Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (50)

Kamis, 20 Februari 2020



BANDAR Udara Radin Intan. Pukul 14.00. Selesai mengambil bagasi aku ke luar. Menunggu dijemput Rena.

Rokok. Selalu menggodaku. 

Rena meneleponku.

"Ya Ren. Kamu sudah sampai mana?" 

"Sudah masuki pintu. Sebentar ya  Busy..."

"Ok."

Belum selesai sebatang rokok, mobil Rena sudah berhenti di depanku. Segera dia turun, membuka bagasi. Aku masukkan koperku. Rena menuju ke pintu kiri. Kini aku yang mengemudi mobil.

Menuju rumah Rena. Mobilku kuparkir di rumahnya sebelum aku ke Jakarta. 

Rena banyak cerita soal Dinda. Bahkan kemarin malam tidur di rumahnya. Sehabis dari Kafe Marley kemalaman dan hujan. 

"Dinda mengaku akan berubah. Terutama masalah sifatnya. Kukatakan padanya kalau watak sudah tak bisa diubah. Ia juga akan coba tak gampang merajuk," Rena menjelaskan.

Aku yakin itu hanya sebagian dari banyak cerita dari Rena selama aku ke Jakarta. Aku tak menanggapi serius. Kupikir wajar saja kalau dua wanita bertemu akan saling curhat. Sebagai pria, dilarang terlalu jauh masuk ke persoalan yang dicakapkan perempuan.

Aku menanyakan apakah proposal peluncuran novelku sudah dikerjakan, Rena mengangguk.

"Tinggal kau tanda tangani saja. Kalau sudah besok bisa kuantar. Yang buat kafe di Bali seperti maumu, akan kubawa langsung. Kebetulan Senin lusa aku ke sana. Hanya tiga hari paling lama," jelas Rena.

Ia telah menjilid 10 proposal. Selain buat beberapa kafe untuk mengajak kerja sama, juga menggaet sponsor. 

"Aku optimis tawaran kita banyak disetujui. Masak ya namamu tak bisa dijual? Ha ha...." ungkapnya.

Aku tersenyum.

"Memangnya namaku sama dengan mas. Punya nilai jual?" kataku.

"Hei Busy. Kau itu sastrawan besar. Aku yakin banyak yang mendukung."

"Gak salah? Malah banyak yang ingin menujahku dari belakang. Di punggungku. Ingin menebar fitnah keburukanku. Hendak membunuh karakterku!" kataku.

Sebenarnya aku bercanda. Hanya gurau. 

Rena juga tak serius menanggapi. Lalu diam. Lagu-lagu Ebiet G Ade dari album "Camelia 2" menemani perjalanan kami. 

Begitu mobil kuparkir di halaman samping rumah Rena, secepatnya aku masuk. Ke meja makan. Sayur jengkol amatlah menggoda selera makanku. 

Rena melempar tawa.

"Sudah makan langsung sikat gigimu Bus. Pakai pasta yang wangi itu," kata Rena seraya memasukkan tas koperku di kamar tidur yang biasa kupakai.

Aku tersenyum sambil mengacung jempolku padanya. Ia masuk ke kamarnya. 

Usai makan aku ke kamar. Berkas-berkas yang akan kutandatangani diletakkan Rena di meja kerja. Segera kububuhi tandatangan satu persatu. Seraya kuisap rokok, aku tuntaskan apa yang mesti kukerjakan untuk acara launching buku novelku. Dalan kegiatanku ini Rena adalah sekretaris, bendahara Dinda, dan Sur yang mendanai.

Sejam berikutnya, Rena masuk kamarlku. Sudah ganti pakaian. Daster putih. Di atas lutut.

"Sudah kau tanda tangani Busy?" 

"Sudah. Tingal.kau jilid ya Ren..." jawabku.

"Oke. Malam nanti sekalian kita mampir ke toko foto kopi ya..." katanha lagi.

"O ya Busy, Dinda mau ke sini. Dia sudah di jalan, sebentar juga sampai," lanjutnya.

Aku hanya diam.

Aku sedang malas berdialog. Pikiranku terasa mampat. Ucapanku bakal tak cair dan mengalir. Mungkin letih. Kurang fiks.

Perlu ke panti pijat. Urut dan bekam. Terlalu banyak angin bersemayam di dalam tubuhku.

Rena seperti membaca pikiranku. Ia menganjurkan agar segera pijat. 

"Sekarang saja kita ke pijat?" tawar dia.

"Tak usah, Rena. Mungkin capek aja," balasku.

Bel rumah berdering. Dinda pasti sudah di gerbang. Pembantu Rena turun untuk membuka gerbang.

Dinda menyalamiku.

Kemudian ia bersalaman dengan Rema. Dan berpelukan. Saling cium pipi. Setelah itu merapiikan proposal.

Aku hanya memandangi mereka. Terpesoma.

"Busy, aku bawakan rokok. Ambil aja di tasku," ujar Dinda dan menunjuk tasnya di ranjang.

Aku buka tasnya. Lima bungkus rokok. 

Cukup buat beberapa hari.

Aku bergumam. Saatnya aku tidur. Sangat capek.




(Bersambung)



 




LIPSUS