Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (54)

Selasa, 25 Februari 2020




PAGI sekali, dua hari setelah Santi meminjam uang dan aku ikhlas memberi cuma-cuma untuk berobat anaknya yang berusia 3 tahun, ia mengabarkan. Cukup panjang.  Ke layar WatsApp-ku.

Katanya,

Terima kasih bang Busye  ini ungkapan dari hatiku terdalam. Mewakili anakku, Dendi, juga ibu ayahku. 

Mungkin jika saya tak berani mengungkapkan tentang Dendi, saya tak tahu nasibnya. Walau takdir sudah ditentukan Tuhan, namun manusia harus berupaya. Setelah itu doa. Boleh doa dulua, dilanjutkan beruhasa -- bekerja -- sehingga yang kita inginkan terkabul. Kalau tidak, namanya takdir. Kita serahkan dan ikhlas pada ketentuan-Nya. 

Anakku sempat opname, walau cuma sehari. Uang pinjaman dari abang Busye, dapat menebus rawat inap. Saya sangat bersyukur malam itu bisa ketemu abang.

Abang adalah penulis yang saya kagumi. Apa yang saya baca dalam karya abang, puisi maupun cerpen, nyaris sama dengan keseharian pengarangnya. Seakan apa yang ada dalam karya abang, itu pula cerminan dari laku sehari-sehari. Atau sebaliknya, penulis bercermin dari karyanya.

Saya tidak tahu bagaimana cara saya melunasi utang pada abang Busye. Tapi saya berjanji akan melunasi walau cara cicil. Semoga abang tak kecewa ya?

Andaikan abang suka sama saya, saya siap....  

Tapi sejak bertemu pertama itu, abang tak mau meski memberi uang, saya menduga abang tak mau. Apakah jijik, atau sebab setia dengan pasangan?

Maaf, baiknya tak usah kaitkan orang lain. Yang jelas aku salut dan hormat setingginya pada bang Busye.

Nanti malam kita bertemu di Diggers ya. Saya harus menyampaikan terima kasih. Hanya terima kasih untuk kali ini. 

O ya bang Busye,

Malam itu setelah abang antar, saya bawakan makanan buat Dendy. Betapa senangnya dia. Ia lahap memakannya. Lalu lelap. Tapi saat pagi jelang subuh badannya panas lagi. Lebih panas dari sebelumnya. Saya khawatir, cemas, takut. Saya harus segera antar anak ke rumah sakit. 

Tadinya saya mau hubungi bang Busye. Minta bantuan untuk antar anak ke rumah sakit. Tapi saya urungkan. Takut abang lagi tidur. Saya tak mau dan tak boleh merepotkan abang kedua kali. Saya pun cari grab. Dapat. Puji Tuhan!

Dan anak saya harus rawat inap. Makin cemas lagi saya. Alhamdulillah sehari menginap, anakku membaik. Dokter membolehkan pulang. 

Begitu bang Busy. Ini foto anakku yang sudah bisa tersenyum. Katanya, 'terima kasih om pengarang.' -- Santi --

Untuk balasan pesan Santi, kujawab singkat.

"Alhamdulillah, Tuhan sangat sayang pada Dendy. Tak usah pikir melunasi, sebab saya tidak mengutangi."

*

Sani, sudah lama sekali "menghilang" dan tidak saling berkabar, hanya selisih beberapa menit dari Santi, mengirim pesan. Ke WA.

"Hai Busye. Bagaimana novelmu, apa sudah naik cetak. Novel soal kafe itu?

"Hai Sani. Alhamdulillah sedang cetak. Dua hari ini juga sudah keluar dari percetakan," jawabku.

"Wow! Tanhiah Busy. Selamat. Jangan lupa ya satu sisihkan buatku. Aku minta norekmu. Kutransfer sekarang," kata Sani.

"Memangnya kamu di mana?"

"Aku sudah menetap di Jakarta."

"Ok. Mana alamatmu?"

"Aku di Jalan Cikini Raya 773 Jakarta Pusat. Norekmu kuminita..."

"Norekku nanti saja...." jawabku. Aku ingin memberi gratis buatnya, karena bagian dari novelku.

"O tak bisa Busy. Kalau kau tak kasih norekmu, aku gak mau terima bukumu. Untuk ilmu dan bacaan bermutu tak boleh gratisan. Karya cipta itu mahal modalnya. Jadi harus dihargai dan bayar!" 

Sani menegeskan. Aku pun tak bisa menolak. Aku tahu, seperti juga Dinda dan Rena, dia sangat menghargai karya sastra. Sani selalu membeli kalau ada buku sastra yang baru. 

Dengan begitu, kata Sani suatu kesempatan, sama halnya kita turut membantu mensejahterakan penulis. Ia sangat tak suka pada mereka yang sok cinta literasi, tapi buku minta gratis. Atau menggembor-gemborkan cinta baca, bukunya diperoleh gratisan.

"Sok ngajar rakus baca, tapi pelit membeli buku. Apaan itu?!" sindir Sani.

Akhirnya kuberi juga nomor rekeningku. Hanya 20 menit setelah itu, rekeningku bertambah: Rp1 juta!

Sebagai penulis, karya-karyaku kerap diterbutkan secara indie, cara penjualan pun melalui media sosial. Dan, cukup banyak sambutan dari pembaca. 

Mereka, para pembaca buku sastraku, memesan beberapa eksemplar; lalu mentransfer harga buku ditambah ongkos kirim -- biasa kami singkar ongkir. Buku pun kupaketkan. 

Terkadang mereka membayar lebih dari harga buku. Aku mencatat nama pembeli bukuku ýang sepesial itu: Sidik, Herry, Fahmi, Syuhairi, Mutiara, Angel, dan lain-lain.

"Mereka pembaca setia dan sepesial," gumamku. Kalau Lila pasti membeli setiap dapat info aku menerbitkan buku.

*

Rena meneleponku. Aku diminta menjemputnya pukul 16.00. Dia mau ke Gramedia. Ada buku puisi dan cerpen baru beredar. 

"Itu buku puisinya Jokpin dan mbah SDD. Aku belum baca," kata Rena.

"Oke. Tunggu ya."

"Ya. Trims Busy. Nanti pakai mobilku aja ya..."

"Mana baiknya Ren."

Klik.

*
Lima menit dari kuletakkan HP, Dinda meneleponku.

"Ya Nda."

"Kamu lagi di mana?"

"Di Taman Untung. Lagi kongkow dengan Ebi. Ada yang bisa kubantu?"

"Kamu sama Rena kan?" tanya Dinda.

Suaranya ingin memastikan aku tak bersama Rena. Persisnya menyelidik. Atau....

"Tidak. Kenapa memang Nda?" aku balik tanya.

"Tak apa-apa. Nda bahagia lihat kamu waktu malam itu. Mesra sekali. Rena juga senang di dekatmu."

"O ya?" tanyaku seolah heran.

"Ya iyalah. Kelihatan banget kok. Kamu bahagia kan?"

"Aku selalu harus bahagia, Dinda. Harus kutunjukkan itu. Meski barangkali hatiku berkeping-keping retak. Kita tak boleh tunjukkan duka. Tapi harus berbagi kebahagiaan dan keriangan pada orang lain," ucapku.

"Maksudmu, Busy?"

"Duka hanya milik pribadi. Bahagia yang kita punya, berbagilah untuk orang lain juga. Jangan dinikmati sendiri," aku menjelaskan.

"Oo.  Aku paham. Tapi kuperhatikan malam itu kamu benar-benar bahagia?"

"Semoga. Amin," ujarku segera.

Sejujurnya sejak malam itu di Nudi, aku sudah punya pilihan: merasa nyaman dengan Rena. Sejak itu pula, aku kerap berdua bepergian. Terkadang aku bermalam di rumah Rena. Aku mendapat kamar khusus di lantai dasar. Sedangkan Rena di kamar yang sewaktu ia sering ke Bali kutiduri. Dan satu kamar lagi yang sebelumnya miliknya, untuk asisten rumah tangga (ART) alias pembantu.

"Sayang kamar bawah tak dihuni. Lama-lama jadi kamar hantu," katanya sambil tertawa. "Sekalian kamu jadi satpamku ya?"

"Siap! Satpam lahir batin," jawabku yakin.

"Amin...."

Meski aku tak setiap hari menghuni kamar itu. Soalnya aku juga bertanggungjawab terhadap rumahku. Kalau dibiarkan lama kosong, malah bisa dikudeta jin pula! 

Aku makin akrab dengan Rena. Ia memfasilitasi keperluan menulisku. Ada laptop yang baru dibelinya, berikut printer. Dipasang wifie supaya aku mudah mengirim tulisan dan mengakses informasi dari dunia maya. Springbed baru yang empuk sekali. Almari baju. Jadi aku ada baju saat dj rumah Rena. Baju yang kubawa dari rumahku, Bi Sum cuci. 

Bahkan, mobilku lebih sering terparkir di garasi. Kalau Rena di rumah, mobilnya disuruh kubawa. Ia bisa pakai mobilku jika sanga penting. 

Sur? 

Fajar tadi ia banyak curhat. Ia sudah bosan gonta-ganti wanita. Saatnya harus menyasar satu pilihan. Dia minta saran atau masukan. Sur juga berharap padaku mengenalkan perempuan.

"Kalau Dinda?" pancingku.

"Ia terlalu sulit kutebak. Hatinya juga belum mantap. Wataknya kuamati masih melompat-lompat. Belum fokus. Kalau otak, kuyakin tak malu-maluin. Pintar. Bukan cerdas!" kata Sur. Ia langsung masuk ke penilaian.

"Tapi kau suka kan padanya? Itu yang penting. Lainnya pelan-pelan bisa diperbaiki. Mencintai seseorang itu, harus kaffah. Mencintai secara keseluruhan. Yang masih kurang, itulah yang kita tutup nantinya sampai jadi cukup..."

"Sementara aku masih ingin membiarkan mengalir. Ibarat air, kuikuti saja arusnya ke mana pun."

Aku menangkap ucapan Sur itu diplomatis. Bercabang. Multi nterpretatif.

Apakah Sur benar-benar jadi air. Mengalir sesuai arus yang berakhir pada Dinda sebagai muara? Atau menderas ke laut lepas?

Dan, Dinda tak tergoyahkan?


(Bersambung)



#isbedy
#cerita bersambung
#paus sastra lampung
#lamban sastra isbedy stiawan 






 



 



LIPSUS