Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (55)

Selasa, 25 Februari 2020






"BAGAIMANA keadaaan anak Santi, Busy. Sudah sehat?" 

Rena bertanya setelah mobil kami lepas dari jalan kompleks rumahnya. 

Kutatap Rena. Tidak kubaca di wajahnya bahwa dia cemburu. Bahkan yang kurasakan ketulusannya.

"Sehat. Hanya semalam opnamenya," jelasku beberapa jenak kemudian.

"Berapa ia harus bayar?"

"Nah soal.itu aku tidak tahu. Ia juga tak menjelaskan. Hanya ia bilang, untung aku membantu..."

"Kamu kasih bantu berapa? Jangan kecil. Dia sangat butuh. Kita harus menolong..."

"Apa kau perlu tahu nominalnya? Aku ingin tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh tahu...."

"Apa denganku juga harus rahasia, Busy?"

"Ada yang mesti hanya aku yang tahu. Ada yang kau wajib tahu. Lihat-lihat masalahnya. Kalau menolong kukira cukup aku dan Yang Di Atas yang tahu," jawabku bergurau.

"Oke deh. Setuju," kata Rena. "Kamu mau antar aku menemui Santi? Aku mau nambah bantu. Barangkali ia masih perlu. Mungkin ia habis-habisan berobat anaknya. Uang yang kamu kasih juga mungkin tak cukup. Telepon ya Busye?"

"Oke."

Kutelepon Santi. Cepat dia sambut.

"Ya bang? Ada perlu? Siap perintah. Tapi maaf bang, saya..."

"Eh, kan sudah kukatakan, itu cuma-cuma. Ini Rena mau bicara denganmu..."

"Denganku?" tanya Santi tak percaya. Persisnya khawatir. Sekiranya bisa kulihat wajahnya, tentu membayang kecemasan di sana.

Segera kukasih ke Rena.

"Kamu di mana?"

"....."

"Ok, bisa keluar gang? Aku tunggu di pingggir jalan ya..."

Santi berdiri di depan gang. Rena turun dan menghampirinya. Menyorongkan uang ke tangan Santi. Santi menyambut. Lalu memeluk Rena. Mencium pipi kiri dan kanan. Bergantian.

Rena kembali ke mobil. Santi melambai pada kami.

"Dia titip salam padamu. Terima kasih katanya," ujar Rena setelah duduk di sebelahku.

"Kembali," jawabku santai.

"Semoga uang yang kuberi cukup untuk memulihkan anaknya," kata Rena kemudian.

"Amin. Kau sanguin berapa?"

"Tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh beri tahu ke orang lain."

Aku terbahak! Kena deh, batinku.

Masalah nominal membantu tidak kami bahas lagi. Mobil kuarahkan ke Gramedia. Selain memberi buku puisi Jokpin dan mbah SDD, Rema juga menyamber novel duet Kef-Iba, Pangeran dari Timur

"Ini novel keren, hasil residensi penulisnya di Belanda. Dan diperam 20-an tahun," kata Rena.

Aku mengiyakan. Aku pernah membaca informasi bagaimana novel itu masih janin.  Novel ini dinilai satu-satunya novel yang mengisahkan pelukis dari kawasan Terboyo, yakni Raden Saleh.

Raden Saleh, diketahui pernah menetap di Belanda. Untuk mendapatkan pendidikan Eropa. Pengarang menelusuri perjalanan hidupnya di Belanda  

"Aku baca duluan ya Ren, Pangeran dari Timur?" kataku.

Ia mengangguk. Novel itu pun diberikan padaku. Di mobil kuletakan di atas dekat stir. Kupandangi novel bagus itu. Tiba di Diggers, Pangeran dari Timur kubawa. Mungkin di sela obrolan, bisa kunikmati sehalaman demi sehalaman. 

Dinda datang 10 menit setelah kami mendapatkan meja. Ia sendiri. Naik grab. Setelah itu Santi. Tak lama kemudian Sur, Sani. Membikinku aneh dan rasanya tidak masuk akal, Nita dan Inel: yang terakhir PL temannya Santi. 

Ada apa ini? Seperti sebuah rekayasa; kami bertemu di tempat sama dalam waktu tak jauh beda! 

Aku menggumam. Benar-benar tidak percaya. Hari ini memang moment kelahiranku. Ini 5 Juni 2020. Tetapi tak pernah kurayakan kelahiranku. Sekalipun. Boleh jadi Dinda, Rena, dan Sur pada hari kelahiranku. Apatah lagi mereka?

"Apa-apaan ini, Ren?" bisikku ke Rena yang selalu bagai pakai magnet berada di sebelahku. Membuat Dinda sering curi tatap dan berpaling.

"Aku juga tak tahu. Kukira kamu yang buat ulah ini," jawab Rena. Penasaran.

Dinda menatap kami curiga. Ia menduga semua ini taktik kami. Menjebaknya untuk bertemu lagi dengan Sur. 

Lainnya hanya bengong. Melongok. Kosong. Saling lihat. Di antara mereka ada yang baru jumpa. Lalu saling berkenalan.

Sur juga memandangku. Seperti Dinda. Dia tampak tak suka padaku. Ia curiga semua ini adalah permainan aku dan Rena. 

Satu persatu kutanya. Pertanyaanku, ada yang mengundang ke sini? Jawabnya, sama: "Tak ada. Gak nyangka aja bisa kumpul..."

"Tadinya kupikir ada acara novelmu. Tapi kok gak kubaca beritanya. Gak mungkin juga kamu lupa mengundangku...." ujar Sani.

"Benar...." sambung Nita.

Lainnya hanya mengangguk.  

Jadi, apa yang terjadi hanya kebetulan? Tanpa kesengajaan? Aku benar-benar heran! 

Aku membatin. 

Tapi, apa adakah kebetulan jika Tuhan berkehendak? Ini sekemario yang sudah ditulis-Nya.

Lagi-lagi hanya ada di batinku.

Sebab, 20-an menit dari keheranan kami, Ikhsan dari Aura datang. Ia amat yakin kalau aku berada di Diggers sebagaimana dalam novelku. Ia bawakan 25 eksemplar sebagai diskon karena aku menyetak tiga ribu eksemplar.

"Wow! Surprise sekali kau mas Ikhsan!" kataku hampir berteriak. Karena bangga dan bahagia. 

Aku panggil.pelayan. Antar makanan dan minuman yang dipesan owmer penerbit Aura Publisher itu. 

"Ini diskon 25 eksemplar. Karena novel ini dicetak 3 ribu. Mungkin ada gunanya buat media atau jurnalis, dan krikitkus..."

"Juga kolega. Harus diberi gratis," timpal Rena.

"Kenapa gak digenapkan 50 eksemplar saja mas Ikhsan," canda Sur.

"O bisa kalau kekurangan. Tapi kuyakin ini sudah cukup. Pembaca karya mas Busye gak ada yang mau gratis. Malu mereka..." jawab Ikhsan lagi.

"Ya," potong Sani. "Aku saja tak graris. Aku sudah transfer kan Busy? Aku minta 2 sekalian tanda tangan ya."

Aku mengangguk. 

"Aku juga. Tapi gratis," lanjut Santi.

"Aku 1 dan ini kubayar langsung," kata Nita. Ia sorongkan 3 lembar uang 100 ribu rupiah.

"Benar kan, apa yang kukatakan barusan?" ujar Ikhsan sambil tertawa. Gigi-giginya yang putih tampak.

*

Malam ini, semi launching novelku berlangsung sangat sederhana. Tak terencana. Kebetulan. Tanpa rekayasa.

Aku puas hasil percetakan, desain yang romantis buatan Faisol, ilustrasi sumbangan pelukis Sandi yang juga sastrawan itu menyempurnakan cover novelku yang kini di depanku.

Sur, donatur tunggal, kuhadiahi 5 eksemplar pertama. Aku janji padanya, jika ia kurang dan perlu lagi untuk buah tangan akan kutambah. Meski ia bersikikuh, "Kalau kurang aku beli, Busy. Bukan gratis. Biar jelas hitung-hitunganmu. Berapa modal dan berapa uang kembalinya," kata Sur.

Menerbitkan melalui penerbit indie, penulis turut memodali. Berbeda jika penerbit mayor maka penerbit memberi royalti. Walau tidak besar, tak akan membuat pengarang kaya. 

Inilah Indonesia.

Penulis tetap objek. 

Penerbit dapat untung sedikit.

Distributor? Dapat persentase lebih besar berbagi dengan toko buku. Cara konsinyasi; laku dapat uang, tak laku kembali (reture) ke penerbit. 

Lalu penerbit melelang. 
Daripada memenuhi lemari atau gudang.

Pengarang menulis lagi. Menulis dan menulis. Syukur-syukur tak mati seperti Chairil atau terserang penyakit serupa seniman Nasjah Djamin, dan nasib menyedihkan para seniman lain.

Aku? 

WatsAppku memberi notifikasi. Kubuka. Ebi, pengelola Kedai Santap Taman Untung mengirim pesan:

"Di mana bang? Main dong ke Taman Untung. Kangen aku mau ngobrol," kata Ebi.

"Oke. Sejam lagi aku sampai. Tak kemalaman kan?" 

"Tak bang."

Disambut pindang patin dan segelas kopi. Kubalas dengan memberinya satu novelku. 

"Aku tahu kesukaaanmu, bang. Pindang patin. Dan kopi tanpa gula."

"Wah, terima kasih Ebi. Ya karena aku sudah manis, jadi kopi tak perlu lagi pakai gula..." sahutku. Lalu tertawa.

"Tahu. Tahu.... aku maklum, makanya kau dikejar-kejar Dinda dan Rena. Siapa lagi?" 

"Sok tahu kau Eb.. emangnya aku ganteng apa?"

"Ganteng sih jauh. Tapi kau kharismatik. Punya inner beutii!" balas dia.

"Endasmu. Inner...."

Lalu bersamaan tertawa.

Aku dan Ebi membicarakan soal narkoba, lalu politik khususnya pilkada.

Kami sepakat soal kandidat. Soal peluang jadi pemenang dan sebagai pecundang.

"Maka aku masih pikir-pikir kalau adikku, Herman tidak dipasangkan pada Isti Hawa. Soalnya betina itu peluang besar memenangkan pilkada di kota ini. Marno ngapain pula masuk pusat, habitat dia di tengah. Nah Jantan itu kan pernah gagal jadi pemimpin di timur kenapa pula masuk selatan. Si Jonan baiknya urus kampus. Ia bukan kuda hitam!" kata Ebi memprediksi.

Sebagai mantan politisi senior, aku hanya manggut-manggut. 

Batinku: Prediksi kami ini bisa benar dan salah setelah pilkada. Politik bisa berubah dalam hitungan menit! Apalagi jika ada serangan uang dari pengusaha yang ingin mengotori demokrasi..



(Bersambung)


 

LIPSUS