Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (53)

Senin, 24 Februari 2020





MALAM belum jauh beranjak. Aku di Jalan Sriwijaya. Dekat gelanggang olahraga yang tiap malam cenderung temaram. Hanya beberapa lampu jalan berwarna kuning.

Aku menunggu kedatangan Santi. Ia mengirim pesan ke WA-ku. Katanya:

Bang Busye, bisakah kita bertemu malam nanti di tempat biasa saya nongkrong/mangkal. Penting sekali. Trims (Santi).

Sudah 46 menit aku berada di seberang warung rokok. Warung yang biasa diutangi Santi and his gank sebelum mereka dapat langganan. 

Kang Udin, pemilik warung, saat kutanya Santi, ia mengatakan sedang bersama pelanggan. Tapi ia tak tahu apakah ke hotel dekat itu atau ke tempat lain.

"Tadi naik motor sih. Ke mana tahu..." kata kang Udin seraya rokok masih di bibirnya. 

Aku mengangguk. Kusampaikan terima kasih untuk informasinya. Ia membalas dengan anggukan. Rokokku tinggal beberapa batang. Aku beli satu bungkus, dan sebungkus merek yang disukai Santi.

Sepuluh menit kemudian, Santi datang. Diantar ojek online alias ojol. Dari jauh ia sudah melihatku dan tersenyum.

Menyalamiku. Seperti anak kecil ia mencium punggung tanganku. 

"Maaf bang, lama ya nungguku. Aku nemenin orang..." katanya. Ingin pengertianku.

"O ya tak apa. Aku maklum kok...." balasku memaafkannya.

"Abang gak ke kafe?" 

"Kamu WA aku, ada perlu? Kalau urusan denganmu selesai, aku mungkin ke kafe. Ada janjian juga...." kataku. "Tapi tak begitu penting amat."

"O ya, boleh aku ikut?" harapnya. "Ngomongnya sambil di jalan aja. Tapi abang tak keberatan kan?"

Aku menggeleng.

"Kamu kan tak minta gendong? Mosok berat?" balasku tertawa.

Santi sadar. Ia pun ikut tertawa.

"Ok, kalau begitu aku ikut Bang Busy ya."

"Kamu gak cari uang lagi?" tanyaku. Rasanya lebih pas kukatakan itu ketimbang "cari pelanggan". Atau jika kusebut "kerja" akan ada kata "seks komersil".

Tidak sedikit aku dapat cerita, para PSK bisa abaikan komersil ketika sudah mencintai lelaki. Komersil ia campakkan di kaki pujaannya. Selagi kekasihnya tak melarang atau cemburu pekerjaan melayani lelaki lain selagi menjalani pekerjaan.

"Kawan saya ikhlas membiayai kulah pacarnya!" kata Santi, kali kedua kami bertemu di Diggers tahun lalu.

Ia adalah orang ketika yang memasuki kafe itu. Aku kedua. Waktu itu kami sudah berkenalan di jalan. Ia kuberi uang, tapi aku tak meminta dilayani.

Lalu ia mendatangiku di kafe. Ingin mengembalikan uangku. Sebab, katanya, ia tak layak menerima tanpa bekerja.

"Cukup satu saja. Aku juga lagi kurang sehat. Pikiranku juga lagi tak beraturan..." jawabnya beberapa saat kemudian.

Santi kupersilakan naik mobilku. Duduk di samping kiriku. Ketika duduk, karena pakaian mini, tampak pahanya yang putih. Aku paling menatap ke depan.

"Ya bang. Lihat depan aja. Nanti nabrak," goda Santi.

Aku tersenyum.

"Kalau tabrakan, kukatakan pada polisi. Alasanku karena kamu pakai baju minim di sebelahku...." 

Ia tertawa.

Aku lebih tertawa.

"Bang Busye ini suka humor juga ya? Gak nyangka. Kirain serius terus seperti tulisannya..."

"Hidup ini harus seimbang. Serius dan humor. Pekerja dan santai. Suntuk dan hiburan...."

"Baik dan buruk. Soleh dan kafir..." lalu ia terbahak.

Selanjutnya kami bercerita kali pertama bertemu. Di Diggers. Malam. Hujan deras. 

Ia membawa motor dibonceng temannya. Aku tahu kemudian sebagai PL (pemandu lagu) di room karaoke. Namanya, Anggi. Entah nama samaran aka palsu, atau sebenarnya. Tak begitu penting bagiku. Apalah artinya untukku soal nama dia? 

Sebagai PL ia kerap diberi "seseran" tergantung kesiapan atau menolak saat di bilik. Itu sebabnya, berolok-olok memelesetkan PL menjadi Perayu Lelaki. Karena di room siapa pun akan terperangkap dalam rayuannya.

Iseng-iseng aku bertanya pada Anggi, bagaimana cara dia "menjerat" para lelaki agar datang berkaraoke?

"Setiap siang atau sore, aku akan mengirim pesan ke mereka lewat SMS atau WA. Isinya sama, 'Haloo, yuk ngeroom malam nanti. Ditunggu ya. -anggi syantik'. Dari sepuluh orang, tiga saja yang datang, sudah cukup," jawabnya.

"Jadi, kau mesti menyimpan nomor mereka?" tanyaku heran.

"Sure! Bahkan di HP-ku ini sekitar 100 nomor para lelaki yang biasa cari hiburan di bilik karaoke. Entah nama palsu, atau asli. Kucatat menurut pengakuan mereka."

"Tak kau tanya soal nama?"

"Namaku saja tak ditanya mereka, asli atau samaran? Hehehe..." balas dia.

Aku mengangguk-angguk. 

Di dunia malam yang remang, penuh asap, dan penuh kepalsuan, masih pentingkah nama? Nama hanya untuk menyapa. Selebihnya terlupa.

Ada banyak nama di dunia hiburan malam, nyaris menggunakan nama samaran. Mereka tidak butuh identitas. Kartu pengenal tersimpan manis di dompet. Ia akan dikeluarkan jika ada razia.

Selebihnya, cukup menyebut nama dari jutaan nama di dunia ini. Anda bisa menyebut Alex, Lai, Joni, atau apa pun. Itulah yang dicatat PL-PL itu. Setelah keluar, mereka pun kembali kepada nama dan dirinya sendiri.

"Dari 100 nama itu, semalam 2 atau 3 orang, lebih dari sebulan kebutuhanku terpenuhi. Itu belum gaji dari mami. Belum pula jika mau plus," katanya. 

Santi naik mobil. Duduk di sampingku. Kami mengobrol sepanjang perjalanan. Semula aku mau ke Diggers, tapi ia menawarkan bagaima kalau ke pantai.

"Kita ke sana saja?" 

"Ke mana. Malam begini?"

"Pasir Putih aja. Asyek. Bagaimana?" kata Santi.

"Tadi dalam WA-mu kau katakan 'penting sekali', apa itu?" tanyaku sebelum memasuki pintu Pasir Putih.

Santi memandangku sejenak. Aku melihatnya sekejap. Dia belum menjawab.

Mobil masuk gerbang. Petugas melihatku, setelah kubuka kaca mobil. Ia tersenyum.

"O bang Busye. Langsung masuk," katanya sambil menyilakan kami jalan.

"Kok gak bayar? Dia kawanmu?"

"Ya. Kalau bukan, pasti bayar toh?" jawabku.

Sebenarnya aku tak kenal petugas itu. Bukan pula temanku. Tapi aku kenal dengan karyawan yang lain. Mungkin ia diberi tahu. Atau sebab wajahku sudah familiar? Ah entahlah. 

Kami menuju kiri dari pos masuk Pasir Putih. Sebuab joglo depan kafe ala pantai kami duduk. Dua gelas jus melon, dua botol mineral, dan tentu secangkir kopi pahit. 

Sebumgkus rokok merek kesukaan Santi yang kuberi di warung Kang Udin kuserahkan. Aku ambil sebatang rokokku, lalu kunyalakan.

"Ih kapan belinya abang?" tanyanya sambil menunjuk rokok yang baru kuberi.

"Tadi. Sewaktu aku nunggu kamu datang..."

"Di warung Kang Udin?" tanya Santi lagi.

Aku mengangguk. Tersenyum.

"Makasih ya Bang," ucapnya.

Lagi-lagi aku mengangguk.

Pada menit berikutnya, kuulang ucapanku yang terjeda. 

"Tadi dalam WA-mu kau katakan 'penting sekali', apa itu?" 

Santi tak langsung menjawab. Tiba-tiba air matanya mengalir. Aku gusar. 

"Lha kok nangis?" tanyaku heran. "Bagaima aku tahu apa maumu, kalau kamu nangis. Apa maksudmu penting itu?" lanjutku.

Santi menghapus sungai kecil di pipinya dengan tisue yang selalu dibawa.

"Anakku sakit. Anakku...."

"Ha?"

"Sudah tiga hari. Pans dingin badannya. Sudah kubawa ke puskes tapi belum berubah," jelasnya. Airmatanya bertambah.

"Kenapa tak bawa ke dokter praktik. Atau rumah sakit."

"Masalahnya...."

"Tak ada uang?" potongku.

Mengangguk.

"Baiklah. Ini kukasih 1 juta ya. Besok pagi kau bawa ke Advent atau dokter Chandra," ujarku sambil menyerahkan 10 lembar uang seratus ribu.

Aku menyesali Santi kenapa kalau memang penting dan genting seperti ini, tidak langsung saja ke pokok masalah. Padahal dengan berterus terang, seperti "Bang Busye, aku minjam uang buat berobat anakku." Maka aku siapkan dan kuberi saat bertemu pertama tadi. Ia bisa segera pulang dan membawakan makanan atau buah buat anaknya.

"Tapi, aku sungkan kalau berterus terang," ujarnya. Malu-malu. 

"Malu-malu boleh. Itu nilai diri. Tapi saat genting, mesti kita abaikan. Apalagi urusan sakit atau melawan maut. Toh kamu hanya minta bantuan? Bukan berbuat kejahatan," kataku. 

Aku menasihati Santi. Ia harus membedakan saat apa ia berterusterang jika masalah genting. Jika soal poya-poya atau gengsi, baru malu kalau minta. 

Seorang kawanku, demi gengsi mengikuti zaman ia nekad mengutang pada kawannya. Lalu berpoya-poya. Akhirnya tak bisa membayar. Ada lagi hanya untuk nyabu ia bela habis-habisan menggadai barang di rumahnya. Tak kebayar. Ribut sama istri. Pisah.

"Apa kau pikir anak sakit bisa kau hadapi santai?" ujarku. "Andai tadi kau WA aku bahwa kau perlu uang, untuk apa kita ke sini? Kuberi di sana lalu kau pulang.... ayo, ngapain di sini lama-lama. Kita pulang. Kau segera temui anakmu dan bawakan makanan kesukaannya."

"Sebentar bang. Saya masih senang menimati angin dan susana di sini," katanya.

"Tapi ini gelap. Adakah keindahan dalam kegelapan? Kau tak akan mendapatkan keriangan dalam susana yang tidak tenang. Anakmu sakit. Dia butuh belaian tangan lembut ibunya," ujarku kemudian.

"Dendi biasa sama neneknya. Ia lebih dekat dan akrab dengan ibuku, daripada denganku. Mungkin karena ia sudah diasuh sejak bayi. Aku sibuk kerja dan pulang larut," balasnya.

"Tapi kali ini kuharap. Juga barangkali anakmu mengharapkan, kamu ada di sisinya," kataku menegaskan.

"Aku masih ingin di sini. Sudilah abang menemani," harap Santi. Tubuhnya kian mendekat. Hampir merapat.

"Jangan Santi. Kamu mesti pulang. Kasihan anakmu. Ia butuh kasih sayang..."

Kupegang tangan Santi. Kubawa ke mobil. Pintu depan kubuka. Ia masuk. Masih berurai airmata.

Kami berhenti di depan penjual martabak. Dua loyang sepesial kupesan. Roti bakar. Juga roti tawar.

"Semoga anakmu mau makan."

Dia mengangguk. Aku menawarkan untuk mengantarnya hingga ke depan rumahnya. Tetapi ia menolak. Cukup di depan gang. Alasannya sempit dan kawasan dekat rumahnya kumuh.

"Oke kalau begitu. Kamu tak apa-apa kan? Aman kan? Bisa kan?"

Ucapanku itu, hanya dijawab tiga anggukan. Di pinggir jalan depan gang memasuki perkampungan kumuh rumah Santi, ia kuturunkan. 

Sebelum pintu dibuka, ia menyalamiku. Mencium punggung tanganku. Aku menghormatinya. 


(Bersambung)




LIPSUS