Cari Berita

Breaking News

PENGUNJUNG-PENGUNJUNG KAFE (58)

Sabtu, 29 Februari 2020



Sebuah kenangan sulit dilupakan
sebuah ingatan mesti selalu dihidupkan
sebuah peristiwa perlu dicatat.

TULISAN itu tertera di lembar poster dan ditempel di dinding kamar tidur Rena. Aku tahu saat tak sengaja menoleh ketika Rena menyapaku:

"Busye, makan tu. Sudah kusiapkan di meja. Aku lagi malas makan. Tak apa kan semdiri?"

Tentu saja aku refleks menoleh padanya. Seketika mataku tertumbuk pada poster bertulisan itu. Sesudah itu mengangguk. Cepat berpaling. Kuarahkan ekor mataku ke meja makan.

Aku ingat sangat. Tulisan itu pernah kugores sebagai dedikasi halaman pembuka sebelum masuk ke lembar puisi. Di buku puisiku Menuju Kota Lama, lima atau enam tahun silam. Rena mencomot dan didesain lalu dicetak. Ia bingkai dan dilapisi kaca. 

Setelah itu ia merapatkan pintu kamar. Aku kembali ke kamar tidur yang merangkap ruang kerjaku di lantai bawah. Aku sedang mengumpulkan dan merapikan puisi-puisiku yang akan diterbitkan Aura. 

Ikhsan memberi waktu dua minggu untuk menyiapkan naskah sebelum dilayout. Kutegaskan; "siap!"

Satu buku kumpulan cerpen, "Mahar Sunyi" yang bakal diterbitkan Siger Publisher. Lukman Ali, sang editor, meneleponku. Ia meminta naskah cerpen.

"Oke," jawabku. "Secepatnya aku email ya mas?"

Tahun berkah. Batinku. Ada empat buku puisi dan cerpen tahun ini terbit. Aku bersyukur, soalnya tak perlu aku tawarkan. Melainkan penerbit yang meminta.

Rena keluar dari kamar. Rambutnya dibiarkan tak tersisir. Tergerai hingga ke bahu dan sedikit menutupi alis matanya. Sesekali ia singkap ke belakang dan kembali menjuntai.

"Sudah makan kan? Enak masakanku?" tanyanya di ambang pinru kamarku.

"Oke banget."

"Bisakah kau temani aku makan, Busye?"

Tanpa kuiyakan, aku keluar dan mengikutinya di belakang. Menuju meja makan. Aku hanya membuat jus jeruk. Duduk di depannya.

"Kabarnya Dinda ke Riau ya?" Rena beetanya setelah dua suap memasukkan makanan ke mulutnya.

"Bukannya ke Jambi?" 

Aku meluruskan.

"O ya ya. Lupa. Dia mengabarimu ya?"

"Hanya WA."

"Ya sama. Maksudku, kamu dikasih tahu dia?"

Aku mengangguk.

"Aku juga. Semalam dia WA aku. Sepertinya urusan kerja. Bersama kawan sekantornya. Katanya juga bakal ketemuan dengan Sur. Kebetulan Sur lagi ada proyek di Jambi."

"O syukurlah. Sur memang pernah menelepoku pekan lalu. Kalau ia lagi di Jambi. Ada proyek. Dua hari kita mau ke Bali, ia sudah kembali," jawabku.

"Asyik ya mereka?"

"Kita juga asyik," balasku.

Aku paham arah mana percakapan Rena.

Perempuan selalu pandai mencari jalan untuk sebuah sindiriran. Ia tahu membaca. Namun, lelaki juga lebih paham mengeja batinnya. 

"O ya Rena. Sore nanti aku mau pulang. Mau kontrol rumah dulu. Beberesan juga," kataku.

Tak ingin terjebak di labirin hati perempuan, kuarahkan dulu percakapan kami. Lagi pula sudah sepekan kutinggalkan rumah. 

"Ya tak apa-apa. Kalau sudah beres dan tidak mengganggu sibukmu, ke sini lagi ya Busy?" ujar Rena.

"Kuupayakan ya."

Diam. Lama kami tak bersuara. Sunyi. 

Rena masuk ke kamarnya. Aku juga ke kamar. Kembali berhadapan dengan kata-kata.

*

Jam 4 sore aku keluar. Tak perlu pamit lagi pada Rena. Gerbang kubuka  Setelah mobil di luar, kembali kututup. Aku ingin habiskan waktuku dengan kawan-kawan lama. 

Teman masa lalu, itu sebutan Amir yang aktivis tapi lebih dekat dengan seniman. Dia juga jurnalis dan selalu pandai mendapatkan jalan ke sumber untuk merapat ke pejabat ataupun  calon kepala daerah.

Dana akhirnya mengucur tak habis-habis. Joshua, teman yang raja media, mengganti kata itu dengan "cis!" 

Pokoknya cis! Apa saja yang bisa ia sumbangkan dari mulut dan otaknya, berbayar. "Tapi aku tak pernah kecipratan," kata Joshua.

Dia mau bekerjasama. Menulis lika-liku para kandidat di arena pilkada. Bagaimana mereka dimulai pasang baleho atau banner, lalu merapat ke beberapa partai politik. Bersenyum ria di mana pun. Wajah yang aslinya garang dan pemberang, dibuat semanis-secantik-seramah mungkin saat membuat foto untuk kampanye. 

"Dari cara memfoto diri saja sudah bisa satu bagian. Kemunafikan sikap atau karakter, bisa ditulis dalam satu bab," kata dia di Kafe Gedung Meneng yang baru empat hari diluncurkan. 

Aku menyimak. Sudah kubayangkan tulisan nanti adalah bertolak dari fakta, dan disajikan dengan gaya bercerita. Seperti buku Saksi Mata Seno Gumira Ajidarma.

"Benar! Dalam fiksi ada fakta. Kita gali fakta-fakta tersebut, kemudian ditulis dengan gaya bercerita. Kukira akan menarik. Sebuah novel dari realita, digarap berdua," tekan Joshua.

Aku sepakat. Apalagi soal biaya yang diakibatkan dari semua ini, ia siap menanggung. Aku juga menekankan padanya, jangan mencari anggaran dari siapa pun. 

"Sehingga kita objektif, dan lagi pula terbebas dari kecurigaan kandidat mana pun," kataku kemudian.

Joshua merencanakan bulan depan, pekerjaan dimulai. Kami berbagi tugas. Aku soal pribadi tokoh yang akan maju pada pilkada. Sementara Joshua memggarap fenomena yang berkembang di pemberitaan. Seperti kesiapan KPU, komisioner yang dipecat dan ditangkap. Latar belakangnya. Lalu kemungkinan pemodal atau tauke yang bermain sehimgga rusaknya demokrasi.

Dia menyarankan bab awal langsung masuk ke tauke dari sebuah pabrik metanol. Perempuan berkulit putih, rambut terurai, mata sipit, dan kerap berpakaian minim; bulu keteknya selalu tampak berkibar-kibar. Dialah ratu dalam pilkada selama ini!

Madam Liana. Begitu warga Distrik Ambarukma. Dua kali mencemplungkan diri di pilkada. Selalu menang.

Bagaimana tidak? Kepala Distrik pertama, anak muda belia. Ia mendapat kucuran berkarung-karung uang. Digelontorkan begitu saja, baik saat pengenalan, kampanye, dan kala serangan fajar.

Rakyat tahu ada politik uang. Bukti-bukti ditemukan di lapangan. Tetapi Madam Liana bisa menepis dengan gampang. Panwaslu Diatrik Ambarukma bisa dibayar untuk tidak mengusut. Bahkan dengan jita mengatakan, "tak ada bukti yang signifikan!"

Hal itu juga terjadi pada pilkada berikut. Madam Liana menciptakan 'boneka' baru. Karena yang lalu "berselingkuh" kesepakatan. Dia berang, lalu anak muda belia itu ditinggal. Dan kandidat yang disuplay dana berkarung-karung dan sembako bertruk-truk itu bisa mengalahkan petahana.

Kalau Madam Liana pada pilkda di Distrik Bagian, bukan untuk menyelamatkan aset dan pajak usahanya. Ia amat benci hadirnya Bunda Hawa yang maju untuk menggantikan Ayah Adam. Ini soal pribadi. Madam bawa ke politik dan publik.

"Saya tak rela kalau Bunda Hawa menang! Bagaimana caranya saya akan gulung dia," kata Madam kepada Kepala Distrik Ambarukma yang jadi "boneka"-nya.

"Siap madam. Siap dilaksanakan..." 

"Ya bunda, ananda akan lakukan dengan cara apapun," balas wakil distrik yang betina itu.

"Bagus. Bagus. Jangan sampai kalah, jangan sampai salah rencana. Habis kalian!" Madam mengancam.

"Maka cari kandidat jagoan. Bukan jago kampung. Rekrut relawan militan di tingkat rumput. Yang siap dibui tanpa mau buka mulut," ujar Madam.

Kepala dan wakil distrik yang notabene ketua mesin politik itu mengangguk-angguk. Bagai kalkun.

Itulah paragraf awal yang akan kami rancang kelak sebagai novel politik. 

Sejak malam ini di Kafe Gedung Meneng, aku dan Joshua bekerja serius. KGM jadi tempat pertemuan kami, untuk diskusi dan meranncang plot-plot berikut.


(Bersambung)

#isbedy
#paus sastra lampung
#cerita bersambung
#lamban sastra isbedy stiawan zs










 




LIPSUS