Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (21)

Senin, 13 Januari 2020



LANGIT sangat hitam. Satu persatu pengunjung Kafe Marley di bilangan Pahoman Kota T meningalkan taman. Khawatir hujan tiba-tiba jatuh. Sur mengajakku ke meja yang di belakang kami ada lirik lagu Bob Marley yang puitis sekali:

         Kamu berkata kamu suka hujan, 
         tapi kamu menggunakan payung
         untuk berjalan di bawahnya. 
                
         Kamu berkata kamu suka                         matahari, tapi kamu mencar                     perlindungan ketika matahari                   bersinar. 

         Kamu berkata kamu suka angin, 
         tapi ketika angin datang kamu
         menutup jendelamu  
         
         Itu sebabnya aku takut ketika 
         kamu mengatakan mencintaiku


"Kadang kita mengatakan mencintai seseorang, tapi hanya berharap yang menguntungkan. Bukan itu sebetulnya, tapi juga mencintai kekurangan untuk di isi...." kataku pada Sur, setelah kami menyantap nasi goreng. 

"Ah aku gak paham soal itu. Bagiku cinta adalah seberapa besar isi kantong kita. Walaupun wanita bilang mencintai kita, kalau kita miskin apa dia mau?" balas Sur.

"Janganlah kau samakan tiap orang. Jangan pula sesuatu diukur dari materi."

"Realitanya begitu kawan...." sergahnya.

"Kukira tidak semua," kuyakinkan dia.

Sur diam. Ia mau mengarah pada Dinda, kubalikkan kemudi. Aku tak ingin ia mencari tahu pribadi Dinda. Tak pula kuingin ia melihat Dinda dari materi. Dinda adalah perempuan yang patut disayangi. Berkawan denganku karena memang harus berteman. Bukan dari kelebihan masing-masing.

Ah di mana Dinda? Tiga hari lalu ia berkabar akan ke Palembang. Kebetulan ia cuti. Dinda ingin mengajakku, tapi aku tak bisa.

"Sekali-kali refressing. Jangan pula kamu diperbudak kerjaan," kata Dinda.

"Aku gak bisa nganggur Dinda. Lagipula aku masih nyelesaikan novelku. Kalau sudah rampung boleh kau ajak aku ke mana pun. Aku siap dan manut," ujarku.

Ia tersenyum.

"Serius?"

"Ya."

"Tak ada yang marah? Maksudku cemberut..."

"Tak ada. Emang siapa?"

"Rena... Sani.  Atau Santi?" kata Dinda. Ia tertawa.

"Mereka bukan apa-apaku," bantahku.

"Tapi Rena begitu perhatian denganmu..." kata Dinda.

"Kamu lebih dari itu."

"Ah yang benar?" Ia sumringah. Dikibas rambutnya, padahal tak kusut.

*

Dinda adalah perempuan yang patut kusayangi. Bahkan oleh siapa pun. Sangat bersalah jika ada lelaki yang sudah atau ingin menelantarkan. Mantan suaminya jelas menyesal sampai mati karena sudah menceraikannya. Andai ia adalah istriku, akan kurawat pohon cintaku. Selalu kusiram bagaikan aku menyiram  pohon di taman.

Baru saja kuterima pesan WA dari Dinda. Benar, saat ini ia di Palembang. Sebenarnya aku mau turut. Hanya saja Rena pulang sore nanti. Sampai di rumahnya pukul 19.00. Tidak mungkin kutinggalkan rumah tanpa penunggu. Maka itu aku tidak bisa turut dengan Dinda.

Rena sudah meneleponku. Ia berpesan agar aku jangan pergi dulu sebelum ia datang. Ia juga mengatakan bahwa telah membawa oleh-oleh. Entah apa bawannya untukku. 

"Kalau kukasih tahu, gak surprise...." katanya. 

Aku tertawa.

"Aku kangen lo sama kamu. Sastrawan idolaku..  hehe..."

"Aku juga rindu..."

Rindu? Apakah benar aku punya rindu? Mungkinkah aku merindukan Rena? Bukan Dinda? Dua pererempuan ini memang melekat dalam batinku.

*

Sur sudah kembali dari toilet. Pertama yang ditanyakan masalah novel yang kutulis. Meski belum rampung, kukatakan sudah 95 persen selesai. 

"Jadi tinggal finishing saja. Ya dua pekan lagi siap dilayout lalu naik cetak," jelasku.

"Berapa halaman? Kau tahu berapa biaya ceta?" tanya Sur.

"Tebal kukira 250 halaman. Kalau biaya cetak tak tahu. Kau bisa survey percetakan, Sur."

"Ah tak perlulah. Aku hanya tanya, mungkin saja tahu," ujar Sur. "Begini saja, aku ada 150 juta. Yang 50 juta buat biaya cetak, mungkin bisa seribu eksemplar. Nah Rp1000 juta buat honormu dan lain-lain untuk survey dari kafe ke kafe  Bagaimana?"

Aku terperanjat. Seumur hidupku baru kali ini pegang uang Rp150 juta! Juga honor terbesar selama aku jadi sastrawan.

"Aku berencana buat roadshow peluncuran di beberapa kota. Dana itu kusiapkan nanti, kalau kau mau dan menganggap perlu," imbuh dia.

"Kupikir launching gak usah Sur. Biayanya besar, dan aku akan merepotkanmu. Ini juga aku bimbang memulangkan uangmu. Kau tahulah,, buku sastra belum bisa dijadikan ladang bisnis. Karya sastra belum jadi kebutuhan hidup, sehingga masyarakat masih berpikir berkali-kali untuk membeli buku sastra. Tak heran, stok buku lama berkurang," jelasku.

Kecuali penulis tertentu, seperti Tere, Asma Nadia, Habib, Andre, Benny Arnas, Herlvy, J.K. Rowling. Lainnya ya tetap kere! Gumamku.

"Kau tak usah berpikir itu, Busye. Kalau ini kau anggap utang, ya pinjaman lunak. Ha ha..  Lunas aka tanpa bayar!" jelasnya.

"Maksudmu?"

"Kau menulis novel itu karena permintaanku kan? Jadi aku yang tanggung segala sesuatunya. Paling kuminta namaku disebut di lembar dedikasi. Bisa kan?"

"Ok. Tapi gak harus memuji dan menyanjungmu setinggi langit kan? Misal dewa penyelamat sastra dan sastrawan. Pendobrak genre sastra. Lalu minta diakui tokoh sastra berpengaruh. Haha..." kataku tentu bercanda.

"As....."

Aku lepas tertawa. Ia tadinya mau teriak "asu" tapi terjeda karena tawaku yang lepas. Kami pun terbahak bersama.

Tapi, dalam hati aku mengatakan, bukan utama ia membayarku dengan menulis novel. Aku teringat semasa kuliah dulu. Sama-sama bernasib anak kosan. Hanya Sur beruntung karena dari keluarga mampu. Punya mobil.

"Kalau nanti aku kaya bukan dari  kekayaan orang tuaku, dan kau masih belum kaya, aku belikan kau mobil! Tapi bukan mobil mewah lo!" 

"Haha...  jangan ngehayal jauh Sur. Hari ini saja sudah pening," sergahku. "Tapi jangan-jangan terbalik nasib kita. Aku milyarder.  Akan kubelikan kau pesawat terbang!"

"Amin."

"Amin."

Doa terbaik ialah mengaminkan ucapan yang baik, rencana yang bagus, khayalan yang baik pula, dan impian yang baik-baik.

Inilah kenyataan, lima belas tahun kemudian. Sur makin dilimpahkan kekayaan. Aku bisa mencetak buku seharga 50 juta. Lalu kuniatkan beli mobil berharga Rp75 juta. 

Sisanya? Hai Dinda, mari kita pelesir. Mari nikmati Pantai Kuta. Tanpa Sur ya? Jangan kau kasih tahu Sur? Bahkan Rena ya? Aku membatin.



(Bersambung)







LIPSUS