Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (49)

Rabu, 19 Februari 2020



AKU hanya menyimpulkan. Tentu sementara. Cinta itu unik. Rumit.

Seperti, sebagai pertanyaan, jawaban untuk cinta tak tertebak. Kalau punya jawaban, maka banyak dan memiliki beragam interpretasi.

Apakah cinta semisteri puisi? Lebih rahasia dan sulit terselami! Tetapi kalau cinta datang karena kerinduan dan hasrat makhluk tak mampu hidup tanpa cinta sangat beralasan! 

Buktinya, Tuhan tak ingin membiarkan Adam sendiri dan tanpa cinta. Lalu diciptakan Hawa untuk mengantar cinta dan hasrat bagi Adam. 

Menemani lelaki yang sesungguhnya lemah di bumi ini, jika Adam dibiarkan hidup sendiri.

Alasan itu, barangkali Nita tak berkutik di hadapan Hendrik. Ia cuma punya satu cinta, tak terbagi, dan tak bisa digantikan. 

Cinta begitu luhur.

Makhluk yang mengotori dan membuat cinta yang tulus jadi luntur.

Cinta tak tertebak dan tidak terdefinisi. 

Manusia yang menggampangkan dan menjadikan seperti ilmu pasti.

Lalu manusia meraba-mengeja makna cinta. Terus mencari dan mencari. Sampai menemukan.

Nita masih tidur. Mungkin begadang hingga jelang pagi. Atau sebab masih pengaruh mabuk. 

Ia mengaku, memang berlebih meneguk minuman keras saat di ruang hiburan. Kafe yang dikunjunginya semalam termasuk berani menyediakan minuman beralkohol. Padahal Kafe Fantasi berada di tengah kota.

Hampir pukul 11.00 siang. Sesaat lagi batas check out, Nita belum juga meneleponku. Ia belum keluar. Pintu kamarnya tertutup rapat. 

Aku putuskan mengetuk. Sampai tiga kali belum dibuka. Aku kontak nomornya, juga tak diangkat. Pada ketuka keempat, pintu terkuak. Nita memunculkan kepala. Hanya berkaus dalam dan celanda dalam. Ia tersenyum, lalu masuk lagi. 

Pintu dibiarkan menganga. 

"Masuk saja kanda. Aku sudah berselimut kok," katanya mempersilakan aku masuk.

"Kamu gak check out?" tanyaku.

Ia menggeleng.

"Ambil semalam lagi. Tadi pagi aku sudah ke resepsioner dan sudah bayar," jawabnya.

"Eh kanda, sudah sarapan? Tadi aku gak lihat kanda dan mas Heri di resto..." ia melanjutkan.

"Kami sarapan jam 7. Tadi aku ketuk kamarmu mau ajak makan bareng, tapi gak dibuka ya kami tinggalkan," jelasku.

Nita membuka selimut hanya bagian wajah. Belum tersentuh air. Sisa-sisa kecantikan semalam masih tampak. Lipstik belum luntur. Pewangi tubuh seperti hinggap di hidungku. 

"Kamu kembali cari kerja di Jakarta, ya Nit?" tanyaku. Tanpa kualihkan mataku ke wajahnya.

"Sepertinya begitu Kanda. Aku coba untuk tak sekota dengan mas Hendrik. Mungkin cara ini aku bisa melupakan dia. Saya...."

"Saya... apa, Nit?" selaku.

"Saya sudah bertekad jadi playgirl. Jadi bukan hanya lelaki yang bisa memainkan hati perempuan. Kini aku akan mainkan hati banyak lelaki. Di sini. Di Jakarta...." Nita mengucapkan itu dengan yakin. Tegas. Sudah tak bisa digoyang.

Nita bercerita, dirinya sudah bulat untuk meninggalkan Hendrik. Temannya yang biasa ke dunia gemerlap (dugem) sudah mengenalkan dia dengan pengusaha. 

"Malam nanti dia ke sini, nemui aku. Dia sudah di Jakarta tapi sedang meeting dengan pengusaha Jakarta. Selesai mungkin sore langsung ke sini. Ia awal dari langkahku," ujar Nita.

Ia tak sungkan menceritakan sesuatu yang kuanggap privasi. Masalah pribadi. 

"Gak apa-apa kan Kanda Busye aku cerita apa adanya? Siapa tahu suatu ketika bisa masuk dalam karya tulismu. Aku sih berharap bisa..."

Aku tertawa.

"Kok ketawa sih Kanda?"

"Habisnya kamu lucu sih, Nit..."

"Lucu?"

"Mengisahkan diri sendiri tanpa sungkan. Lalu cerita hidup dan percintaan minta dijadikan tulisan. Sementara orang lain, bagaimana caranya menutupi masalah pribadi. Membungkus setiap kebusukan yang dimilikinya. Kamu tidak. Berterus terang."

"Aku tak mau munafik. Sok suci padahal kotornya sekotor-kotor hdupnya!" Nita menekankan kalimat terakhir itu.

Ia keluar dari dalam selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Maaf Kanda, mau ke toilet. Pipis. Kalau Kanda malu, boleh palingkan pandangan," katanya.

Aku tak respon. 

Mau tidak mau aku melihat Nita yang keluar dari selimut menuju kamar mandi. Dalam keadaan setengah bugil. Aku bergeming. 

Telepon genggam sasaranku selama Nita di kamar mandi. Menjawab pesan pendek Rena di WA. Juga Dinda yang bertanya: "Busy, kapan pulang?"

"Kamis lusa."

Dua kata untuk membalas WA Dinda. 

Sementara pada Rena aku berpanjang kata.

"Maaf Rena baru balas. Ya sepulangku, aku pesan taksi dari bandara ke rumahmu. Kita selesaikan surat menyurat dan proposal ya..."

"Oke Busy!" balas Rena. "Aku masak kesukaanmu ya, sayur jengkol. Oke?"

"Waw! Sudah terbayang nikmatnya sampai di sini..." kataku bahagia.

"Eh, kamu masih di Mercure kan? Masih sama Heri?"

Nita keluar dari kamar mandi. Kini membalut bagian bawahnya dengan handuk. Ia mendekat. Menciumi pipiku.

"Makasih kanda, sudah bantu saya semalam..." katanya. "O ya, boleh kucium lagi?"

Aku diam.

Nita mendekat lagi. Bibirnya nyosor ke keningku. Seolah seorang adik yang menyayangi kakaknya.

Hampir aku khilaf. Tapi segera kugeser badanku. Aku pamit.

"Ok aku ke kamar dulu. Sebentar lagi meeting," ucapku.

Di luar kutarik napas dalam-dalam lalu kuhempaskan selepas-lepasnya. Aku lega 

Alhamdulillah....

Nita, perempuan yang datang padaku hanya untuk menyerahkan perjalanan cinta terlarangnya. Diantar Sani, Nita menemuiku di Kafe Bob Marley sore itu di bulan Januari yang berhujan.

Cinta tak seindah dari sekadar mimpi. Lelaki yang dicintainya sudah beristri. Tak ingin menikahinya. Karena itu ia terkatung-katung. Padahal sejak bercerai karena suaminya sekamar dengan perempuan lain. Ditangkap polisi sedang pesta sabu.

Aku marah besar. Karena ini yang kedua kali. Tak bisa kumaafkan, karena suamiku memasukkan wanita ke kamarnya. Bersama dirazia!

Tak ada lagi maaf buatnya. Aku menjanda dan menjadi ibu yang mengasuh dan membiayai seorang anak. Sekuat kemampuan. Sampai akhirnya aku berkenalan dengan Hendrik. Lelaki yang tidak punya keberanian menikahiku.

Aku nelangsa.


(Bersambung)






LIPSUS