Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (32)

Sabtu, 01 Februari 2020


KINI aku baru tahu. Dinda sering bertemu dan jalan dengan Sur. Bahkan keduanya permah keluar kota. Rena? Mungkin dalam pelukan para lelaki. Itu sebabnya, ia pergi-pulang Bali. Rumahnya dibiarkannya tanpa penghuni. Beberapa kali Rena memintaku tinggal di rumahnya, namun selalu kutolak.

Mungkin karena itu pula, Rena sungut. Tak lagi mengirim kabar melalui WA. Apatah lagi meneleponku. Beberapa lembar pakaianku masih di rumahmya. Tak kuambil, tak pula dibawa Rena padaku. Juga kaos t-shirt Bali, California, dan Amsterdam yang dibelikan Rena kubiarkan di kamarnya. 

Aku tak butuh pakaian yang semu itu, gumamku. Pakaian milikku lebih berharga menutupi tubuhku.

Tiba-tiba kuingat Santi. Perempuan yang kunjumpai di Jalan Gajahmada dan kerap mangkal di jalan itu  Sriwijaya itu. Di mana ia? Sedang apakah dia? Lagi-lagi aku membatin.

Kubuka telepon genggamku. Kuselisik nama dan nonor Santi. Yap! Kutekan fitur telepon. Tersambung. Tetapi tak direspon. Kuulang. Juga tak direspon. Mungkinkah Santi sedang melayani pelanggannya?

Aku kirim pesan pendek ke WA-nya:

"Malam Santi, 
Semoga kamu sehat dan selalu riang. Kamu di mana, sama siapa, dan lagi apa? Aku di Diggers sekarang. Kalau kau tak sibuk, kutunggu di sini. Kita ngobrol dan makan malam. Sampai jam 23.00 aku masih di sini. Thank a lot."

Meluncurlah pesan pendekku masuk ke HP Santi. Sejam kemudian belum direspon. Pesan pendekku itu belum pula dibacanya. Iseng kupencet nomor WA-nya. Terdengar dering. Kunanti, Santi tak mengontak kembali.

"Ah, mungkin ia sedang menemani lelaki. Barangkali juga lagi kesal karena tak ada pelanggang mengajaknya...." batinku.

Santi adalah perempuan beranak satu. Ia berpisah. Memilih jadi perempuan malam yang mangkal di Jalan Gajahmada-Sriwijaya Kota B. Tak jauh dari tempatnya menunggu langganannya, ada hotel kecil dan berbagi ruang dengan karaoke. Sur, suatu ketika pernah mengajakku berkaraoke di sana. Banyak pelajar dsn mahasiswa. Ada pula pasangan dewasa. Mungkin menyamar pasangan suami istri. 

Saat itu aku dikenalkan seorang perempuan, temannya Santi. Setelah karaoke aku pulang, sementara Sur melanjutkan perjalanan dengan perempuan yang baru dikenalnya. 

Kini aku ingin bersama Santi. Bersantap malam. Lalu mengobrol hingga buncah sekalipun!

Aku ulang kirim pesan singkat. Kali ini ke nomor handphone Santi.

"Malam,
Kamu lagi di mana? Bisakah ke Digger sekarang? Tapi kalau kamu sibuk, besok kutunggu ya..."

Klik. Terkirim.

Santi membalas. 

"Hai bang Busy. Aku santai kok. Bisa. Tp stngh jam lg bisa kan?"

"Ok. Aku tunggu."

Setengah jam berikut Santi mengirim Short Messeg System. Singkat.

"Aku sdh otw."

Aku tersenyum. Tak ada Rena, tak perlu Dinda. Kini aku ingin mengobrol dengan Santi. Perempuan yang selama ini jarang masuk ke ceritaku. 

Tak lama kemudian Santi sampai. Ia menuruni anak tangga Kafe Diggers. Menuju mejaku di sudut kiri dekat pagar pembatas ke jurang. Bintang di langit dan lampu-lampu kota di bawah sana, saling beradu kerlip.

"Hai bang..."

"Hai Santi. Apa kabar?"

"Mestinya saya yang bertanya, apa kabar bang Busye? Tumben tiba-tiba ingat aku, dan ngajak makan dan ngobrol. Ada apa ni? Mana Dinda?"

"Aku kabar baik. Hanya mau ngobrol. Tiba-tiba aku teringat kamu. Maka kukirim pesan..."

"Tiba-tiba ingat aku?" tanya Santi. "Kalau tiba-tiba, berarti sebelumnya tak. Atau sekelebat, yang bisa saja sebentar lagi lupa..." Santi menggodaku.

Ah! Andai ia tak memilih pekerja seks komersial, kuyakin melamar jadi sekretaris di hotel. Atau resepsionis hotel, pelayan swalayan, pasti diterima. Perempuan separas Santi dibutuhkan banyak perusahaan... batinku.

Kupandangi wajahnya. Rambutnya sebahu. Ada poni sedikit. Anting-antingnya selalu tampak karena rambutnya sengaja ia buka.

"Kamu gak kerja?"

"Malam ini aku off. Malas sekali. Entah kenapa belakangan ini aku bosan, jenuh, tak bersengat dengan pekerjaan seperti itu. Tubuhku sering kedinginan kena embun malam...."

"Kenapa kamu tak cari kerjaan lain? Misal resepsionis, pelayan supermarker.... "

"Mana mungkin diterima," potong Santi.

"Kamu belum coba, kenapa sudah bilang gitu..."

"Aku gak punya ijazah. Parasku pas-pasan..." balas dia.

"Jangan merendah. Kamu itu cantik tahu! Manis! Aku yakin kamu bisa kerja bukan di tempat seperti itu."

"Kok kamu yang yakin? Apa alasannya?" tanya Santi.

"Kamu manis. Kanu cantik. Kamu cerdas. Kamu santun. Layak jadi kerja sebagai sekretaris atau pelatan di mal."

"Ah. Kamu hanya memberi harapan, bukan kenyataan," katanya kemudisn.

"Kamu juga gak pernah mencoba. Bagaimana bisa jadi kenyataan?"

"Oke. Akan kucoba."

"Kamu serius mau?"

"Ya. Aku akan coba. Tapo mas Is mau bantu aku kan?" 

"Siap! Besok malam kubawakan pena, kertas, amplop beaar. Kau buat lamaran kerja. Aku ajarkan bagaimana buat surat...."

"Bukan itu saja yang kumau..."

"Apa lagi?"

"Antarkan aku ke perusahaan yang kutuju dalam surat lamaranku."

"Oke. Siap."

"Kalau begitu besok pagi aku ke rumah Is. Boleh? Di mana?"

Aku mengangguk cepat. Kutulis alamatku di telapak tangannya dengan spidol kecil. Jelas. Benderang. Aku yakin dia tak akan tersasar.

Kubayangkan esok Santi mengetuk rumahku yang masih terkunci. Sebab aku belum terjaga pada jam 9 hingga 11 siang.

*
Benar! Beberapa kali Santi mengetuk pintu. Pada ketukan entah ke berapa, aku terbangun. Belum mencuci muka aku beranjak dari tempat tidur, dan membuka pintu.

Santi tersenyum di ambang pintu. Sungguh cantik. Tanpa sungkan ia mencium pipi kanan dan kiriku. Aku undur sedikit saat ia hendak mengecup bibirku. Masalahnya aku belum sikat gigi.

"Maaf mengganggu. Aku tepat waktu kan bang?" katanya setelah ia melangkah masuk.

Aku mengangguk.

"Mau kibuatkan kopi? Bair ngalir ngobrolnya..." 

Sebelum kurespon ia langsung ke dapur. Seperti tahu lekuk-liku isi dapurku, ia hidupkan kompor. Menjerang air di atasnya. Mengambil gelas dan menuangkan kopi tanpa gula.

"Minum kopi yang baik bagi kesehatan, tanpa gula. Kopi pahit..."

Aku terhenyak.

"Kamu tahu kebiasaanku mengopi pahit?" tanyaku heran.

"Tidak. Hanya aku yakin pecandu kopi seperti bang Busye pastilah tanpa gula. Selain itu tak kulihat ada gula putih di dapur. Jangan-jangan mas Is sengaja rumah tanpa gula, lantaran alergi dari pilkada?"

Aku terbahak.

"Maksudmu yang merusak demokrasi kita karena pengusaha gula itu? Ibu Purnamawati? Hahaha..."

Santi hanya tersenyum pelan. Hanya terliat di bibirnya. Ih, ingin kunikmati bibirnya itu. Andai aku sudah sikat gigi. Dalam hati aku berujar.

Ia mengaduk-aduk kopi beberapa kali searah putaran jarum jam. Setelah itu menyorongkan gelas ke depanku. Mengambil rokok dan zippo. Ia ambil sebatang lalu menyerahkan padaku. Kuambil dan kunyalakan. Ia mengambil sebatang untuknya.

"Boleh aku merokok?" tanyanya sopan. Hati-hati. Ekor matanya berpindah-pindah.

"Silakan. Aku seorang di rumah ini," jawabku. Aku paham ia khawatir ada penghuni lain.

Lalu kami merokok. Berbincang. Tertawa. Saling cubit. Saling ledek. Surat lamaran berkeja selesai. Ia memasak nasi, menggoreng tempe dan ikan asin. Membuat sambal terasi. Kami makan siang. 

Santi adalah perempuan pertama berkunjung ke rumahku. Ia layaknya penghuni rumah ini. Tahu lika-liku rumahku. Bahkan ia menumpang istrihat di kamar tidurku. Sampai ia keluar untuk "bekerja" di Jalan Sriwijaya-Gajahmada.

Kenapa aku menggunakan tanda petik dua untuk "bekerja" bagi pekerjaan Santi? Sebab, itu bukan pekerjaan! Ia setuju. Tadi sore aku sempat rebahan di sebelahnya. Tubuh Santi wangi.


(Bersambung)

LIPSUS