Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (40)

Minggu, 09 Februari 2020


Dinda adalah sayap bagiku
aku terbang ke segala temu.
Tapi kenapa Rena kini datang
membawakan sayap agar aku 
terbang bersamanya di alam luas?


ADA pertanyaan yang membuatku terperanjat dari
Seseorang, temanku, katanya:
Kenapa Rena pakai menyusul segala?

Aku jadi bete, tahu!

Itulah kehidupan. Penuh teka-teki. Begitu misteri. Aku sendiri tak bisa mengendalikan jalan hidupku sendiri. Termasuk menyetir kisah yang mungkin sedang, sudah, atau akan kurangkai. Cerita itu dapat saja berbelok 100 derajat dari apa yang hendak kukisahkan. Tiba-tiba terhenti atau malah berjalan lancar tanpa dapat kukendalikan.

Seperti kau, ya seperti kamu. Ya Rena! Dia yang telah membuat keretakan antara aku dan Dinda, datang ke tempat pelarianku. Alasannya mau minta maaf, kangen, dan membawa kabar baik untukku. Lalu bermalam pula denganku di pesanggrahan Erland. Bukankah itu taktik?

"Makanya kalau datang padamu seorang perempuan, harus waspada. Ia bawakan muslihat banyak sekali di genggaman tangannya," itu kata Sur, suatu hari. "Sebelum muslihat perempuan mengenai kita, kita sebagai lelaki harus cepat jaga diri dan melempar muslihat lebih dulu."

Sur mengibaratkan muslihat sama dengan teluh. Guna-guna. Rapal. Mantra. Yang jika kena, orang tersebut akan selalu menurut. Ia dikendalikan. 

Lalu apakah Rena menemuiku juga membawa guna-guna? Muslihat agar aku memaafkannya? Karena ia lagi kesepian dan aku obat bagi kehangatannya? 

Kubiarkan dia tidur telentang setelah matahari terbangun. Aku mendaki dan mandi di air terjun. Ada 4 pria di atas, dan dua perempuan berusia 20-an tahun turun mandi. Bagai dua bidadari dari kahyangan. Mengenakan kain menutup dada hingga dengkul. Tapi bahu dan betisnya jelas terlihat.

Ketika kembali ke pesanggrahan, Rena sudah bangun. Ia sedang menikmati kopi susu. Segelas lagi kopi pahit untukku.

"Kok gak ajak aku?" tanyanya saat kujelaskan dari air terjun.

"Tidurmu nikmat. Jadi gak tega kuganggu..." jawabku. "Kamu mandi di kamar mandi itu. Airnya juga dingin....:

"Ya nanti. Kuhabiskan dulu minumanku ini dulu..."

Aku mengangguk. 

Rena mengenakan daster tipis. Jadi kulit di balik bajunya tampak sekali. Duduk di depanku. Ia juga tak sungkan membiarkan ujung dasternya terbuka ke atas, membuat terlihat pahanya.

Ia menganggapku sudah bukan orang baru dikenal. Pikirku.

Aku juga tak menganggapnya daging yang menggiurkan. Jadi, bukan karena aku tak punya syahwat, hanya aku tak ingin semena-mena.

Sejak kemarin malam kami hanya mengobrol tentang kabar dan keberadaan. Rena mengharapkan aku seperti dulu. Menginap di rumahnya jika ia pergi. Atau kabari ia kalau ke kafe. Bahkan ia berharap suatu saat bertiga Dinda ke kafe.

"O ya, apa Dinda sudah menghubungimu?" tanya Rena setelah ia mandi dan ganti pakaian. 

Ini kali ia memakai kaos t shirt "Pengunjung-Pengunjung Kafe" yang kukasih setengah tahun lalu. Celana jins biru ketat. Ia keluarkan sebungkus rokok kesukaanku dari tasnya, lalu menyorongkan ke depanku. Kubuka dan kuambil sebatang. Kuhisap. Kunikmati.

"Kamu beli di bawah sana?" 

"Ya. Kupikir kau pasti tak banyak bawa rokok. Kalau habis susah turunnya..."

"Ok. Terima kasih Rena," balasku.

"Mungkin sore nanti aku pulang. Kalau kamu mau, bersama aku saja sekalian. Motormu titip di rumah warga. Bagaimana Busy?"

"Aku besok siang pulang. Masih ada yang kukerjakan di sini..."

"Oke kalau begitu. Tapi kamu mau antar aku turun kan?"

"Tentu..." jawabku singkat.

Lalu Rena merapatkan kepalanya padaku. Bersandar di dadaku. Aroma rambutnya meruap. 

"Tadi aku mandi keramas...." katanya sambil tersenyum.

"Lho...."

"Biasa. Mimpi.. hihihi."

Aku hanya tersenyum.

Lalu ia bicara lain. Soal uang warisan bekas suaminya di Bali. Katanya sudah beres. Aman. Bisa dipindah ke rekening miliknya. Namun aku tak mau tanya berapa nominalnya.

"Eh jangan lupa besok kalau kau pulang, hubungilah Dinda. Mungkin saja ia gengsi atau apalah. Kalau aku kan cuek. Gak dikontakmu aku yang meneleponmu.... haha...."

Aku diam. Sebatang rokok lagi kunikmati. Siang ini. Di depan Rena.

*

Sur meneleponku. Meski agak tersendat karena signal masih bisa kupahami suaranya. Sur ingin bertemu besok malam di Kafe Marley. Aku bilang "InsyaAllah."

"Jangan tak ya..."

Aku jawab: "Akan kuusahakan."

"Ajak Dinda juga."

"InsyaAllah," kataku.

"Dari tadi insyaAllah saja kau Busy. Sudah religius ya kau..." balas Sur lalu tertawa.

Aku tak merespon. Kini aku kembali sendiri. Baru kuantar Rena ke bawah. Sampai ia hidupkan mobil dan bergerak, baru aku naik lagi. Sengaja telepon genggamku kutinggalkan. Ketika kubuka ada 5 panggilan dari Sur. Telepon ke 6 kuangkat.

Seperti biasa Sur selalu ceria. Ia tahu aku di gunung dari Dinda. Ia juga tahu kalau Rena menyusulku.

"Apa Rena masih bersamamu Busye? Nikmat dong..."

"Dia sudah pulang," jawabku.

"Oo kukira sedang dalam pelukanmu. Ia agresif ya. Beda dengan Dinda."

"Kau sibuk apa Sur?" kualihkan percakapan. 

"Masih seperti biasa. Eh jadi kita roadshow novelmu? Aku siap jadi penyandang dana tunggal. Kau ajaklah Dinda. Biar dia ikut menikmati keberhasilanmu juga. Biar dia turut merasa bahagia..." jawab Sur.

"Ya semoga tercapai.   Pekan depan insyaAllah novelku selesai cetak. Juga kumpulan cerpenku."

"Wow dua buku sekaligus?" 

"Ya. Penerbit di Jogja minta naskahku. Kebetulan aku punya stok kukirim saja. Dan direkomendasi terbit segera."

"Apa judul buku cerpenmu?"

"Aku betika kau perempuan, Sur," jawabku.

"Cerpen soal lesbi itu? Yang dimuat Tempo?"

"Persisnya Koran Tempo."

"Ok. Aku suka cerpen itu. Aku pesan dua ya..."

"Gak sedikit? Sepuluhlah minimal," kataku.

Sur terbahak.

"Oke. Bawakan aku 20 eksemplar ya!" jawabnya tegas.

"Siap. Kukabari kalau bukunya sudah kuterima ya...."

"Ok. Jangan lupa besok malam di Marley. Ajak Dinda...."

"Hmm."

Klik.

Dinda mengirim pesan  ke WA-ku.

Busy.... maaf aku ganggu. Kamu di mana? Besok malam ketemuan ya. Ada yang mau kuobrolkan. Kau mau kan?

Ya aku lihat besok. Kalau aku ada gawe ya gak bisa. Tp pasti kukabari.

Kuharap kamu gak sibuk, gak ke mana-mana. Aku pengen banget ketemu kamu. Jalan sama kamu. Minum di kafe lagi. Kayak dulu. Di Diggers ya...

Besok sore kukabari, bisa atau tak.

Bisain sih. Tunda yang lain. Aku janji gak ngeselin kamu...

Bukan soal itu.

Ya. Pokoknya kamu harus bisa...

Aku biarkan WA terakhir Dinda itu. Aku menikmati serombongan pendaki menuju gunung. Tak satupun tanpa bawaan. Berat sama-sama dirasakan. Agar menikmatinya juga bersama di puncak gunung nanti. Bukan ibarat berat bawa sendiri, kalau menikmatinya bersama-sama. Atau para politisi bilang: kalau lagi berjuang hanya seorang, tapi saat sukses mengklaim milik sama-sama! 

Di sini aku banyak belajar cara kebersamaan. Saling menjinjing bersama barang yang berat, dan menikmatinya pun sama-sama. Bukan hanya pesta baru menari, tapi waktu kerja hilang semua.

Kebersamaan yang harus dirawat. Saling menolong selalu dipertahankan. Ya. Aku banyak belajar dari para pendaki.

(Bersambung)


LIPSUS