padaku selama ini. Ia
siap kujadikan tokoh apa saja. Siap menjadi sumber inspirasiku. Jadi model bagi
karya-karyaku. Seperti Monalisa untuk Leonardo da Vinci, atau gadis Bali bagi
Antonio Blanco. "
"O
begitu. Serius kamu tak mematikan tokoh Dinda?"
Aku
menggeleng segera.
"Aku
lagi cari alibi untuk mempertahankannya. Mungkin Dora yang kukorbankan. Tapi
Rena kupertahankan, ia akan bertemu dengan Dinda di bagian lain," jelasku.
Menjadi
penulis bukan tak ada konflik. Sejak dalam batin pun, telah bergolak. Apalagi
jika sudah jadi buku atau dimuat media massa. Mungkin lebih besar lagi konflik
dan problematiknya.
Dinda
masih kesal. Ditanya diam saja. Wajahnya selalu menyamping. Akhirnya kudiamkan.
Dia justru cemberut.
"Kenapa?"
"Ditanya,
kenapa?" katanya kesal.
"Harusnya?
Baik kuubah ya, lagi apa?"
"Lagi
kesel. Pake banget!"
"Sama
siapa kesalnya, Din..."
"Eh
gak ngerasa! Ya sama kamu. Sastrawan jelek. Dulu idolaku sekarang aku
sebel!" ujarnya. Tetap suaranya manja. Bagaikan gadis berusia 16 tahun.
Dinda.
Perempuan yang kukenal lebih dari 4 tahun. Kami berteman akrab meski
kadang bertengkar. Pertengakaran kami tidak sampai menghunjam ke hati, beberapa
jam kemudian sudah saling menyapa. Bersama lagi. Ke kafe sama-sama.
Aku
dan Dinda lebih banyak diskusi. Mengomentari sebuah karya sastra yang baru
dibaca, kelebihan dan kekurangan. Ada yang membekas dalam ingatanku saat Dinda
menilai puisi-puisi dari penulis muda.
"Puisi
mereka cenderung mengekor yang senior. Pemilihan kata masih lemah. Terasa
imajis di awal, tapi seterusnya benderang layaknya pamflet. Mungkin mereka
lahir instan," nilai dia.
"Tidak
semua begitu. Ada juga penyair muda kita kuat, dengan puisi yang
bagus-bagus," belaku.
"Tapi
tak banyak. Berbeda generasi 70 dan 80-an, penyair banyak. Yang berkarya bagus
juga banyak. Persaingan ada pada di tangan redaktur media," balas dia.
"Ya
itu kusepakati. Para sastrawan kini berkompetisi hanya lewat event sastra.
Kurator yang ditunjuk panitia memilih puisi sesuai tema dan kuota peserta.
Terkadang kurasi semacam ini agak longgar. Puisi yang kemudian dianggap kurang
kuat, bisa lolos. Mereka yang lolos kurasi merasa sudah jadi sastrawan.
Pemilihan pada penyair juga berisiko. Ada rekomendasi-rekomendasi, akibatnya
juga event itu rentan wibawanya, kecuali diimbangi penyair-penyair punya nama
disertakan."
"Karena
itu, menurutku, media cetak harua kembali menyediakan halaman sastra. Untuk menampung
lonjakan karya sastra dan menyaring secara ketat karya-karya yang
baik. Dan tentu saja, redakturnya juga bukan sembarang dan harus kuat sebagai pembaca sastra."
"Setuju
aku," sergahku. "Aku ingat kata HB Jassin, kritikus sastra, media
masa tanpa halaman senibudaya adalah barbar!"
"Ya
betul itu," dukung Dinda.
Ia
kemudian pindah ke topik lain. Katanya, sastra itu adalah karya seni. Seni
berbahasa. Bagaimana sastrawan memainkan seni bahasa.
"Bukan
memainkan bahasa, namun seni (ber) bahasa. Itu sebabnya dalam puisi ada diksi,
lambang, majas, metafora, juga pemenggalan. Untuk mendapatkan kekuatan puitik. Dalam
permainan kata itu, tentu ada gagasan. Ada yang mau disampaikan. Bukan penyair
salon seperti dikatakan Rendra, hanya memakai kata anggur. Puisi memiliki
keterlibatan terhadap manusia dan sosial," katanya panjang.
Kali
ini entah kenapa aku suka dengan pemikiran Dinda. Tak mungkin kuhilangkan tokoh
itu dalam ceritaku. Ia banyak memberi inspirasi dan melempangkan ide-ideku
selama ini.
Lalu
siapa yang kumasukkan dalam kotak dari tokoh-tokohku itu? Sulit kuputuskan.
Kepalaku tiba-tiba serasa pening. Ada lindu di dalamnya.
*
INI kali pertemuan dengan Dinda membuatku sulit mengambil keputusan. Tokoh Dinda memang penting, namun bagian lain kini merasa diintimidasi harus begini dan harus begitu. Ia mulai masuk memcampuri urusan dan hak pereogratif pengarang. Inilah kalau kebanyakan membaca karya fiksi jadi merasa melebihi pengarang, aku membatin. Di antara orang-orang yang kukenal, perempuan sosialita yang menyuka sastra, hanya Dinda yang kepalanya kelewat banyak terjejal cerita dan alur kisah.
Terus terang aku banyak mengenal dan bahkan bergaul dengan para perempuan sosialita, yaitu para wanita yang sehari-harinya--atau sepekan dua atau 3 kali--mengobrol di kafe-kafe. Mereka biasanya berswafoto dengan ragam pose. Kadang di depan meja yang penuh makanan, seolah-olah banyak yang dipesan. Pose lain mengadap taman, gaya berdiri seolah tak tahu sedang dibidik kamera. Setelah bebicang tiada ketetapan tema. Sampai-sampai berbisik soal kekasih gelap masing-masing. Kelompok ini dalam lima tahun terakhir sering kulihat kongkow di kafe-kafe, dimulai pukul 14.00 petang, hingga pukul 21.00. Berganti-ganti komunitas atau rombongan.
Meski Dinda termasuk kelompok ini, setahuku ia tak berswafoto-ria. Dia ke sini hanya karena kuajak atau dia mengajak, maupun karena mau menyendiri sembari membaca buku sastra; biasanya baru dibelinya di toko bukua Gramedia. Setelah khatam dibaca, kadang ia serahkan padaku untuk membacanya. Kalau kebetulan aku sudah memiliki, ia serahkan bukunya padaku untuk dokumentasi. Ya. Dia sudah berpikir sejak dini, suatu saat kelak aku memunyai dikumentasi sastra. Bila peerlu dunia.
"Bukankah kamu sering ke luar negeri mengikut8 beerbagai event sastra, tentu pulangnya membawa buku-buku sastra dari pengarang manca negara. Nah, aku turut menyumbang. Semoga bermanfaat bagi generasi muda yang mencintai literasi," katanya.
Aku setuju, meski aku belum bisa membayangkan di lahan mana untuk Dokumentasi Sastra Dunia itu? Siapa yang mau mebghibahkan tanah kosongnya untuk dunia leiterasi ini, di zaman yang serba ekonomis ini? Dari silsilah keluarga, aku bukan ari keturunan tuan tanah. Kecuali, yang pernah kudengar, kakekku memiliki banyak tanah kosong dan kebun kelapa, petai, dan jengkol, serta labuh. Pada trah dipegang ayahku, ia bukan mahkluk yang seharusnya berani memisahkan antara bisnis dan keluarga. Seharusnya ia merawat apa yang diserahkan pada kakek; jaga tanah ini, suatu saat nilainya tinggi. Suatu kelak, anak-anakmu akan membutuhkan. Pada masanya, orang jauh mengaku saudara hanya ingin mendapatkan tanahmmu.
Benar! Entah saudara dari garis siapa dan keturunan mana, mengaku dekat dan minta bantuan semeter-dua meter tanah untuk sekadar berlindung dari terik dan hujan. Ayahku memberi, si penerima mengembet sedepa. Lalu yang namanya meminjam (bukan nyewa!) diakui hak milik, dan dipakai turun temurun. Ada juga, pun mengaku saudara amat dekat di Bengkulu, datang ke daerah ayahku karena ingin mengubah nasib dan rezeki. Tetapi tak punya rumah untuk ditempati, tak ada tanah untuk dibangun, serta tak cukup jika mengontrak. Datanglah ia kepada ayahku.
"Berilah saya berapa meter tanah untu mendirikan gubuk beratap ilalang, berdinding geribik. Sekadar beerlindung dari dingin malam, hujan, dan terik..." kata orang itu, kami memanggilnya paman.
Tak tega, ayah emberi empat kali empat meter. Tapi saat gubuk gedegnya berdiri, iseng-iseng kami mengukur bukan seluas itu, melainkan 6 x 6 meter. Setahun dua tahun kemudia, atap ilalang diganti genting. Sementara dinding anyaman bambu berganti bata merah. Pakai pagar tembok setinggi dua meter. Rumah paman tertimbun dari tatapan kami.
"Ya, yang penting saat ini adalah rencana. Soal kapan jadinya, ya proses alam saja," ujar Dinda memecahkan lamunan pada keluargaku. Ia lupa kalau niat mengajakku bertemu mau membahaas soal rencanaku mematikan tokoh Dinda. Kini malah bicara soal bagaimana membangun Pustaka Sastra Dunia.
Ah, Dinda, berapa besar kepalamu? Bisa diisi banyak gagasan dan ide.
(Bersambung)