Sendiri
Sepi
I dont know!
ITU pesan dalam kiriman tiga kali masuk ke watsappku sore ini. Siapa lagi kalau
bukan Dinda Yuliastuti, si sumber inspirasiku selama ini. Aku menyebutnya
"Monalisa" bagi karya-karyaku. Atau si gadis Bali buat Blanco!
Dinda
sendiri di kosan. Teman-teman lain sedang berlibur menyambut Natal dan Tahun
Baru.
Ini
2018.
Desember
basah. Tiada hari tampaknya tanpa hujan. Entah malam, subuh, pagi, siang, atau
petang. Sore ini langit cerah. Sabtu benderang.
Lalu?
tanyaku kemudian.
"Aku
tak tahu "
"Aku
tahu."
"Apa?"
tanyamu.
"Pasti
rindu."
"Tidaaak!"
"Ya
sudah, aku deh biarkan yang rindu," godaku.
"Nah
itu betul. Kamu memang selalu punya simpanan rindu. Dibagi pada siapa saja.
Kalau aku sementara jeda."
Obrolan
di telepon genggam mengalir. Aku yakin kamu dengan tersenyum-senyum saat
menulis. Aku pun begitu. Layaknya kamu di depanku, dan aku di hadapannu. Di
sebuah kafe, yang kini belum kuperlukan namanya.
Kita
mengobrol santai, walau tidak romantis. Sebab tanpa pertengkaran lagi. Kamu
juga sudah menyadari tak mudah merajuk, asalkan aku tidak membuatmu kesal.
Nakal.
Aku
tahu, setiap kau menghubungiku lebih dulu berarti kau sedang kesepian. Dan
rindu pastinya. Walaupun kamu tidak mengakui itu.
"Bedanya
perempuan dengan lelaki. Kalau lelaki cepat dan berani mengungkapkan kangennya,
bahkan dengan beberapa perempuan. Kalau wanita lebih baik disimpan,
disembunyikan. Kendati hatinya meradang. Pria yang teliti akan tahu membaca
wajah wanita yang sedang dirajam rindu. Jadi gak usah ditanya lagi,"
katamu.
Kau
senang tidak menjadi penghuni kotak dalam ceritaku. Dinda kubawa ke tiap
adegan. Ke mana kusinggah, Dinda kusebut. Tak perlu memiliki dialog.
Sejak
kuniatkan ingin menghilangkan tokoh ini, kamu merajuk, marah, dan mengiba.
"Jangan! Tapi kalau juga, baiknya kau matikan saja dari jembatan atau
terjun dari lantai 8 sebuah bangunan. Sekalian menderita itu tokoh
Dinda..."
Namun
kuputuskan tidak kuhilangkan. Aku cari tokoh lain yang bakal kukorbankan. Kau
sangat riang. Kau mengusulkan Rena tetap dipertahankan. Dia bisa jadi temanmu,
atau saingan untuk memeroleh perhatianku.
"Tetapi,
malah kumunculkan tokoh Sani. Perempuan yang ditingal mati suaminya karena
terserang penyakit paru-paru. Dia menikah lagi, tapi tak lama karena dilabrak
istri pertama," jelasku.
"Waduh,
kenapa malah ditambah tokohnya? Jangan-jangan kamu memang sengaja, cari cara
buat membunuh tokoh Dinda," serobotmu cepat. Merajuk. Wajah memerah.
"Sensi
amat!"
"Yalah.
Kamu sih...."
"Itu
kan biar seru aja ceritanya...." aku kasih alasan. "Tokoh Sani --
lengkapnya Mulyasani Indriati -- memang pernah muncul di kafe. Saat itu aku
bersama tokoh Rena, istri pelaut yang bule, di sebuah kafe."
"Alasan
apa kau memasukkan Rena ke dalam ceritamu?" selidikmu.
"Ia
adalah reinkarnasi dari tokoh perempuan dalam cerpenku 'Bulan Rebah di Meja
Diggers' yang kukira sangat berkesan. Ternyata dia juga terinspirasi dengan
tokoh tersebut," jelasku.
Entah
mengapa setiap pertanyaan Dinda, aku mendengar sebagai orang yang hendak
menyelidik. Aku harus menjawab dengan hati-hati pula dan mesti logis. Karena
bisa-bisa kembali terjadi perdebatan amat lama. Pertengkaran tak
terelakkan.
"Baiklah
kalau alasanmu begitu. Masuk akal juga," katamu. "Sengaja aku
bertanya bukan ingin menyelidikimu atau mendiktemu, melainkan harus jelas
kenapa pengarang memasukkan tokoh ini dan tidak membawa tokoh itu dalam bagian tertentu.
Jangan sampai sekelasmu, soal tokoh masih menjadi kendala."
Dinda
menarik napas sesaat, lalu menghembuskan. Suaranya jelas. Ia mau buat jeda
sejenak. Aku menunggunya bicara lagi.
"Aku
terkadang kecewa kalau membaca roman, terlalu banyak memakai tokoh. Tetapi
hanya sedikit yang berperan. Lainnya ibarat pemain figuran. Ya harusnya kalau
tak banyak dipakai, ya tak usah dimunculkan. Mestinya pengarang belajar banyak
dengan dalang yang memainkan wayang-wayangnya."
"Lalu,"
masih katamu, "cara membangun narasi dan konflik juga sering terburu-buru.
Muncul konflik segera diselesaikan. Kayak ketakutan habis dialog atau tak paham
persoalan. Jadi cerita menjadi lemah. Mudah ditinggalkan sebelum dibaca tuntas.
Sejatinya sebuah roman memberi keseruan, ketertarikan, sehingga pembaca selalu
mengikitunya karena penasaran, hingga bacaan itu selesai."
Aku
tak membantah. Kubiarkan Dinda mengungkapkan pendapatnya tentang roman sastra.
Ia, seperti juga Rena, memang pembaca karya sastra yang aktif. Bukan saja
bacaan prosa, puisi juga tak luput dilahapnya.
"Ada
juga roman yang kurang detail. Menyebut bunga namun tak dijelaskan apakah
mawar, ros, melati, dan seterusnya. Juga karakter tokoh, tanda di tubuh --
misal wajah apakah ada tahilalat, alisnya tebal atau tak, bibir bagaimana. Dan
seterusnya. Narasi itu mesti menjelaskan agar pembaca bisa membayangkan seakan
kenyatan. Novel Pramoedya Ananta Toer sangat kuat menarasikan semua itu,"
katamu kembali.
Aku
setuju karena itu tak kubantah. Aku pernah membaca penulis muda, antara karya
dan pemikirannya jauh bagai api dengan periuk. Teori atau istilahnya tip hebat
sekali. Begitu kubaca karyanya, ya tak luar biasa amat.
"Itulah,
kalau menulis terpaku dengan teori-teori sendiri. Padahal saat menulis lupakan
teori yang bakal membelenggu itu!" katamu.
Aku
maklum, kau sudah lebih lama membaca karya sastra. Meski tak punya niat jadi
penulis sastra. Katamu, "Cukuplah aku jadi pembaca, penikmat. Itu sudah
syukur. Tak harus semua menjadi sastrawan. Lalu siapa pembacanya?"
"Tepat!"
balasku. "Jangan sampai kita seolah-olah serbabisa, nyatanya satu pun tak
kita geluti maksimal. Akibatnya, seperti perenang yang hanya berada di
tepian."
"Ya,
akibat merasa seakan-akan diri bisa semua. Padahal minus kemahiran, banyak
omongnya... hehehe," tambahmu.
Sungguh,
aku makin mengagumimu. Kupandangi diri Dinda dari rambut panjang hingga
melebihi punggung, hidung mangir putih, tangan putih halus. Apalagi yang bisa
kuurai untuk mengatakanmu indah?
"Terima
kasih sayang. Kamu memang patut kusayangi + kucintai. Kau sumber inspirasiku:
monalisa dalam karya-karyaku," aku membatin. Sungguh, keberanian untuk
kukatakan itu di depanmu tak punya. Cukuplah kusimpan.
Rena
bermain-main di dekat mataku. Oh, aku berada di antara dua belokan.
*
TIBA-TIBA aku teringat Dinda. Kemarin ia mengabarkan ke rumah sakit. Ingin meriksa perkembangan penyakit yang diderita: magh kronis dan hepatitis. Ia harus sering konsulitasi. Bayangkan, sebagai perantau mesti bolak-balik, dan tiada yang mengantar. Itu sebabnya ia sering menghubungiku untuk menemaninya. Kalau aku sedang santai, segera kusambangi kosan Dinda. Tetapi, sedihnya, jika aku berada di luar kota. Ia sedih sekali. Aku pun gusar.
Dinda tak bisa kulupakan dari seluruh ceritaku, bahkan dalam hidup kesastrawananku. Seperti selalu kukatakan, ia adalah "Monalisa" buat karya-karyaku. Ia menjadi tokoh yang selalu memberi masukan, jadi kekasihku, wanita yang kuburu tetapi ia berwarna abu-abu. Terkadang pula pada suatu ketika ia bisa saja amat cemburu dengan hadirnya tokoh lain dari kisahku.
"Ya sudah kalau kamu tak mau lagi pakai namaku, karena kau sudah punya banyak tokoh rekaan kan? Jangan-jangan Nita, Santi, Rena, Sani, lalu Lina benar adanya....: katanya menuding. Wajahnya cemberut.
"Maksudmu?" pancingku sengaja untuk membikin dia banyak bicara. Dan itu menguntungkan, bisa kukadikan sebagai bahan ceritaku berikutnya.
"Jangan-jangan, mereka itu orangnya ada! Suka menemaniku kalau aku tidak ke kafe. Tidak mengontakmu. Buktknya sebulan terakhir ini aku duluan yang mengontak. Iya kan? Jujur!"
"Mereka hanya tokoh rekaan, kaulah tokoh sesungguhnya. Tokoh utama dalam sehari-hariku, juga dalam cerita fiksiku. Sungguh...."
"Bohong."
"Sumpah...."
"Kamu...."
"Sayang...."
"Idih. Tak mau disayang kamu. Pengarang suka gombal. Seniman itu pandainya merayu, kalau sudah dapat dilupakan."
"Ah tak semua seniman begitu...."
"Eh iya, sudah lama aku tak mendengar kau sebut nama Rena? Juga tak lagi ke kafe. Apa dia sudah berkeluarga...."
Ketika Dinda mengucapkan kalimat itu, aku seperti menangkap apa yang ia katakan. Sesungguhnya ia menginginkan sekali Rena sudah hilang dari imajinasiku.
"Dia lagi di Bali. Sudah sebulan. Entah urusan apa," jawabku.
"Dia kasih tahu kau?"
"Ya. Sebelum dia berangkat."
"Jadi, rumahnya kosong? Siapa yang nunggu? Kabarnya rumahnya mewah....:
"Aku tak tahu. Ia hanya memberi tahu kepergiannya. Aku tanpa bertanya ke hal lain."
"Duh sayang sekali rumahnya dibiarkan kosong," sambung Dinda. Matanya dalam menghunjam ke wajahku. Seperti hendak masuk ke dalam hatiku. Ingin membongkar hal sesungguhnya.
Tetapi, aku bergeming. Ekspresiku tak berubah. Kubiarkan imajinasinya berkelindan dan liar. Dinda masih tak bersuara. Sampai kafe akan tutup.
Aku antar ke kosannya. Setelah itu aku menuju rumah Rena. Ini kali malam ketiga puluh satu aku menungui rumah Rena. Entah kenapa aku mulai dirasuki rindu.
(Bersambung)