Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (18)

Kamis, 09 Januari 2020







Sendiri
Sepi
I dont know!


ITU pesan dalam kiriman tiga kali masuk ke watsappku sore ini. Siapa lagi kalau bukan Dinda Yuliastuti, si sumber inspirasiku selama ini. Aku menyebutnya "Monalisa" bagi karya-karyaku. Atau si gadis Bali buat Blanco!

Dinda sendiri di kosan. Teman-teman lain sedang berlibur menyambut Natal dan Tahun Baru.


Ini 2018.
Desember basah. Tiada hari tampaknya tanpa hujan. Entah malam, subuh, pagi, siang, atau petang. Sore ini langit cerah. Sabtu benderang.

Lalu? tanyaku kemudian.

"Aku tak tahu "

"Aku tahu."

"Apa?" tanyamu.

"Pasti rindu."

"Tidaaak!"

"Ya sudah, aku deh biarkan yang rindu," godaku.

"Nah itu betul. Kamu memang selalu punya simpanan rindu. Dibagi pada siapa saja. Kalau aku sementara jeda."

Obrolan di telepon genggam mengalir. Aku yakin kamu dengan tersenyum-senyum saat menulis. Aku pun begitu. Layaknya kamu di depanku, dan aku di hadapannu. Di sebuah kafe, yang kini belum kuperlukan namanya.

Kita mengobrol santai, walau tidak romantis. Sebab tanpa pertengkaran lagi. Kamu juga sudah menyadari tak mudah merajuk, asalkan aku tidak membuatmu kesal. Nakal.

Aku tahu, setiap kau menghubungiku lebih dulu berarti kau sedang kesepian. Dan rindu pastinya. Walaupun kamu tidak mengakui itu.

"Bedanya perempuan dengan lelaki. Kalau lelaki cepat dan berani mengungkapkan kangennya, bahkan dengan beberapa perempuan. Kalau wanita lebih baik disimpan, disembunyikan. Kendati hatinya meradang. Pria yang teliti akan tahu membaca wajah wanita yang sedang dirajam rindu. Jadi gak usah ditanya lagi," katamu.

Kau senang tidak menjadi penghuni kotak dalam ceritaku. Dinda kubawa ke tiap adegan. Ke mana kusinggah, Dinda kusebut. Tak perlu memiliki dialog.

Sejak kuniatkan ingin menghilangkan tokoh ini, kamu merajuk, marah, dan mengiba. "Jangan! Tapi kalau juga, baiknya kau matikan saja dari jembatan atau terjun dari lantai 8 sebuah bangunan. Sekalian menderita itu tokoh Dinda..."

Namun kuputuskan tidak kuhilangkan. Aku cari tokoh lain yang bakal kukorbankan. Kau sangat riang. Kau mengusulkan Rena tetap dipertahankan. Dia bisa jadi temanmu, atau saingan untuk memeroleh perhatianku.

"Tetapi, malah kumunculkan tokoh Sani. Perempuan yang ditingal mati suaminya karena terserang penyakit paru-paru. Dia menikah lagi, tapi tak lama karena dilabrak istri pertama," jelasku.

"Waduh, kenapa malah ditambah tokohnya? Jangan-jangan kamu memang sengaja, cari cara buat membunuh tokoh Dinda," serobotmu cepat. Merajuk. Wajah memerah.

"Sensi amat!"

"Yalah. Kamu sih...."

"Itu kan biar seru aja ceritanya...." aku kasih alasan. "Tokoh Sani -- lengkapnya Mulyasani Indriati -- memang pernah muncul di kafe. Saat itu aku bersama tokoh Rena, istri pelaut yang bule, di sebuah kafe."

"Alasan apa kau memasukkan Rena ke dalam ceritamu?" selidikmu.

"Ia adalah reinkarnasi dari tokoh perempuan dalam cerpenku 'Bulan Rebah di Meja Diggers' yang kukira sangat berkesan. Ternyata dia juga terinspirasi dengan tokoh tersebut," jelasku. 

Entah mengapa setiap pertanyaan Dinda, aku mendengar sebagai orang yang hendak menyelidik. Aku harus menjawab dengan hati-hati pula dan mesti logis. Karena bisa-bisa kembali terjadi perdebatan amat lama. Pertengkaran tak terelakkan. 

"Baiklah kalau alasanmu begitu. Masuk akal juga," katamu. "Sengaja aku bertanya bukan ingin menyelidikimu atau mendiktemu, melainkan harus jelas kenapa pengarang memasukkan tokoh ini dan tidak membawa tokoh itu dalam bagian tertentu. Jangan sampai sekelasmu, soal tokoh masih menjadi kendala."

Dinda menarik napas sesaat, lalu menghembuskan. Suaranya jelas. Ia mau buat jeda sejenak. Aku menunggunya bicara lagi.

"Aku terkadang kecewa kalau membaca roman, terlalu banyak memakai tokoh. Tetapi hanya sedikit yang berperan. Lainnya ibarat pemain figuran. Ya harusnya kalau tak banyak dipakai, ya tak usah dimunculkan. Mestinya pengarang belajar banyak dengan dalang  yang memainkan wayang-wayangnya."

"Lalu," masih katamu, "cara membangun narasi dan konflik juga sering terburu-buru. Muncul konflik segera diselesaikan. Kayak ketakutan habis dialog atau tak paham persoalan. Jadi cerita menjadi lemah. Mudah ditinggalkan sebelum dibaca tuntas. Sejatinya sebuah roman memberi keseruan, ketertarikan, sehingga pembaca selalu mengikitunya karena penasaran, hingga bacaan itu selesai."

Aku tak membantah. Kubiarkan Dinda mengungkapkan pendapatnya tentang roman sastra. Ia, seperti juga Rena, memang pembaca karya sastra yang aktif. Bukan saja bacaan prosa, puisi juga tak luput dilahapnya.

"Ada juga roman yang kurang detail. Menyebut bunga namun tak dijelaskan apakah mawar, ros, melati, dan seterusnya. Juga karakter tokoh, tanda di tubuh -- misal wajah apakah ada tahilalat, alisnya tebal atau tak, bibir bagaimana. Dan seterusnya. Narasi itu mesti menjelaskan agar pembaca bisa membayangkan seakan kenyatan. Novel Pramoedya Ananta Toer sangat kuat menarasikan semua itu," katamu kembali.

Aku setuju karena itu tak kubantah. Aku pernah membaca penulis muda, antara karya dan pemikirannya jauh bagai api dengan periuk. Teori atau istilahnya tip hebat sekali. Begitu kubaca karyanya, ya   tak luar biasa amat.

"Itulah, kalau menulis terpaku dengan teori-teori sendiri. Padahal saat menulis lupakan teori yang bakal membelenggu itu!" katamu. 

Aku maklum, kau sudah lebih lama membaca karya sastra. Meski tak punya niat jadi penulis sastra. Katamu, "Cukuplah aku jadi pembaca, penikmat. Itu sudah syukur. Tak harus semua menjadi sastrawan. Lalu siapa pembacanya?"

"Tepat!" balasku. "Jangan sampai kita seolah-olah serbabisa, nyatanya satu pun tak kita geluti maksimal. Akibatnya, seperti perenang yang hanya berada di tepian."

"Ya, akibat merasa seakan-akan diri bisa semua. Padahal minus kemahiran, banyak omongnya... hehehe," tambahmu.

Sungguh, aku makin mengagumimu. Kupandangi diri Dinda dari rambut panjang hingga melebihi punggung, hidung mangir putih, tangan putih halus. Apalagi yang bisa kuurai untuk mengatakanmu indah?

"Terima kasih sayang. Kamu memang patut kusayangi + kucintai. Kau sumber inspirasiku: monalisa dalam karya-karyaku," aku membatin. Sungguh, keberanian untuk kukatakan itu di depanmu tak punya. Cukuplah kusimpan.

Rena bermain-main di dekat mataku. Oh, aku berada di antara dua belokan.

*

TIBA-TIBA aku teringat Dinda. Kemarin ia mengabarkan ke rumah sakit. Ingin meriksa perkembangan penyakit yang diderita: magh kronis dan hepatitis. Ia harus sering konsulitasi. Bayangkan, sebagai perantau mesti bolak-balik, dan tiada yang mengantar. Itu sebabnya ia sering menghubungiku untuk menemaninya. Kalau aku sedang santai, segera kusambangi kosan Dinda. Tetapi, sedihnya, jika aku berada di luar kota. Ia sedih sekali. Aku pun gusar.

Dinda tak bisa kulupakan dari seluruh ceritaku, bahkan dalam hidup kesastrawananku. Seperti selalu kukatakan, ia adalah "Monalisa" buat karya-karyaku. Ia menjadi tokoh yang selalu memberi masukan, jadi kekasihku, wanita yang kuburu tetapi ia berwarna abu-abu. Terkadang pula pada suatu ketika ia bisa saja amat cemburu dengan hadirnya tokoh lain dari kisahku.

"Ya sudah kalau kamu tak mau lagi pakai namaku, karena kau sudah punya banyak tokoh rekaan kan? Jangan-jangan Nita, Santi, Rena, Sani, lalu Lina benar adanya....: katanya menuding. Wajahnya cemberut.

"Maksudmu?" pancingku sengaja untuk membikin dia banyak bicara. Dan itu menguntungkan, bisa kukadikan sebagai bahan ceritaku berikutnya.

"Jangan-jangan, mereka itu orangnya ada! Suka menemaniku kalau aku tidak ke kafe. Tidak mengontakmu. Buktknya sebulan terakhir ini aku duluan yang mengontak. Iya kan? Jujur!"

"Mereka hanya tokoh rekaan, kaulah tokoh sesungguhnya. Tokoh utama dalam sehari-hariku, juga dalam cerita fiksiku. Sungguh...."

"Bohong."

"Sumpah...."

"Kamu...."

"Sayang...."

"Idih. Tak mau disayang kamu. Pengarang suka gombal. Seniman itu pandainya merayu, kalau sudah dapat dilupakan."

"Ah tak semua seniman begitu...."

"Eh iya, sudah lama aku tak mendengar kau sebut nama Rena? Juga tak lagi ke kafe. Apa dia sudah berkeluarga...."

Ketika Dinda mengucapkan kalimat itu, aku seperti menangkap apa yang ia katakan. Sesungguhnya ia menginginkan sekali Rena sudah hilang dari imajinasiku.

"Dia lagi di Bali. Sudah sebulan. Entah urusan apa," jawabku.

"Dia kasih tahu kau?"

"Ya. Sebelum dia berangkat."

"Jadi, rumahnya kosong? Siapa yang nunggu? Kabarnya rumahnya mewah....:

"Aku tak tahu. Ia hanya memberi tahu kepergiannya. Aku tanpa bertanya ke hal lain."

"Duh sayang sekali rumahnya dibiarkan kosong," sambung Dinda. Matanya dalam menghunjam ke wajahku. Seperti hendak masuk ke dalam hatiku. Ingin membongkar hal sesungguhnya.

Tetapi, aku bergeming. Ekspresiku tak berubah. Kubiarkan imajinasinya berkelindan dan liar. Dinda masih tak bersuara. Sampai kafe akan tutup.

Aku antar ke kosannya. Setelah itu aku menuju rumah Rena. Ini kali malam ketiga puluh satu aku menungui rumah Rena. Entah kenapa aku mulai dirasuki rindu.


(Bersambung)












LIPSUS