Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (47)

Senin, 17 Februari 2020






RENA memintaku menjemput di rumahnya. Kata dia saat meneloponku sore tadi, mobilnya sedang di bengkel. Soal pendingin dan mesin yang bermasalah.

Usai magrib aku sudah di depan gerbang rumah Rena. Aku WA dia. Rena turun dari kamarnya dan pintu gerbang pun terbentang. Kumasuki mobil dan parkir di sebelah kiri rumahnya.

"Makan dulu ya Busy? Sambil nunggu orang pulang dari masjid," Rena berujar sambil tersenyum. "Masuk dulu...."

Aku mengikuti Rena dari belakang. Dia menuju tangga ke lantai dua, aku pun melangkah di belakangnya. Ia merapikan meja makan, meletakkan lauk, membawa nasi. 

Rena duduk menyendok nasi ke piring. Aku di sebelah kirinya. Kami makan. Tentu diselengi percakapan.

"Dinda minta maaf. Dia sadar apa yang dilakukannya salah," kata Rena.

"Bagaimana kau bisa menyadarkan dia?" 

Aku tak yakin Dinda bisa secepat itu sadar. Rena pasti punya cara menundukkan keras hati Dinda.

Aku tahu betul. Dinda bukan tipe yang gampang mengakui kesalahan. Terkadang sangat egois dan inginnya menang sendiri. Ia merasa benar. Ia adalah kebenaran.

"Aku katakan ke dia, dalam bergaul itu kan ada abad. Itu penting. Nah kejadian kemarin itu jelas tak benar. Baik Andri ataupun Dinda. Kaliam asyik tanpa memikirkan sekeliling. Kan waktu itu ada dan ada Busye. Apa Dinda tak mempertimbangkan perasaan Busye. Bagaimana jika Dinda diperlakukan seperti itu oleh Busye?"

Dia menjawab; "Ya tersinggung. Kulempar dengan gelas Busye dan perempuan itu..."

Aku jawab; "Apakah Busye melakukan itu padamu kemarin?"

Dinda menggeleng.

"Karena itu kamu harus minta maaf pada Busye," saranku. 

"Akhirnya ia siap meminta maaf. Tapi, mungkin belum hari ini. Atau sudah Busy?"

Aku mengangguk.

"Dinda menelepon tengah malam tadi. Ia minta maaf sangat. Sambil nangis. Ia akhirnya ngaku kalau Andri itu mantan kekasihnya," jelasku.

Diam.

Lalu Rena bercerita bagaimana mereka berdialog.

"Aku merasa tak bersalah. Tidak melukai hati Busye. Kalaupun aku kenalkan kalian denga  Andri pasti tak ikut berdialog. Hanya melongo. Soalnya kami cerita masa lalu waktu SMA," kata Dinda.

"Tapi setidaknya adab dalam pergaulan. Basa-basi tah, ngenalin kami. Atau jeda, dan katakan 'ini Busye dan Rena, kenalin dulu. Oh ya Busy dan Rena, ini Andri. Kawanku waktu SMA, kan tak ada yang tersinggung. Apa salahnya mengenalkan begitu..." ujar Rena.

"Keasyikan ngobrol. Jadi lupa. Kupikir Busye atau kamu langsung. Atau Andri...."

"Ih kamu lucu! Masak kami nimbrung tanpa ada izin. Kamu itu salah. Maka Busye marah. Andai aku adalah Busye, sudah kubalikkan meja semalam. Untung kamu punya Busye yang santai dan tak mudah emosi..." kata Rena.

"Ya sudah aku minta maaf," timpal Dinda.

"Bukan denganku. Tapi ke Busye. Aku hanya jelasin kalau kamu salah...."

"Ya ya ya..  aku salah," potong Dinda. "Tapi kayakmana aku bilang maaf ke Busye?"

"Bukan bilang atuh Din. Minta maaf padanya."

Ih! "Memanga apa bedanya sih? Bilang berarti di dalamnya ada minta maaf. Minta maaf pasti berkata. Bukan diam. Bukan tak ada ucapan..." Dinda menjelaskan.

Ngeyel!

"Kamu tuh ngeyel ya Dinda...." kata Rena. Tertawa.

Dinda malah tertawa juga.

Keras kepala. Gumam Rena. 

Tak bisa disalahkan. Salah malah lebih galak. Apalagi kalau benar, bisa-bisa lebih dari galak. 

*
Rena mengangkat telepon.

"Ya Din.."

(....)

"Ya ini ada. Lagi cuci tangan habis makan."

(....)

"Ya. Sudah ini kami kelur kok. Ketemuan di Kafe Marley ya..."

(....)

"O ya sudah kami jemput. Tunggu di depan gang ya?"

(.....)

"Ok," jawab Rena.

Aku tahu itu telepon dari Dinda. Dari percakapan keduanya. Kami diminta menjemputnya.

Aku tak mau tahu. Untungnya Rena tak menyerahkan HPnya padaku. Dinda juga tidak meminta pada Rena agar HP diserahkan padaku.

"Dinda minta jemput di tempat biasa..." kata Rena setelah kami keluar dari jalan komplek. Jalan umum.

Aku mengangguk. Konsentrasi ke depan dan kemudi. Rena di sebelahku. Kakinya naik ke atas dekat kaca. Sementara tangan kanannya mengganti-ganti lagu. Kebetulan kami memiliki selera yang sama soal lagu dan musik. Yakni lagu-lagu Ebiet G Ade.

"Andai Ebiet tidak melagukan syair-syairnya, ia sudah jadi penyair Indonesia terkenal. Sama dengan Emha, Linus Suryadi AG, dan seangkatanya," aku membuka percakakapan.

Lagu "Berita Kepada Kawan" menemani perjalanan kami. Malam ini. Rena bagai tersihir oleh lirik lagu Ebiet tersebut.

Perjalanan ini
Trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk
Disampingku kawan

Banyak cerita
Yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan

Tubuhku terguncang
Dihempas batu jalanan
Hati tergetar menatap
kering rerumputan

Perjalanan ini pun
Seperti jadi saksi
Gembala kecil
Menangis sedih ...

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya tlah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut
Kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak
Kepada matahari

Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit

Barangkali di sana
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan
Melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan
Bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada
Rumput yang bergoyang


"Sepakat. Ada banyak syair-syair Ebiet sangat puitis. Dapat dikatakan puisi yang kuat. Karena diksinya kuat, imajis, dan simbol yang terjaga..."

"Itu juga diakui Sapardi Djoko Damono pada suatu acara Mata Najwa yang menghadirkan Ebiet dan SDD. Kata Sapardi, kalau Ebiet tak melagukan karyanya, ia saingan saya dalam.perpuisian dan kepenyairan Indonesia. SDD pasti bukan sedang basa-basi," lanjutku.

Dinda sudah berdiri di depan jalan. Ia tersenyum melihat mobilku yang tentu sudah hapal. Rena pindah ke kursi belakang meski aku melarangnya. 

"Tak apa kok Busy. Santai aja. Biar santai juga kalian..." ujar Rema setelah pindah.

Aku tersenyum melalui kaca spion. Dia mengedipkan mata.

Dinda naik setelah kubuka pintu depan.

"Hai....kok pindah?" tanya Dinda.

Ia pasti tahu kalau sebelumnya Rena duduk di sebelahku. 

Keduanya mengobrol. Aku menunggu Dinda menyapa atau menegurku. Tak juga.

"Hemmm..." aku mendehem.

Rena membalas.

"Kita ke mana Rena..." tanyaku.

"Ke mana Din..." tanya Rena.

Dinda yang mendapat pertanyaan tiba-tiba gelagapan. Belum siap.

"Aku kan tanya kamu, kok dilempar ke Dinda... kamu yang punya rencana. Aku hanya supir."

"Kamu tak tanya aku Busy?" Dinda melirikku.

"O ya ke mana?"

"Kata Rena tadi ke Marley. Oke kan?" jawab Dinda. 

Lalu katanya, "Maaf aku kemarin malam ya. Gak ada maksudnya nyakitimu....:

Aku mengangguk.

Mobil yang kubawa melaju.

Ke Kafe Bob Marley di bilangan Garuntang.

Rena menikmati sekali suara Ebiet. Aku menikmati wajahnya dari spion. Kunikmati wajah Dinda. Kedua perempuan di mobilku ini, menebarkan wangi khas. Kedua aroma itu sangat kusuka dan akrab di hidungku.

Dari pada berdebat dan bertengkar, lebih enak menikmati wangi parfum du tubuh mereka. Bangkitkan khayal dan imajinasi keliaran...  Aku membatin.


(Bersambung)






LIPSUS