Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (14)

Minggu, 05 Januari 2020







cintamu seluas samudra
sedalam segara
sedang aku, selubang semut
tapi jauh dan dalam padamu
tentu sama besarnya.


CATATAN harian itu tak sengaja kubaca di buku kecil milik Dinda yang terbawa saat ia menitip sebentar di kafe tadi. 

"Pegang sebentar, aku mau ke toilet," katanya sambil menyerahkan buku kecil itu. Kumasukkan ke saku jaket. Ia keluar lalu pamit pulang. Ia mau menyelesaikan pekerjaan kantor esok pagi.

Aku merenung, apakah benar lubang semut lebih jauh dan dalam? "Jangan memandang kecilnya, tapi renungi dalam dan jauhnya," kata Dinda memberi tekanan.

Aku terlongo. Apalagi ditambahkannya, " orang secerdasmu kok gak bisa memahami maknanya?"

Aku diam beberapa saat. Kupandangì wajahmu yang tampak menyesal. Ia kecewa ketika kutanya, "kecil amat. Sedih sekali. Padahal cintaku seluas dan sedalam samudra..."

Ia menegaskan, "dalam laut bisa diukur, dalam dan jauhnya lubang semut, siapa mampu?"

Perdebatan pun tak terelakkan di kafe itu tadi. Aku tetap pada pemiranku bahwa luas dan dalam laut itu lebih besar ketimbang lubang semut. Sementara ia berkeras bahwa lubang semut tak terukur, maka nilainya sama.

Akhirnya kami sama terdiam. Mungkin kelelahan karena mencari jawaban atau bantahan. Sama-sama tak ada yang mau kalah. Mempertahankan pendapat masing-masing.

*

TUGAS meneruskan novel yang akan didanai pencetakannya oleh Suryadi sudah dua pekan ini terbengkalai. Biarpun tiap malan aku ke kafe, tak ada yang menarik dijadikan bagian cerita. Untuk membangkitkan itu, kubaca banyak literasi mengenai kafe, sejumlah  novel karya sastrawan dunia, mengintip google kalau-kalau ada peristiwa menarik yang terjadi di kafe. Tak masalah kafe di luar negeri.

Aku juga sudah berkoresponden dengan teman-teman media sosial. Dari negeri sendiri, Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunei, Thailand, Australia, Tasmania, dan lain-lain. Tetapi, semakin banyak menedapat informasi, kian kesasar aku di dalamnya. Aku harus memilah lalu mengambil kejadian di kafe yang suai di sini. Harus logis.

Aku sempat putus asa dan ingin mengatakan ketaksanggupan meneruskan ini kepada kawanku yang pemborong itu, apalagi dana belum kuterima. Kecuali dia memberiku Rp5 juta, cuma itu pemberian dari sebuah pertemuan kembali setelah lama berpisah. Tetapi kuurungkan mengontak Sur.

Tadi saat aku memasuki kafe ini sebelum Dinda datang, pelayan kafe perempuan yang sudah kenal denganku memberi titipan sebuah amplop. Kata dia, seorang perempuan bernama Nita memintanya menyerahkan amplop itu.

"Mbak itu katanya pernah lihat abang Busye di sini. Lihat aja namanya dan nama abang. Katanya ada kartu nama juga di dalwm. Saya tak tahu isinya," kata pelayan kafe yang kutahu namanya Sri.

Aku dan Sri sesekali berdialog. Ia ramah dan sabar melayani pengunjung. Gadis berusia 17 atau 19 tahun itu selalu dilanggil pengunjung. Ia selalu segera meski kuyakin ia amat sibuk.

"Ok, terima kasih ya Sri," kataku kemudian kumasukkan amplop itu ke saku jaketku bagian dalam.

Tak lama Dinda tiba. Berpakaian kaus putih lengan panjang, ada tulisan dua baris persis di dadanya. Kutipan puisi dari penyair. T-shirt semacam itu sering kulihat. Aku pun pernah buat untuk kalangan terbatas. Judul cerpen Hamsad  Rangkuti yang fenomenal pernah kumiliki dari pemberian basabasi.co. Aku suka memakainya.

Dia memakai kaos t-shirt dari puisi karya Isbedy Stiawan ZS. Ia penyair, guruku dalam penulisan sastra. Tapi sudah lama sekali kami tak bertemu dan saling bertukar ilmu. 

"Hai...."

"Bagus juga kaosmu. Aku suka. Sastrawan itu idolaku. Dari mana kamu dapat. Aku mau juga...." kataku.

"O ini. Aku hadir waktu peluncuran buku terbarunya. Jadi dikasih karena aku beli buku dia. Ia titip salam untukmu. Dia justru kagum padamu. Kamu produktif dan karyamu bagus-bagus," kata dia.

"O terima kasih..." jawabku pendek.

Kamu pesan jus melon. Aku ditawari makan, tapi aku menggeleng karena aku sudah duluan. Sepanjang siang tadi aku jalan, mampir di kantor media lokal terbesar di sini. Masuk ke bagian arsip dan mengubek-ubek dokumentasi media cetak itu. Mencari berita atau apa pun mengenai kafe dan ketegangan masa reformasi, serta berita-berita pilkada uang. 

Setelah dari media tersebut kuteruskan ke Perpuda dan Arsip Provinsi. Di instansi pemerintah ini aku mau cari buku-buku soal kafe, dalam genre apapun. Namun di sini nihil. Sebelum magrib aku ke kafe Diggers ini. Ingin menikmati sunset dari ketinggian kafe ini. Kalau dari pantai aku sudah pernah, bahkan di Kuta sambil mencuri pandang ke tubuh-tubuh cewek bule yang berbaring di pasir pantai.

Dinda selesai makan. Ia minum kemudian tersenyum. Aku balas senyuman pula.

Ia mengeluarkan dua novel dari tasnya, dan meletakkan di depanku. Dinda pernah janji akan memberiku novel, menurutnya layak kubaca. 

"Aku kan pernah janji mau kasih kamu novel. Yang ini baru kubeli, tapi ini sudah kubaca," katanya, dua novel itu terbaca judulnya.

"Ini seperti novel sejarah di masa reformasi," katanya lagi. Novel Purnama Retak" karya Subhi Abdillah ini sedang didiskusikan maraton di berbagai kota. "Kukira ini cara bagus memasarkan buku," sambungnya.

Tetapi, terus terang, cara itu tak menjamin buku terjual. Aku sering hadir peluncuran buku sastra sekaligus menjual di tempat. Selain yang hadir sepi, buku pun tidak terjual. Akhirnya penulisnya membawa pulang, atau dititip panitia untuk menjualnya. Aku juga jika menerbitkan buku, menggelar diskusi. Hanya saja, penjualan buku tak kuutamakan. Kalau memang karyaku bagus menurut pembaca, kapan pun akan laku. Aku mengibaratkan peluncuran untuk mengenalkan karya kita. 

Dinda asyik dengan handphonenya. Jemari lentiknya seolah menari di layar HP itu. Serupa penari cantik di atas panggung. Meliuk-liuk. Rambut Dinda tergerai dan dibiarkannya acak-acakan di bagian samping. Kaus t-shirt yang dipakainya serasi sekali dengan jinsnya. Di leher jenjang menghias slayer.

Aku akan baca novel ini, aku membatin. Aku suka membaca tulisan-tulisan berkaitan masa reformasi. Misal, tulisan Nezar Patria yang memang pelaku masa itu. Aku belum tahu apakah penulis "Purnama Retak" adalah pelaku atau hanya memeroleh dari literatur dan diskusi soal reformasi? Yang pasti nama Subhie masih asing di telingaku.

Setelah itu kami membicarakan soal novel kerja sama dengan Suryadi. Sampai kini sudah 8 bab dari 25 bab yang kurencanakan. Dinda bertanya, kemungkinan-kemungkinan bagi para tokohku. Ia juga bertanya masuknya tokoh Santi, prostitusi jalanan itu. 

"Andai Santi kau munculkan lagi, karena merasa dia dibohongi menarik juga," ujar Dinda tiba-tiba.

"Nanti kupertimbangkan usulmu itu," jawabku santai.

Dinda adalah sahabatku yang banyak mendukung. Ia tak keberatan -- dan tampaknya ikhlas -- kujadikan tokoh dalam banyak ceritaku. Mau jadi Monalisa bagi imajinasiku. Selain itu, teman dan lawan diskusi. Sering memberi usul untuk alur ceritaku. Kalau ideku buntu, dialah yang membantu menjebolkan.

"Hei melamun, aku bukan patung yang dianggur. Mikirin Rena ya? Sani? Atau...."

Aku tak merespon. 

(Sebetulnya aku sedang suntuk karena empat hari tak keluar dari rumah Rena, sejak ia pamit ke Bali yang katanya hanya dua hari. Meski fasilitasku ditanggungnya.
 
Kecurigaanku terjawab sekarang. Rena sengaja mengosongkan rumahnya dengan alasan ke Bali mengurus peninggalan bisnis suaminya. Tetapi sebenarnya ia memberi ruang bagiku menulis. Kalau aku di rumahnya, aku tak ke mana-mana. Aku juga tak hinggap dari kafe ke kafe seperti burung. Aku tak direpotkan oleh Dinda yang selalu minta bertemu. Jangan-jangan Rena cemburu pada Dinda?

Kalau Dinda tahu aku menginap di rumah Rena selama ini, pasti dia marah besar. Ia tak sungkan melabrakku karena aku berbohong ke luar kota bersama kawanku. Padahal sejatinya aku di rumah Rena. Persisnya menunggui rumah janda bule. Bahkan ia bisa saja menuduhku tidur bersama Rena. Ia tak boleh tahu. Rahasia ini harus kutelan habis. Tidak boleh pecah di mulut).

"Ih apa sih kamu, main tuduh aja!" kataku tak terima. "Aku sudah lama tak keteku Sani. Entah ke mana Rena, aku tak tahu!"

"O kirain...." balas Dinda. "Lalu bagaimama kelanjutan novemu? Ada masalah, apa yang bisa kubantu," sambungnya.

Aku diam.

"Kamu tuh suka nyebelin banget, Busye Jati Agung. Tapi kenapa aku suka sama kamu...." suara Dinda lirih. Baru kali ini sebut namaku selengkap itu. Artinya, antara benar-benar kesal tapi ia tak membenciku.

Aku hanya tersenyum. Mataku tertuju ke wajahnya. Dinda berpaling. Tapi aku memergoki senyumnya. Aku bertahan untuk tidak tertawa, meski jebol juga.

"Ihh... ketawa! Gak lucu," ia cemberut.

"Eh, makin cantik kwmu Nda, kayak gitu," aku menggoda.

Ia pun tertawa.

"Mana ada orang cemberut cantik. Aya-aya wae...." jawabnya. Situasi mulai cair.

Kami lepas tertawa. Pengunjung lain memerhatikan tingkah kami. Ada yang turut tersenyum, berbisik dengan rekannya, ada yang hanya menoleh sesaat lalu melengos.

Dinda selalu membuat polahku warna-warni. Hatiku diubek-ubek antara kesal, jemu, dan takut kehilangannya.

Sementara surat Nita masih tersimpan di saku jaketku. Belum kubuka, apalagi kubaca pesannya. Aku tak ingin Dinda tahu, lalu bertambah daftar perempuan di dekatku. Cukuplah Sani, Rena, Sri, Santi, dan... dan.... Walau nama-nama itu hanyalah tokoh dalam cerita yang sedang kurampungkan.

Tokoh-tokoh itu acap berinkarnasi dalam kehidupanku sehari-hari. Ataukah sebaliknya, sebenarnya mereka menjelma ke kehidupan ceritaku. Jadi tokoh-tokoh ceritaku, karakter yang sebenarnya kuambil dari diri mereka. Misalnya, Dinda yang humoris juga cepat merajuk dan marah-marah, tapi pemaaf. Anak bungsu yang manja acap membuatku kesal, walau aku tak bisa jauh darinya.

Dinda yang suka bercelana panjang ketat, lekuk bagian paha jelas sekali, lelaki mana yang tak mengarahkan mata ke dia. Layaknya cowboy yang membidik pistolnya pada lawannya. Lalu leher jenjangnya seakan dibaluro sagu. Dan, bibirnya, alamak sudahlah tak mungkin kunarasikan unrtukmu.

Aku khawatir akan melekat ke dalam ceritaku. Jadilah novel panas. Sekadar mengupas urusan ranjang dan desahan. Tidak!  Itu cerita-cerita era Motinggo masa silam, atau ala Freddy.

Meski begitu, tak kutanggapi kata-kata Dinda. Tak berdebat berlarut-larut dengannya. Salah saja ia tak kalah, apalagi jika yang dikatakannya benar. Alamat dia akan memertahankan walau pertumpahan darah. 

"Kau kasih aku ini apa sudah kautamatkan?" tanyaku sekaligus untuk mengalihkan tema percakapan.

Ia mengangguk.

"Tiga malam kubaca dan habis," katanya.

Aku hampir berteriak "wow!" karena semata kekagumanku padanya yang begitu rakus membaca. Hanya tiga malam ia habisi novel setebal 525 halaman. Rasanya kalau aku, saat usiaku mendekati kepala 5, tak mampu lagi. Meski sebisa mungkin setiap hari minimal 20-30 halaman buku, juga membaca informasi dari media sosial. Aku tak mau ketinggalan berita, batinku.

Malam semakin menggantung, digoyang-goyang oleh waktu dan meja mulai terasa lembab. Tapi Dinda masih belum ada tanda-tanda mau beranjak dari tempat duduknya. Ia begitu ceria, tak tampak letih dan mengantuk.

Kupandangi wajahnya dari sela layar telepon genggamku. Dua kali kucuri melalui kamera HPku. Setelah itu kubagi ke WAnya dan kuberi catatan: kamu cantik: candid. Tersenyum. Ia tak mau kalah, rupanya sejak tadi ia mengatifkan kamera teleponnya, dan membidik wajahku berbagai pose. Sebanyak 10 foto. Di bawahnya caption, satu kata: J e l e k.

Aku terbahak. "Tapi inner beuti kan?"

"Hemm..." hanya mencibir padaku.

Baru saja berdiri hendak ke toilet kuurungkan niat. Kulihat dekat tangga di atas itu, seorang perempuan yang kukenal menuruni tangga. Ia belok ke kanan. Menuju lesehan.

Deurr! Jantungku berdegup sangat kencang! Ya, pasti dia Santi. Perempuan yang kutemui, ngobrol, dan kuberi uang Rp300.000, tapi tak kuajak kencan. Malam itu dari dekat Saburai aku langsung pulang. Bukan kamar hotel yang ditunjuk Santi.

Kenapa ia di Diggers ini? Sedang menunggu seseorang, atau hanya ingin santai sebelum pukul 12 malam? Aku membatin.

Sebelum pertanyaanku itu kujawab, Dinda pamit pulang. Basa-basi ia menawarkan aku menginap di kosannya. Saat kujawab "yuk", ia balas tersenyum.

Dinda menghilangdi balik kasir, setelah menyelesaikan bill kami. Santi mendekatiku.

"Ini saya kembalikan uang abang. Saya tersinggung. Kecewa!" katanya. 

"Lho? Itu hakmu, kamu sudah mau menemaniku ngobrol," jawabku.

"Saya tak mau terima karena tidak kerja malam itu. Saya datangi hotel itu dan kata resepsionis, abang tak ada. Ke mana?" potongnya.

"Saya urung sebab ada telepon mendadak, kawan saya sekarat di rumah sakit. Kecelakaan di jalan," jawabku berbohong untuk meredakan kekecewaan Santi. 

Baru kali ini kutemui seorang prostitusi menolak uang orang lantaran belum bertugas melayani kliennya. Padahal betapa banyak orang hanya ingin uangnya tapi tak mau bekerja!

Santi tetap tegak. Matanya tajam, tapi bukan hendak menerkamku. Ia hanya menunjukkan ketegasan, bawa dengan bekerja ia baru berhak menerima hasil. Ia juga menampakkan dirinya sama dengan lainnya.

"Aku ikhlas kok, itu hakmu dari menemani saya malam itu," kataku kemudian setelah lama kami terdiam. Hanya saling tatap.

"Saya belum bekerja malam itu. Belum apa-apa. Saya juga kecewa karena...."

"Maaf kalau saya sudah mengecewakan. Tapi saya ikhlas, saya sudah memberi tak boleh lagi kembali.  Kita berkawan, kalau kamu mau," ucapku dengan suara pelan. Seperti berharap ia memaafkan.

Kusorongkan lagi uang itu ke balik telapak tangannya. Masih uang yang kuberi kemarin.

Ia membiarkam lembaran uang di tangannya. "Masukkan ke sakumu segera. Kalau tak keberatan dan punya waktu, kau mau menemaniku di sini. Mau pesan apa, kupanggil pelayannya...." ucapku.

Santi tersenyum.

"Baiklah kuterima uang ini," Santi berujar. "Tapi maaf saya belum bisa menemani abang malam ini. Sebentar lagi saya harus bertemu seseorang. Lain kali semoga bisa. Maaf ya, saya tahu abang sejak malam itu. Abang kan seniman, wajah abang sering saya lihat di koran. Tulisannya juga..." lalu pamit.

Kulepas dengan tatapan. Tidak mau tahu siapa seseorang yang hendak ia temui. Di kafe seperti ini, setiap orang  datang lalu pergi. Tak pernah open. Itulah para pengunjung: datang bisa menunjukkan hidung, pulang tak terlihat punggungnya. 


(Bersambung)

LIPSUS