Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (48)

Senin, 17 Februari 2020






AKU mendadak ke Jakarta. Heri memgajakku untuk menemui seseorang yang bisa melancarkan bisnis ekspor pasir ke luar negeri. Kami pernah survey ke sejumlah kawasan tambang pasir.  Soal bahan banyak, transportasi pengangkutan diatur kemudian. Soal izin ekspor yang harus jelas dan dapat. Itu kata Heri tujuh bulan silam.

"Kalau bisnis ini jadi, kau mau keliling Eropa sekalian umroh aku yang fasilitasi," kata Heri saat mengajakku survey pasir.

Saat itu, yang terbayang adalah Masjidil Haram di Tanah Suci, ternak unta, kebun kurma, mengeliling kakbah, lari-lari kecil dari Safa ke Marwa dan kembali lagi. Lalu kanal di Belanda, Menara Eifel, markas MU, dan lain sebagainya.

Aku berpakaian tebal berlapis. Karena, menurut Heri, indahnya di musim dingin atau salju. Antara bulan November hingga Desember atau Januari. 

"Kau akan berselancar di salju sambil minum bongkahan es," kata Heri seraya tertawa. 

Aku ikut tertawa.

"Serius?"

"Lha iyalah. Aku janji. Tapi kau mesti menulis puisi, satu buku. Jadi minimal 50 puisi. Kuyakin kau manpu!" 

"Siap!" balasku bergaya prajurit kepada komandan.

"Ah kau. Gayamu...."

Kami kembali tertawa. 

Seseorang yang dimaksud Heri adalah Joni. Kabarnya dia dekat dengan pekabat di Kementerian Pertambangan. Kami bertemu di Hotel Mercure, Taman Impian Jaya Ancol, nanti malam. Dari Joni, kami berharap ada kejelasan ihwal ekspor pasir. Artinya dibolehkan atau negara tak memberi izin. Karena pasir bagian dari penggalian.

Jam 14.11 kami tiba di Mercure Ancol. Kami pesan kamar 262, karena aku perokok. Sedangkan Heri di lantai 4 khusus no smoking

Istirahat. 

Pukul 18.00 kami ke resto. Makan malam sambil menunggu Joni tiba. Lebih dari 20 menit dari janjinya sampai di Mercure pukul 20.00. Kami mengobrol tiga arah. Intinya ia akan berusaha dapat mengeluarkan izin.

Aku lebih banyak menyimak. Hatiku menilai lain tentang Joni. Aku ragu dia bisa menggolkan keinginan Heri. Tapi, tunggu kabar dari dia. Toh masih beberapa hari ke depan hasilnya bisa diberi tahu.

"Aku harus ketemu dulu dengan orang itu. Dia dekat dengan salah satu pejabat di sana," janji Joni.

Saat pamit, Heri menyangu Rp50 juta kepada Joni. Tersenyum. Menyalami kami. Naik taksi.

Enak amat cari uang di Jakarta! Hanya modal biaya taksi, pulang ngantongi Rp50 juta. Padahal bagiku untuk uang sebesar itu bisa berbulan-bulan.

Sangu sebesar itu hanya untuk transportasi dan komunikasi. Kalau izin keluar akan lain tambahannya. Joni juga mengatakan, staf dari pejabat itu mesti dikasih. Enak sangat. Aku bergimam.

Heri justru berkata, "Sudah zamannya begitu. Tak ada makan siang yang gratis, Busy..." ketika kutanya, "kenapa kau kasih sekarang kan dia belum kerja. Lagian apa kau yakin dia akan membantu kita?"

Heri tersenyum.

Lalu kami keluar. Cari makan seafod di sekitaran Ancol. Sampai pukul 00.05 kami kembali ke hotel. 

Sebelum membuka pintu bilik, Nita meneleponku.

"Kanda, di Jakarta ya?"

"Ya. Dari mana tahu?"

"Saya telepon Sani. Dia dapat info dari Rena, kalau kanda di Jakarta. Kebetulan saya lagi di Jakarta. Boleh ketemu? Di mana?"

"Kanda di Mercure, Nit..." jawabku. "Tapi sudah malam, bagaimana besok pagi?"

"Sekarang saja, berkenankah Kanda? Penting. Bagaimana Kanda?" Nita sedikit mendesak.

"Lalu kau pulang bagaimana nanti. Jauh lo...:

"Saya bisa menyewa kamar..." ujar Nita.

Aku tak bisa mencegah.

Nita menemuiku. Seperti yang dikatakannya, "penting", bahwa ia sudah menyatakan ingin melupakan kekasihnya yang telah berkeluarga.

Saya tak bisa berharap dari dia. Ibarat tongkat, kayunya rapuh. Layaknya tempat menggantung bagi saya, sebetulnya tak pula kuat.

Dia, sejak pertemuan di kamar hotel yang tak kami isi dengan percintaan terlarang, tak ada keberaniannya untuk meneruskan hubungan kami. Padahal aku sangat mencintai mas Hendrik. Siap hidup apa pun dan bagaimana pun, asalkan dia mau menikahiku.

Hanya saja, setiap saya minta kepastian, Hendrik mengatakan, sangat berat menikahiku. Ia menyarankan saya agar mencari pengganti dirinya. Ia ikhlas asal aku bahagia. Tetapi setiap kucoba cari pengganti, wajahnya yang mendekatiku. Setiap ada niat menjadi perempuan penghibur, rasanya aku berdosa pada Hendrik.

Akhirnya kulampiaskan dengam mabuk. Tiap malam aku ngeluyur ke kafe yang ada musik dan bisa teler. Hanya kenapa saya tak mampu melupakan dia?

Mas Hendrik pernah meneleponku. Malam. Kuterima. Suara musik berisik. Ia mendengar suaraku yang sudah mabuk. Ia heran. Lalu bertanya, apa kamu sudah dapat kekasih? Kujawab: belum dan tak ada niat mencari untuk saat ini. 

Ia marah. Ia bilang kalau di dunia itu juga belum dapat buat apa mabuk-mabuk. Badan rusak, cinta pun berantakan.

"Setidaknya aku bisa lupain mas..." kataku.

Soal badanku rusak, itu mauku. Lebih baik begitu daripada sehat tak mendapat cinta.

Entahlah.  Aku galau. Dilema. Ingin melupakan dan ganti dia, belum juga bisa. Bukan tidak ada...

Setelah itu Nita menangis. Duh! Di lobi Mercure lagi! Kubisiki Nita: "Malu ah. Kamu mau bermalam di sini? Sudah larut bahaya kalau pulang ke rumah kawanmu."

Kemudian aku menuju resepsionis. Kupesan 1 kamar. Kebetulan masih ada persis di sebelah kamarku. Kamar 261. Kuantar Nita. Kupapah. Ia mabuk berat. Di depan pintu, sebelum masuk Nita mencium pipiku.

"Bye kanda..."

"Selamat tidur," balasku.

Kututup pintu kamarnya. 

Di bilikku, aku tak percaya pada kenyataan: di zaman secanggih ini ternyata masih ada makhluk yang begitu percaya pada cinta. Ia siap disakiti oleh cinta.

Cinta memang unik!



(Bersambung)












LIPSUS