Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (56)

Rabu, 26 Februari 2020





AKU menelepon Ikhsan. Bos penerbit Aura Publisher dan Aura Books Coffee. Ingin membicarakan buku puisku yang akan diterbitkan Aura.

"Aku tertarik dengan naskah bang Busye, Kita Hanya Pohon, mau saya terbitkan kalau disetujui," katanya pekan lalu. 

Akhirnya aku bisa menemuinya, sore ini. Ia ada di Aura Books Kafe. Agar bebas merokok, aku memilih lantai 2. Ikhsan yang bukan perokok, hanya manut.

Aku memesan kopi coklatb pakai es. Ikhsan juga sama. Lalu singkong goreng dioles keju. 

"Kalau sudah begini, singkong pun jadi makanan mewah," ucapku. 

Tersenyum.

"Bagaimana tangan yang mengolah," balas Ikhsan.

Dari obrolan dengan owner Aura Publosher itu, disepakati dua buku puisiku diterbitkan. Yaitu, Kita Hanya Pohon dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua.

"Kuharap buku puisi abang meledak. Aku yakin, yang Belok Kiri... digemari pembaca."

"Amin."

Menjelang maghrib aku pamit. Aku langung ke Diggers. Di sana Dinda sudah menungguku. 

Seraya menanti Rena yang masih di jalan dari Jakarta, kami mengobrol kosong.

Dinda mengaku mulai kerasan bersama Sur. Orangnya asyik, katanya. Ternyata suka humor. "Lucu jadinya..."

"Jadi suka? Jatuh hati... hihihi." 

Aku menggoda.

"Apa sih kamu ini, Busy. Sebel!" 

"Sebel. Sering belai?" godaku lagi.

"Ih benci!" Dinda merengut.

"Benar cinta ni yeee..." kataku lagi. 

Aku mengelak cepat. Beranjak. Menjauh. Sebelum Dinda sungguh-sungguh menyiramkan jus lemon kepadaku.

"Masih ngeledekku, kusiram lo kamu, Busy...." ancam Dinda.

"Ok oke. Gak lagi deh. Tapi benar kan Nda cinta dengan...."

"Busyeeeeee....  marah lo Nda ni!"

Ya ya...  aku pun berhenti mencandai Dinda. Kembali duduk. Rena tiba. Tak lama Sur terlihat menuruni tangga melangkah ke arah kami.

Berempat kini.

"
pengunjung-pengunjung kafe
adalah manusia urban; dari 
mana ia datang 
   siapa keturunan
bertemu di meja ini
bersama senyum atau duka
diantar tawa maupun tangisan

di bawah langit berbintang
awan dihiaasi bulan
ataukah kelam dan berhujan

manusia-manusia yang berpindah
urban: dari kesunyian ke keriangan

mencari malam
merakit kata-kata
melirik kecantikan 

Kau!


Rena memesan minuman. Lemon tea. Juga sebungkus rokok, karena mungkin ia melihat rokokku tinggal dua batang. Tadi ia memegang dan memencet bungkus rokokku. 

"Eh, aku bawakan ini rokokmu, Busy. Tadi aku mampir di Indo Mart beli permen, sekalian rokokmu," ucap Dinda seraya menyorongkan sebungkus rokok ke depanku.

Ia masih ingat merek rokokku, kataku membatin.

Tapi, pelayan kafe tetap mengantar rokokku. 

Tidak boleh menolak rezeki. 

Sur tersenyum. Mungkin dalam hatinya, dia berujar: "Nasibmu bagus banget, Busy. Rezeki datang dari mana saja. Banyak mendapat perhartian dari banyak orang. Perempuan lagi. Cuma kenapa kau masih lajang? Belum mendapatkan istri? Pada usia yang tekah 40 tahun lebih!"

Percakapan selanjutnya merancang peluncuran novelku di Bali, Bandung, dan Jakarta. Ketiga kota itu sudah fiks. Kawan di sana siap membantu. Bahkan, orang yang akan membaca cuplikan beberapa bagian sudah menyatakan siap. 

"Kalau aku ikut baca juga boleh kan?" tiba-tiba Dinda menawarkan diri. "Yang di Jakarta saja. Atau Bandung deh..."

"Bagus. Bagus. Kau kan turut terlibat dalam proses kahirnya novel ini. Aku setuju. Bagaimana Busye?" dukung Rena.

"Asalkan Sur mengizinkan..."

"Lo kok bawa-bawa aku?" Sur menyerobot.

"Ya, apa kaitannya? Kalau gak boleh juga gak apa-apa kok. Memang vokalku tak bagus. Maklum jauh dari artis!" timpal Dinda.

Cemberut.

"Ih ih.  Mulai deh Nda merajuk. Aku canda kok. Rena sudah setuju, aku pun sama. Catat Ren."

"Bagusnya bagian mana yang dibaca?" tanya Rena.

"Bisa pilih. Dinda yang meninggalkan Kafe Babe. Atau bab yang keasyikan ngobrol Andri itu? Haha."

"Yang bagian aku sama Andri. Nostalgia cinta monyet. Hihihi...." ujar Dinda.

Aku sepakat. Untuk memperlancar hapalan, Dinda memoto bagian itu. Yang di Bandung kubaca bagian Dinda kabur dari kafe. 

"Saat di Jakarta saat Dinda asyik sama Andri, yang bikin Busye cemburu," lanjut Dinda.

"Kau bilang aku cemburu, Nda? Tidaklah yaw..  " kataku sambil tertawa.

"Tapi kenapa kamu melipir ke belakang dengan Rena? Ayo?!" Dinda menuding.

Aku tergagap.

"Itu dikarenakan aku tak kau hargai. Kau asyik dengan mantanmu itu, kami dianggap tak ada sama sekali...." kataku. "Itu masalahnya....."

"Masalahmu. Bukan nya atau kami," potong Dinda. "Oke ya kamu gak cemburu. Awas kalau kamu cemburui aku...."

"Lo kok jadinya ngancam sih," Rena nimbrung. Ingin membelaku?

"Ya. Main ancam aja. Haha...." 

Aku mau mencairkan suasana. Sur hanya diam. Ia sepertinya tak mau terlibat. Ia asyik dengan getjednya. Entah apa yang ada di layar HPnya.

"Ada yang asyik ya dengan HP. Gak terusik..." ucap Rena meledek Sur.

Sur menoleh ke Rena. Lalu menatap Dinda.

"Kadang kalian seperti anak-anak ya," ujar Sur. 

Tersenyum.

"Sesekalilah boleh," jawab Rena.

"Kalau keseringan juga gak asyik," balas Sur.

"Stop. Akhiri perdebatan pepes kosong," potongku.

"Siap begawan!" 

Hampir bersamaan kata itu terucap.

Aku terlongo.

Heran. Kenapa dua kata itu bisa diucapkan sama? Apakah kata itu sudah ada dalam file otak mereka. Lalu keluar bersama dalam waktu hampir bersamaan?

Rapat tak terasa selesai. Persiapan peluncuran, performa arts sudah pula disusun. Untuk Bali kuminta Wosat dan Pengky. Di Bandung selain Dinda, kuhubungi Helen untuk baca 1 bagian. Sedangkan di Jakarta kuusulka  Hevi dan Dinda. 

Sur menyiapkan honor penampil di luar Dinda. Ia donatur bagi novelku selaligus roadshow peluncuran bukuku.

Terkadang aku berharap di Indonesia lahir maseanes seperti Sur, Denny,  Thomas,  Riri, dan seribuan orang lagi. Yang siap mengucurkan anggaran untuk kesenian agar maju dan senimannua sejahteraa.

Sebab, ini selalu kukatakan dalam berbagai diskuni, "ketika senbudaya hadir, di sana tak ada negara. Tapi kalau soal agama dan rakyat berdemo, negara cepat sekali hadir di depan."

Begitukah Indonesia?



(Bersambung)


#isbedy
#cerita bersambung
#paus sastra lampung
#lamban sastra isbedy stiawan


LIPSUS