Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (20)

Minggu, 12 Januari 2020





ALANGKAH tersiksanya dipermainkan pikiran! Aku membatin. Dinda mengecewakan. Ia jalan dan bersama Sur di Diggers dua malam sebelumnya, kini mereka ke De Coffee. Pantas saja ia tak lagi menyapaku tiap pagi dalam beberapa hari ini. Kuucapkan "selamat pagi" ke WA-nya tak ia gubris.

"Oke kalau begitu, mulai pagi ini aku tak akan berharap lagi. Aku juga tak mau memperhatikan namanya di kontak HPku," gumamku.

Entah kenapa firasatku mengarah pada Dinda-Sur. Apalagi kuketahui Sur sudah jarang bersam Dora. Perempuan yang biasa jalan bersama Sur itu sudah pulang ke Surabaya. Kabar yang kuterima ia sudah menikah. 

Terakhir aku bertemu Dora dan Sur di  Taman Untung enam bulan silam. Saat itu aku dikerjai Dinda di depan kawan barunya. Dinda mengatakan aku adalah calon suaminya hanya untuk menolak kawan yang baru berkenalan di MBK. Lalu datang Sur bersama Dora. Saat itu pula, Dinda mencandai Sur. Aku mulai gelisah.

Apakah aku menyukai Dinda? Maksudku jatuh hati padanya? Lalu kenapa aku tak berani berterus terang bahwa aku tanpa dia, hidupku menjadi hampa? Dunia terasa kelam? Langit tanpa bintang?

"Dinda, apakah kau tahu bahwa hatiku terdalam sudah terpaut ikat dengan hatimu..."

"Aku gak ngerasa tuh," jawab Dinda.

Aduh! Malu aku kalau ia menjawab seperti itu. Ah, mungkin aku bukan seorang pangeran yang tengah meluluhkan hati bidadari. Apa iya, pangeran bersusah-susah begitu rupa. Seorang pangeran cukup perintah anak istana untuk mendatangi tambatan hati, lalu bidadari tak mungkin menolak. Nah aku, jauh dari tetangga pangeran. Harus kuubah cara melututkan hati Dinda.

"Aku begitu sulit untuk melupakanmu, tapi lebih sulit mendekati hatimu sekiranya kau tutup pintunya rapat-rapat," ucapku.

"O ya, bagaimana caranya kubuka pintu itu? Kau tahu?" balasnya balik bertanya.

Aku kembali terpojok. Kukira Dinda memang hanya menganggapku kawan. Tidak lebih dari itu. Ia hanya memanfaatkan aku untuk hal-hal dimana ia tak sanggup mengerjakan sendiri. Buktinya, ia seolah menyukaiku jika perlu. Ia pakai "sayang sayang" jika mau sesuatu.

Aku pindah dari balkon rumah Rena. Menuju kamar. Kupelototi laptop yang menyala. Mampet. Tak bisa meneruskan novel. Kubuku word baru. Tiba-tiba aku terangsang ingin menulis puisi. Lancar. Inilah puisiku saat batinku balau.

aku selalu mengabarkan tentang
caraku mendekati bungabunga
agar tak gugur diempas hujan
dan kau tahu bagaimana merawatnya

bukan lelaki yang memburu dan memburu
sementara angin cepat melaju 
atau daun yang segera layu 
sebab dibelai berulang 
dengan katakata yang usang

baiknya jadi air yang membeku
ia demikian keras namun dingin
lalu mencair karena waktu

Entah, apakah puisiku baik atau buruk. Tetapi itulah ungkapan hatiku saat ini. 

"Busye Busye...  kamu tu enak ya, kalau galau menulis puisi. Jika jatuh cinta lahir puisi. Riuh dan sunyi ada puisi. Seperti film India, selalu ada lagu dan menari...." Dinda menyindirku.

Aku tak sanggup membantah.

"Memangnya Sharukh Khan?"

"Ih jauh kali. Dia mah tampan, nah kamu....:

Percakapanku dengan Dinda tidak berlangsung lancar. Bagaimana aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya? Sampai kapan ketakjelasan ini? Apakah aku benar-benar ingin menjadikannya kekasih? Aku terus dirundung kegelisahan.

*
PUKUL 18.00 kutinggalkan rumah Rena. Aku sudah janji bertemu dengan Sur. Ia akan memberi mengirim lokasi setelah tiba. Dari pada tersiksa lebih lama di rumah Rena, aku keluar. Aku mampir di KGM, markas komunitas wartawan dan politisi.

Di KGM sudah ada Ijal, Andri, Cak Im, Bung Anton, dan banyak lagi. Mereka sedang mendiskusikan calon legislatif yang kalah pada penghitungan pamungkas, padahal sudah pesta ria karena menurut hitungan cepat dia menang.

"Kasihan kawan kita itu. Bukan saja sudah rugi, tapi malunya itu siapa yang nanggung," kata Anton.

"Tanggung saja sendiri, jangan dibagi-bagi," timpal Andri, penulis lepas yang tulisannua kritis dan cenderung nyinyir.

Lalu riuh. Perdebatan sulit dihindari. Ini kali aku malas diskusi politik. Di ruang sebelah mantan aktifis justru membimcangkan soal jatah menjatah. Aku dengar mereka ingin menggelar diskusi "Berapa Jatah Saya?". Kemarin kawan di sini yang dulu katanya pemimpin redaksi, terkenal pandai mengolah situasi. Tak perlu heran kawan ini bisa cepat berpindah-pindah. Dia bisa seolah sangat mencintai literasi, esoknya seolah ia musisisi andal hingga siap membela para muisisi, lalu dunia lawak, olahraga, dan kuliner.

"Pokoknya ia serbatalenta! Semua bidang di dunia ini ia kuasai..."

"Siapa?:

"Bung Kita," kata yang lain.

"Kalau Bung Kita, kalau bisa semua dijabanin. Dia reformis, juranlis andal, sastrawan kesohor dari Busye, dan sebagainya."

Kupikir diskusi setengah kamar itu mengasyikkan, tapi kurang jelas visinya. Maka, kukira, lebih mesra berteman dengan politisi tinimbang mendebatkan soal politik. 

Yono kupanggil. Agak keras. Telinganya bermasalah. Kuminta Yono membuatkan kopi pahit.

"Gak pakai gula bang Busye?"

"Ya."

"Sedikitpun tidak? Pahit dong..." kata Yono.

"Diriku sudah manis, tak perlu lagi digulakan..." balasku sambil tertawa.

"Apalagi di musim pilkada ya bang, di mana-mana gula. Tapi kok gak ada semut ya?" ujar Yono.

"Siapa bilang? Banyak semut mengerubung. Minta jatah jual suara," kataku

Soal gula beberapa tahun terakhir ini memang jadi trending topic di daerahku. Khususnya pada saat pemilihan kepala daerah. Si perempuan bos gula langsung turun ke gelanggang. Menyiapkan distribusi ke akar rumput. Ia siap mengucurkan uang berkarung-karung, kaos, sembako, gula, dan dana buat panggung seni rakyat. Dan, ia berhasil. Setiap yang didukung dan didanainya pasti menang.

Ketika menang sesungguhnya dialah kepala daerah sebenarnya! Ia mendikte, mengarahkan pemerintahan. Terpenting lagi, pajak perusahaannya aman. Jika menunggak, kalau mungkin diputihkan. 

"Bang kopinya, dingin gak enak lo..." Yono membuyarkan pikiranku.

Dari ruang sebelah, diskusi makin memanas. Iman pandai mengompori. Dari ruang lain, para aktifis mahasiswa  masih menyoal pemerintahan kini tak punya visi untuk perubahan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Gerakan KPK baru sebatas OTT dan OTT.

(Bersambung)

LIPSUS