Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (38)

Kamis, 06 Februari 2020



KABUT luruh 
menutup gunung
aku di pintu
duduk ngungun

Tak ada lagi nama-nama
yang dulu kusimpan
dan bisa kukenang

Sungguh aku kerasan di sini
memandang kabut pegunungan
dan tiap petani kebun kembali 
aku hentikan, kuminta turunkan
buah-buah durian itu.

Zefri tertawa-tawa dari pesanggrahannya melihatku lahap memakan durian. Satu habia kubuka lainnya. Tubuhku panas. Kepalaku mulai pening.

"Baiknya kau turun selesai satu buku cerpen," tantang Zefti.

"Wah, berapa hari aku di sini? Yang beruntung nyamuk. Mereka bakal gemuk," jawabku. 

Lalu ikut tertawa.

Pagi belum lagi pergi. Aku belum mandi. Tapi dua jam lalu aku sudah sarapan. Maka tak masalah ketika Zefri menyorongkan empat buah durian.

Kata Zefri, di rumah kau akan tersesat dalam labirin kata. Dinda yang kau buru sudah pergi jauh. "Ingat yang pergi tak perlu dicari..."

"Salah! Yang hilang namun tak galau, pasti karena ia merasa tak memiliki. Itu kata orang bijak," jawabku.

Aku pun mengamsalkan jika kita tak pernah sedih karena kehilangan sesuatu, pastilah tak merasa memiliki. Orang yang memiliki, yang punya karyanya, akan selalu sedih dan risau jika kehilangan.

"Bisa kau bayangkan, kau tak sedih saat istri atau suamimu hilang ataupun meninggal, aku meragukan kau mencintai pasanganmu," lanjutku.

"Konkritnya, kau merasa memiliki Dinda?" Zefri menyudutkan. Aku tergagap.

"Entahlah."

"Kenapa entah? Artinya kau tadi hanya kamuflase bahwa kau galau karena Dinda belum juga kau temui...."

"Usah bawa-bawa Dinda!" potongku. Zefri diam. Tapi tetap tersenyum.

Diam. Kami diam.

"Aku sudah tak ada hubungan dengan Dinda. Kami memang bukan apa-apa, kecuali kawan. Ia inspirasi bagi karya-karyaku. Titik. Cuma itu...."

"Lalu kenapa kau lari ke sini?"

"Aku tak lari. Hanya introspeksi. Muhasabah."

"Apa bedanya dengan kau gelisah karena kehilangan Dinda. Akhirnya kau ke sini, untuk pelarian. Ya kan?"

Lalu sindir Zefri, 

"Busye galau
Dinda resah.
Duh campur aduk
Aduk-aduk dicampur!"

"Diam kau Zef. Kalau tidak, kulit duren ini sampai ke mukamu!" ancamku.

"Weit! Sabar sabar kawan. Jangan ada yang tewas di kaki gunung ini. Hayo, siapa yang menguburkan?"

Aku pun tertawa.

Tak mungkin sungguh-sungguh kulempar kulit durian ini ke wajah Zefri. Ia karibku sejak bekerja di koran. Ia orang baik. Santun. Penolong. Suka menabung. Buktinya dia bisa bangun pesanggrahan ini. Batinku.

"Oke. Kita habisi lagi duren ini. Lupakan masalah Dinda. Duren lebih renyah. Tak abdsurd. Wanita itu abstrak. Mereka, sebuah misteri. Seperti kematian...." kataku. Tentu karena benciku pada Dinda.

"Ya! Secepatnya aku bisa melupakan Dinda. Bukankah masih ada Nita, Santi, Sani, Rena, dan...." kataku lagi. Ini kali pongah.

"Kayak Sang Don Juan saja kau. Tampan saja belum cukup, dompetmu juga pas-pasan! Haha....." 

Lalu Zefri lari ke puncak. Ia ingjn ke air pancuran. Mandi telanjang.

Aku menyusul. Sudah lama tak bugil mandi di pancuran atau curup. Sudah sangat rindu. Seperti masa mahasiswa dulu.

Dinda! Aku lupakan dirimu. Tapi apa aku bisa?

Sebuah puisi malam tadi kulahirkan di dalam handphoneku adalah bukti perasaanku pada Dinda:


AKU SINGGAH, PERAMAL YANG GELISAH

siang sibuk. aku datang padamu
rumah sunyi. telah kuagendakan senyummu
di lembar pertama catatan harianku ini hari
dan telapak tanganmu + aku menyatu. seperti
peramal menerka takdir, meski aku masih gelisah
: apakah ini tafsir atau aku taksir masa kini
dan masa datang

                di antara gemuruh dan hening
 
                dalam kecamuk atau amuk

-- marah dan manja -- 

wajahmu yang selalu merekah
bagaimana bisa kulupakan?

2020



(Bersambung)





LIPSUS